Jakarta - Sejarah penciptaan artefak legendaris di Cina, tak berhenti hanya pada tembok besar Cina, Great China Wall. Tembok besar yang wilayah persebaran bangunannya mencapai 16 provinsi ini, masa pembangunannya berlangsung sejak tahun 220 SM. Seluruhnya diselesaikan dalam kurun waktu tak kurang dari 2000 tahun.
Dalam penjelasan sejarahnya, artefak yang termasuk dalam 7 keajaiban dunia ini, bertujuan melindungi Wilayah Perbatasan Utara negeri itu dari serangan musuh. Wilayah yang kerap dijadikan pintu masuk bangsa lain menyerang Cina selama ratusan tahun.
Hari ini Cina kembali membuat terhenyak bangsa-bangsa lain di dunia. Proyek prestisiusnya membuat matahari dan bulan buatan, mendekati titik akhir. Dikutip dari berbagai media pada 2022, para Ilmuwan yang tergabung dalam Proyek Experimental Advanced Superconducting Tokamak (EAST) memaksudkan pengembangan itu, meniru proses fusi nuklir di matahari maupun bintang-bintang. Fusi nuklir yang menyediakan energi bersih hampir tanpa batas.
Adapun bulan buatan dikembangkan Cina, agar ilmuwan negara itu dapat menguji teknologi baru maupun pengembangan misi luar angkasanya di masa depan. Proyek yang pusat kegiatannya di kota Xuzhou bagian Timur Provinsi Jiangsu ini, dimaksudkan untuk mereplikasi lingkungan gravitasi rendah, sebagaimana yang terjadi di permukaan bulan.
Lewat artefak barunya itu, Cina tak perlu lagi bergantung pada pesawat tanpa gravitasi. Seluruhnya diperlukan saat melatih awak ruang angkasanya, yang kini dapat dilakukan kapan saja saat dibutuhkan. Proyek sejenis yang dikembangkan Cina, juga dilangsungkan di negara-negara maju lainnya. Ini termasuk Inggris, Amerika Serikat, Korea Selatan, India maupun Prancis.
Perlombaan pengembangan teknologi, sebagaimana yang berlangsung di Cina juga negara-negara lainnya, dapat disebut sebagai upaya melawan batas alamiah. Batas yang tersedia di luar keadaan alamiahnya. Ini termasuk batas alamiah yang memisahkan satu wilayah dengan wilayah lainnya. Juga batas yang tercipta, sebagai peristiwa alamiah: gravitasi, energi, pergantian suasana siang maupun malam.
Dalam sejarah peradaban manusia, pengembangan teknologi tak pernah berhenti. Juga di bidang informasi dan komunikasi. Seluruhnya menghasilkan artefak yang beroperasi dengan basis internet, perangkat virtual reality, augmented reality, cloud computing, quantum computer, fasilitas pengolah big data, perangkat robotic, hingga artificial intelligence. Keadaan akhir yang tercipta: hadirnya keartifisialan, dalam wujud alamiah. Sepenuhnya ditangkap sebagai sensasi yang makin alamiah, oleh panca indera.
Pengembangan berbagai bentuk teknologi di atas, mendorong arus deras transformasi aktivitas teknologis, sosial maupun budaya. Transformasi peradaban, yang bergerak dari ruang analog ke ruang digital. Ini berimplikasi pada makin diterimanya “yang digital” oleh panca Indera, sebagai yang tak berbeda dari “yang analog”. Batas tegas antara yang artifisial dengan yang alamiah, makin tipis. Keartifisialan yang makin diterima sebagai kealamiahan, jadi kenyataan hari ini. Apa implikasi dari perkembangan itu? Kealamiahan sebagai acuan hilang. Manusia dan peradabannya berjalan dalam pijakan yang remang-remang. Bahkan tanpanya.
Seluruh peristiwanya ketika dilacak, berlangsung seperti ini: di bawah paradigma ruang yang terbentuk oleh teknologi informasi, muncul satu jenis budaya baru. Budaya yang lahir sebagai implikasi munculnya ruang baru. Ruang penggganti lenyapnya ruang fisik dan waktu analog, yang dibentuk oleh ruang mengalir dan waktu yang tak mewaktu. Seluruhnya menyusun budaya baru, yang disebut sebagai kemayaan yang nyata. Real virtuality.
Teknologi informasi dan komunikasi yang bekerja dengan anasir listrik dan internet itu, menihilkan fungsi ruang fisik. Tak berarti ruang fisik lenyap. Namun fungsinya tersaingi. Keberadaannya yang kian terdesak, digantikan oleh ruang-ruang mengalir, space of flows. Karakteristiknya, berwujud entitas maya yang tak terikat pada waktu analog, timeless time. Timeless time juga jadi waktu pengganti yang hadir akibat teknologi di atas. Waktu yang semula jadi pijakan, tergeser. Namun seluruhnya memungkinkan pengguna teknologi serentak berada di ruang beda, namun dalam satu waktu yang sama.
Karakteristik lain space of flows, berupa keberadaan yang dapat terbentuk di mana pun, kapan pun, oleh siapapun. Syaratnya: punya akses pada listrik dan internet. Kealamiahan menyatu ruang dengan waktu, tak lagi dipersyaratkan. Ini oleh Manuel Castells, 2000, dalam The Rise of The Network Society, disebut pendorong lahirnya budaya real virtuality. Budaya yang lahir sebagai hasil interaksi pengguna teknologi di ruang mengalir, dalam waktu yang tak mewaktu. Perangkat teknologi memformulasi aktivitas analog, bertransformasi jadi informasi. Akibat yang tertangkap sebagai pengalaman lahir batin: sensasi artifisial hasil pembangkitan perangkat yang makin sempurna, tertangkap panca indera sebagai persepsi alamiah.
Kealamiahan yang artifsial pada budaya real virtuality ini, berimplikasi ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Implikasi identiknya yang maya dengan yang nyata. Transaksi pemasaran, proses belajar mengajar, kampanye politik, kemeriahan pentas musik, hingga ikatan perjanjian yang berlangsung di space of flows, disensasi para pengguna teknologi serupa dengan keadaan analognya. Ini juga yang terjadi di metaverse. Akibat makin sempunanya sensasi yang dibangkitkan lewat teknologi yang makin berkembang, panca indera manusia tak mampu membedakan, yang maya dari yang nyata. Budaya yang diserap: kemayaan sebagai kenyataan.
Budaya real virtuality, sepenuhnya merupakan budaya hasil adaptasi teknologi informasi dan komunikasi yang terus berkembang. internet masuk merata ke berbagai lapisan masyarakat. Memaksa didorongnya pemaknaan baru terhadap kenyataan, reality. Kenyataan yang semula sebatas: kenyataan alamiah yang bersifat mutlak, kenyataan sosial yang bersifat negosiasi dan kenyataan fiksi yang dibangkitkan oleh keyakinan. Hari ini bertambah dengan kehadiran kenyataan maya. Dan melahirkan budaya real virtuality.
Baca Juga: Khodam di Zaman Artificial Intelligence
Hadirnya kategori kenyataan baru di atas, bukan tanpa dilema. Heba Yosry, 2022, dalam “Limitations of the Limitless: In Response to “Reality+” and our VR Future”, mengemukakan gagasannya. Gagasan yang juga terinspirasi wawancara David Chalmers di Majalah Epoché, berkenaan dengan buku terbarunya: “Reality+”. Yosry mengemukakan, virtual reality (VR) maupun augmented reality (AR) akan menggantikan kenyataan alamiah dalam waktu singkat. Keduanya dapat jadi tawaran yang penuh semangat, untuk menjalani kehidupan yang sejati. Sehingga terdapat peluang bagi pembebasan manusia yang otentik, dibanding sebatas portal untuk melarikan diri dari kehidupan yang membosankan. Namun siapa pun yang berada dalam kenyataan maya ini, akan mengalami ilusi ruang fisik. Artinya, pengguna teknologi akan mengalami objek seolah-olah berada di ruang fisik, di depan mereka. Namun kenyataannya adalah ilusi.
Dilema ruang maya dalam wujud: “pengguna yang mengalami ketiadaan, namun serasa ada”, dialami pertama: saat pengguna memanfaaatkan perangkat teknologi namun dalam kenyataannya justru terjadi kedangkalan kognisi. Aneka promosi penggunaan perangkat yang lebih memudahkan pekerjaan, hasil yang lebih optimal, biaya yang lebih murah, ternyata berefek memarkir bekerjanya kognisi. Kedua, tak mudah ditentukan: yang sedang ditunjukkan partisipasi atau mobilisasi digital. Ini akibat algoritma mempersonalisasi keinginan membeli produk pemasaran, menentukan pilihan politik, membangkitkan selera berkesenian, hingga mewujudkan ekspresi kehendak juga kepatuhan. Namun seluruh penggeraknya algoritma yang tak disadari pengguna teknologi.
Ketiga, tak mudah diputuskan: yang sedang dihadapi para pendidik adalah karya kognisi, kreativitas dan cipta manusia atau produk hasil formulasi komputasi. Dunia akademis maupun penciptaan, tak lepas dari kehadiran perangkat teknologi. Namun sebagai institusi pengembang kognisi dan kreativitas, fungsinya terkikis oleh penyalahgunaan perangkat berbasis AI. Keempat, tak mudah lagi dikenali: yang membujuk merupakan perilaku asertif yang berguna atau social engineering. Hadirnya berbagai fasilitas yang memudahkan interaksi, transaksi politik maupun ekonomi, turut dimanfaatkan pelaku penipuan. Seluruhnya mengancam data pribadi.
Dan kelima, yang tak kalah mengerikannya: tidak jelas suatu bentuk ketakhadiran maupun kehadiran individu maupun kelompok, akibat pilihan bebasnya atau data yang tak tersedia. Sering terjadi, perempuan maupun kelompok minoritas tak terepresentasi di ruang virtual yang terbentuk. Seluruhnya bukan lantaran kehendaknya, namun akibat tak tersedianya data yang proporsional dengan gender laki-laki maupun kelompok mayoritas.
Kenyataan telah kehilangan pijakannya. Seluruhnya akibat matinya batas: tergantikannya ruang fisik dan waktu analog. Manusia dan peradaban dalam ketiadaan kepastian. Janji kesempurnaan oleh teknologi, harus ditukar ketakpastian. Inikah kenyataan dalam perkembangan teknologi informasi dan komunikasi? Bagaimana pun, dilema ini harus punya jalan keluarnya. Atau hidup dalam kebingungan. Bisa mencari tutorial lebih lengkap di situs resmi WhatsApp atau platform-platform yang menyediakan layanan WhatsApp Bisnis.
Dengan memanfaatkan fitur pesan otomatis WhatsApp Bisnis, Anda dapat meningkatkan produktivitas bisnis Anda dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pelanggan.
Baca Juga: Menyingsingnya Fajar Artificial Intelligence di Tengah Relevansi Posisi Manusia
*Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital serta pendiri LITEROS.org
* Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia