URnews

Masyarakat Berteriak

Firman Kurniawan S, Selasa, 15 Agustus 2023 09.52 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Masyarakat Berteriak
Image: Freepik

Jakarta - Hidup dalam kemajuan teknologi komunikasi, yang katanya bakal lebih mudah, murah, cepat dan kian sempurna, tak membuat manusia lepas dari paradoks berkomunikasi. Ini beberapa paradoks di antaranya. Paradoks pertama.

Entah ini paradoks atau kreativitas: seorang anak mencari bapaknya yang didatangi tamu di rumahnya, dengan pengeras suara masjid. “…dumateng Bapak Karyo Bustaman, kulo aturi wangsul. Dateng margi wonten tamu. Mantuk, Pak. Mantuk….”. Jika diterjemahkan, begini kira-kira: Kepada Bapak Karyo Bustaman, saya persilakan pulang. Di rumah ada tamu. Pulang, Pak. Pulang. 

Peristiwa yang nampaknya terjadi di Kota Pati Jawa Tengah itu, diedarkan akun TikToK @p.a.t.i.wwwriska, 3 Juli lalu. Memang tak terlalu diperbincangkan, tapi cukup membuat geli sekaligus memancing renungan bagi menyaksikannya.

Tindakan sang anak tergolong kreatif. Mampu segera menemukan pemecahan atas masalah yang dihadapi. Memanfaatkan pengeras suara umum, untuk menemukan Sang Bapak yang entah di mana keberadaannya. Ini bisa mengundang orang lain ikut mencari.

Namun konten itu sekaligus mengetengahkan paradoks. Di tengah kian massifnya penggunaan microelektronic smartphone, tablet, laptop yang terhubung internet masyarakat berubah bentuknya. Laksana titik-titik bola lampu, individu terhubung satu sama lain dari satu lokasi ke lokasi terjauhnya.

Keterhubungan ditandai oleh makin banyaknya bola lampu yang menyala, dari satu ujung ke ujung dunia yang lain. Ini yang disebut Manuel Castells, 1996, dalam bukunya ‘The Rise of Network Society’, sebagai masyarakat jejaring, network society. Keterhubungan adalah ciri utama, dan lintas geografis adalah kemampuan istimewanya.

Pendapat Castells itu identik dengan yang dikemukakan Van Dijk, 2005, dalam bukunya ‘Outline of a Multilevel Approach of the Network Society’. Dijk lebih menekankan ciri masyarakat jejaring, yang disebutnya sebagai masyarakat yang mengalami individualisasi, bergaya hidup mobile, dan terkoneksi melintasi batas geografis.

Karenanya, dengan adanya jaringan keterhubungan itu, masyarakat mudah berelasi satu sama lain. Termasuk saat hendak menemukan manusia lain di luar dirinya. Tanpa lewat tindakan riuh gemuruh, semacam berteriak di pengeras suara tujuan dapat dicapai. Apapun dapat ditemukan, hanya dengan sentuhan ujung jari di perangkat microelectronic.

Alih-alih menemukan Sang Bapak yang kedatangan tamu, mengabarkan kegentingan sebuah negara pun, dapat terlaksana real time berperantara teknologi terkini. Tak ada pentingnya berteriak, kecuali jika putus asa.

Paradoks kedua. Kurang satu tahun menjelang dilangsungkannya perhelatan Pemilu 2024 di Indonesia, ruang-ruang publik riuh. Juga tak jarang bergemuruh. Jalan protokol, bangunan besar, tikungan strategis, gang-gang tempat orang dan kendaraan berlalu lalang, hingga tempat pedagang biasa menempatkan nama dagangannya, jadi sasaran pemasangan baliho.

Tak luput di media elekronik, juga yang berjejaring. Pesan-pesan untuk memilih kandidat jadi pemandangan lazim. Ukurannya yang sudah besar, terus diikuti perlombaan makin memperbesar tampilannya. Upaya yang tak jarang diikuti penulisan pesan yang tak lazim, jargon ganjil, dan dalam kemasan yang kerap dilengkapi suara keras. Seluruhnya memekakkan, terutama bagi yang tak tertarik.

1692068052-WhatsApp-Image-2023-08-15-at-09.53.10.jpegSumber: null

Di zaman komunikasi yang segalanya dapat dimediasi teknologi berbasis digital, justru melahirkan keriuh-gemuruhan. Teknologi digital hari ini memungkinkan dipilihnya sasaran, targeted message, namun yang dilakukan menyampaikan pesan ke segala arah termasuk bagi yang tak meminatinya.

Bayangkan saat itu disampaikan oleh sedikitnya 18 partai, dengan masing-masing 580 orang calon legislatifnya, betapa riuhnya ruang publik. Alih-alih sasaran pesan terbujuk, upaya menghindar justru yang dilakukan.

Paradoks ketiga, Ini merupakan pengalaman pribadi saat penulis diundang berdiskusi oleh berbagai institusi pemerintah. Institusi pengundang umumnya organ pemerintah yang bertanggung jawab membangun relasi dengan masyarakat luas. Ada badan koordinasi hubungan masyarakat (BAKO-HUMAS), lembaga informasi, komunikasi dan hubungan kemasyarakatan (Infokom dan Hubmas), maupun organisasi yang menggerakkan partisipasi masyarakat.

Tak jarang terlontar dari berbagai organ pemerintah itu, ungkapan bernada putus asa: betapa perencana maupun pelaksana komunikasi masyarakat, telah melakukan pekerjaannya tanpa henti. Dalam ungkapan dramatisnya, seandainya tersedia waktu 48 jam sehari alih-alih hanya 24 jam seluruh waktu digunakan untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Cara yang dilakukan bermacam-macam, juga medianya beragam. Namun justru ketakpedulian yang didapat.

Di sisi sebaliknya tak jarang masyarakat, kritikus, aktivis, mencibir: apa tugas pokok dan fungsi tupoksi organ pengguna anggaran negara? Mengapa ada masalah masyarakat yang tak tertangani, sementara ada organ yang ditugaskan untuk itu? Tentu bukan hanya kelelahan yang mendera, tapi juga tak ada rasa berharga. Terlebih saat kritik diteriakkan dengan kencang.

Juga dengan lontaran bahasa yang tak elok didengar. Sementara masyarakat, pelaku kritik, aktivis yang seluruh aktivitasnya dapat diikuti di sosial, merasa keprihatinannya tak pernah didengar. Alih-alih memperoleh jalan keluar yang memuaskan, suara yang disampaikan berlalu tertelan angin. Suara kelompok ini hanya berharga menjelang perhelatan pemilu, ditampung dengan basa-basi.

Seluruhnya sekedar jadi indikator telah berlangsungnya prosedur demokrasi: rakyat yang bersuara, dan pemerintah yang mendengarnya. Kedua-duanya berteriak, namun sama-sama tak mendengar.

Dari tiga paradoks di atas, apa yang sesungguhnya terjadi? Kematian dialog.

Dialog telah mati saat semua jadi pembicara, namun tak ada pembicaraan. Dialog telah mati ketika tak ada pendengar, lantaran tak ada yang enak didengar. Yang bicara kian memperkeras suara, juga meninggikan intonasinya. Alih-alih menarik perhatian, justru membuat orang kebisingan. Yang bicara juga terus mengulang-ulang ucapannya, yang justru membuat orang jadi bosan. Syukur jika tak berakhir dengan keonaran.

Dalam relasi tak saling mendengar, keputusasaan mendorong bicara tanpa estetika. Umpatan dan makian goblok, tolol, bajingan, bangsat, ngawur, garong dipilih. Seluruhnya untuk menarik perhatian. Hanya mengandalkan kata-kata estetis, tak ada kekuatannya. Sumpah serapah justru mengangkat pesan jadi trending topic. Menanggapi ini, jagat digital gemuruh oleh dukungan sekaligus hujatan. Kata-kata kasar dibela, juga dicaci berpanjang lebar. Bukan substansi keprihatiannnya, tapi cara penyampaiannya. Alih-alih menemukan jalan keluar, situasi makin tak terkoreksi.

Sementara di ruang publik, baliho-baliho raksasa makin menyesaki pandangan. Tiap pandangan mata tertumbuk pada gambar berikut kata-kata ajakannya. Tak seluruhnya layak tampil. Ada caleg yang menyertakan foto orang tuanya, seorang pesohor. Sebaliknya, ada orang tua yang jadi caleg dengan menyertakan foto anaknya, artis terkenal.

Keadaan kian diperparah oleh penggunaan akronim nama maupun jargon yang tak lazim. Seluruhnya tak ubahnya teriakan yang bermaksud mengundang perhatian. Dalam komunikasi nir-dialektika, relasi tak bakal terjalin.

Organ-organ pemerintah pun, tiap tahun mengajukan anggaran komunikasi yang bertambah. Seluruhnya demi membangun relasi lewat pesan yang disampaikan kepada masyarakat. Tantangan memang kian berlipat, namun tanpa memeriksa dialog yang telah mati, semua berakhir sia-sia.

Berkomunikasi di zaman teknologi yang makin intensif, justru melahirkan paradoks: ada aneka perangkat komunikasi untuk segala kebutuhan, tapi malah harus berteriak kencang, dan kian kencang.

Seno Gumira Ajidarma, 2002, lewat kumpulan cerita pendeknya ‘Sepotong Senja untuk Pacarku’ mengilustrasikan keadaan di atas dengan estetis, “Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata orang lain. Mereka berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina”.

Juga, itulah dunia para pembaca hari ini. Dunia yang mencoba membangun relasi di tengah matinya dialog. Semua berteriak, mengumpat, memaki juga merapalkan sumpah serapah. Seluruhnya menjadikan dunia makin sakit. Yang tak bakal tersembuhkan, kecuali jika kembali berniat membangun dialog. Adakah niat itu?

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait