URnews

Menjaga Batas Etis Algoritma Berbasis AI

Firman Kurniawan S, Minggu, 5 November 2023 13.07 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Menjaga Batas Etis Algoritma Berbasis AI
Image: Freepik

Jakarta - Algoritma di tengah peradaban hari ini, adalah artefak budaya yang berperan penting. Jika pun tak jadi yang terpenting, posisinya utama di berbagai aspek kehidupan. Melaluinya, banyak hal dapat diselesaikan.

Saat suatu upaya dihadapkan pada kemungkinan berhasil 50% dan gagal 50% yang ada implikasi biaya, waktu, tenaga dan berbagai sumberdaya yang bakal hilang, jika upaya berujung gagal, algoritma berperan menyempitkan peluang itu. Terlebih jika peluang gagalnya lebih besar, perannya kian sentral.

Secara sederhana, algoritma adalah seperangkat informasi yang berisi prosedur untuk menyelesaikan tugas tertentu. Prosedur yang disusun dari sejumlah data, membentuk pola tertentu.

Pola ini menuntun pada kemunculan pola berikutnya di masa datang, sehingga dapat digunakan untuk menuntun pembuatan keputusan. Pada perulangan pola itu, terdapat elemen yang bermanfaat untuk meminimalkan kegagalan.

Keberadaan algoritma, sama sekali bukan barang baru. Shubham Gautam, 2021, dalam “History of Algorithm with Timeline”, mengurai secara kronologis kehadiran algoritma. Menurutnya, kata algoritma dapat ditarik mundur, ke abad 9.

Matematikawan yang berasal dari Persia Abdullah bin Musa Al Khawarizmi yang tersohor sebagai Bapak Aljabar dikaitkan dengan kehadiran konsep algoritma ini. Tak berlebihan, algoritma disebut lebih lanjut dalam buku Khawarizmi, yang diterjemahkan dalam Bahasa Latin pada abad ke-12. Dan namanya turut diubah, menjadi “algorithmi”. Tentu ini dikaitkan dengan peran besar Al Khawarizmi.

Masih dalam uraian kronologis Gautam. Sejak 2000 tahun lalu jauh sebelum masa Al Khawarizmi terdapat berbagai penggunaan algoritma. Algoritma Euclid, digunakan untuk membagi persekutuan terbesar dua bilangan.

Algoritma Urdhva Tiryabhyam yang digunakan untuk perkalian bilangan bulat dengan cepat. Algoritma Kriptografi yang digunakan Matematikawan Arab untuk pemecahan kode. Juga Metoda Chakravala, algoritma siklik yang dikembangkan Brahmagupta, Bhaskara dan Jayadeva untuk menyelesaikan persamaan kuadrat tak tentu. Berbagai algoritma yang disebutkan di atas, di antaranya masih relavan hingga hari ini.

Adapun algoritma yang terkait dengan mesin komputasi, dikembangkan pada tahun 1842. Ini terus mengalami perkembangan, memenuhi berbagai penggunaan. Namun demikian, baru pada tahun 1936 gagasan modern tentang algoritma dikembangkan oleh Alan Turing.

Pengembangan algoritma jenis Ini, bersamaan dengan pengembangan Mesin Turing ciptaaannya. Tercatat hingga tahun 2009, masih muncul algoritma jenis baru. Algoritma yang digunakan untuk membangun sistem mata uang Kripto, yang karakternya terdesentraslisasi.

Dari kronologi di atas dapat disaksikan, algoritma meningkat makin komplek seiring kemampuan komputer yang terus berkembang. Peradaban hari ini makin diwarnai oleh penggunaan teknologi berbasis artificial intelligence (AI), maupun komputer kuantum.

Seluruhnya menyebabkan algoritma makin dapat diandalkan perannya. Tiap generasi didampingi hidupnya oleh keberadaan algoritma yang terus mengalami perkembangan.

Peran algoritma dari masa ke masa berbeda. Di akhir tahun 1970an hingga awal tahun 1980an, algoritma digunakan untuk mengembangkan kecerdasan buatan. Penelitian-penelitian yang dilakukan berfokus pada penggunaan logika yang berbasis pengetahuan, dikembangkan berdasar algoritma.

Sedangkan di tahun 1990an, penggunaan algoritma bergeser dari pengembangan kecerdasan buatan ke pemecahan masalah praktis. Ini berkaitan dengan keperluan pemenuhan kebutuhan di berbagai bidang layanan.

Fokus penggunaan algoritma beralih dari penelitian AI, ke metode dan taktik yang digunakan untuk membaca peluang. Pemanfaatan algoritma di periode 90an, ditandai oleh perkembangan pesat pada industri machine learning (ML).

Seluruhnya memfokuskan perhatian pada jaringan saraf. Uraian pada bagian terakhir ini, dikemukakan Keith D. Foote, 2021, dalam artikelnya “A Brief History of Machine Learning”.

Kembali pada pengertian dasar algoritma sebagai prosedur yang berisi langkah-langkah untuk menyelesaikan tugas tertentu. Lewat pengembangan yang terus berlangsung, tugas yang dapat dilakukan kian beragam dan kompleks.

Kinerja algoritma kian memberi kepastian. Pada 2 aspek utama kehidupan manusia: pelanggengan kekuasaan politik maupun penggandaan kapital oleh pelaku ekonomi, perhatian algoritma ditujukan pada perilaku personal.

Ini menjadikan operasinya bak pengawas yang terus terjaga. Bahan baku pengawasannya berupa digital path, yang terserak siap diolah. Ini ditinggalkan pengguna dari pemanfaatan media sosial, mesin pencari, aplikasi perdagangan, perangkat pembayaran hingga fasilitas hiburan. 

Seluruhnya dengan akurat mampu menggambarkan profil maupun aktivitas terpola pengguna, juga perilakunya di masa datang. Personalisasi yang disusun dari algoritma hari ini, bahkan mengarah pada keadaan: personalisasi yang berlebihan, over personalized.

Pada pembentukan algoritma yang memanfaatkan AI dan ML, jumlah digital path yang dapat diproses jutaan kali lipat. Ini jika dibanding tanpa menggunakan kedua perangkat tersebut.

Big data dalam aspek 5V: volume, velocity, value, variety dan veracity yang tinggi, dilayani AI. Lantaran itulah, hasilnya makin akurat dan mampu melampaui waktu.

Merujuk pada perkembangannya itu, harusnya bukan kinerja algoritma saja yang jadi perhatian. Terdapat aspek etis humanitas yang potensial mengancam. Michael Onore, 2021, dalam “The Trouble with Algorithms: Algorithm Ethics”, mengungkapkan adanya persolan etis itu. Sumber persoalan etis menurut Onore, berasal dari 3 hal: bias dan diskriminasi, persoalan privasi data dan transparansi pengambilan keputusan.

Untuk permasalahan pertama: bias dan dsikriminatif diungkapkannya, algoritma yang dikembangkan dengan memanfaatkan AI kian mampu memahami informasi. Tentu yang dimaksud Onore adalah informasi dengan karakter 5V big data. AI memprosesnya lebih cepat.

Namun fakta ini tak berbanding lurus dengan kesimpulan yang ditariknya. Kesimpulan AI, tak selalu netral dan adil. Pada banyak kasus, pembacaan AI bias dan diskriminatif.

Terutama pada kelompok nonkulit putih maupun perempuan. Saat AI ditujukan untuk mencegah kejahatan, kecurigaan terarah pada kelompok nonkulit putih. Demikian juga saat digunakan untuk merekrut tenaga kerja, sering menolak perempuan pada jenis pekerjaan tertentu.

Penjelasan untuk keadaan ini, relasi silang data yang diinput, menyangkut warna kulit tertentu dengan terjadinya kejahatan, juga jenis kelamin yang dihubungkan dengan jenis pekerjaan tertentu, mendorong AI menarik kesimpulan salah.

Lantaran data terkumpul: orang nonkulit putih lebih banyak melakukan kejahatan pemalakan, kelompok ini dicurigai sebagai pelaku pemalakan di masa datang. Demikian pula dengan sedikitnya perempuan yang tertarik pada jenis pekerjaan STEM Science, Technology, Engineering & Mathematic, untuk lowongan jenis pekerjaan ini, jarang ditawarkan pada perempuan.

Perempuan dianggap tak tertarik pada STEM. AI menghasilkan keputusan bias dan diskriminatif, tanpa diketahui bagian mana dari proses yang mendorong kesalahan itu. Manusia yang ada di balik input data lah, yang tanpa sengaja menghasilkan bias dan diskriminatif itu.

Sedangkan persoalan etis yang kedua, menyangkut privasi data. Data dikumpulkan dari berbagai sumber. Misalnya saat seseorang menikmati layanan streaming. AI mampu melacak jenis streaming yang dinikmati, hingga memprediksi tayangan yang bakal dikonsumsi berikutnya.

Pada aktivitas yang lebih luas namun mengandung privasi, kemampuan ini mempengaruhi pembentukan algoritma. Setiap tindakan disusun polanya dan jadi pengetahuan. Perusahaan pengguna AI memanfaatkannya untuk menawarkan produk maupun perilaku di masa mendatang.

Ini tak lain adalah pengawasan, bahkan di wilayah privasi. Jika hari ini negara-negara Uni Eropa berdasar undang-undang layanan digitalnya Digital Service Act (DSA) berhasil memaksa pengembang platfom untuk membuka algoritmanya, tak ada jaminan pengawasan wilayah privasi, berhenti. Teknologinya terus berkembang dan dimanfaatkan di dunia politik maupun bisnis.

Dan yang ketiga, transparansi pembuatan keputusan. Pemanfaatan luas algoritma, bertujuan agar dapat dibuat keputusan berdasar informasi maupun perhitungan. Seluruhnya tanpa melibatkan manusia. Namun di sini justru persoalan etisnya.

Makin berdaya AI membuat keputusan, makin tak tahu manusia cara membuat keputusan itu. Dalam hal adanya kesalahan, misalnya terbawa oleh bias dan diskriminatif sebagaimana permasalahan pertama, sulit mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kesalahan.

Maka tuntutan etisnya, kemajuan AI dan ML tak seharusnya meretas sisi pengawasan oleh manusia. Ini bertujuan agar manusia dapat mengoreksi proses hingga kesimpulan yang salah.

Dari 3 permasalahan etis di atas, penyusunan algoritma sejak proses input datanya dapat menyebabkan bias dan dikriminatif. Demikian pula dalam prosen pemanenan data yang bersumber digital path.

Aktiivitas di wilayah privasipun tak luput dikumpulkan. Persoalan menjadi kian buruk, manakala cara pengambilan keputusan berbasis algoritma, tak dapat dilacak manusia. Mengabaikan ketiganya di atas, sama artinya dengan meretas batas etis humanitas pemanfaatan algoritma. Tidakkah ini merisaukan?

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait