URnews

Menyingsingnya Fajar Artificial Intelligence di Tengah Relevansi Posisi Manusia

Firman Kurniawan S, Jumat, 26 April 2024 19.03 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Menyingsingnya Fajar Artificial Intelligence di Tengah Relevansi Posisi Manusia
Image: Freepik

Jakarta - Peradaban manusia hari ini, gamang menyikapi kehadiran artificial intelligence (AI). Di satu sisi hendak menerima kehadirannya, dengan utuh dan dalam tempo yang cepat. Ini pilihan yang bertujuan mengakselerasi kerja dan meningkatkan kinerja. Seluruhnya bakal melipatgandakan pertumbuhan pendapatan, yang pada gilirannya meningkatkan pertumbuhan makro ekonomi.

Namun di sisi lain, dengan kuat menolak pemanfaatan AI. Ini lantaran, teknologi tak melulu bicara soal ekonomi. Aspek penting lainnya, sosial, budaya, humanitas terancam oleh kehadiran AI. Apalah artinya ekonomi mengalami pertumbuhan, namun manusianya kehilangan peran, tersingkir dari peradaban.

Seorang eksekutif perusahaan yang beroperasi di Indonesia, bercerita pada penulis: perusahaannya sedang mengganti personal penjualan jarak jauhnya, para telemarketer, dengan chatbot. Kemampuan chatbot yang diberdayakan AI ini, mampu mendeteksi variasi-variasi bahasa, diksi maupun intonasi yang dilatarbelakangi konteks budaya yang beragam.

Tugas-tugas kritikal tenaga penjualan, terselesaikan dengan memuaskan. Menjadikannya siap diserahkan pada unit lain di perusahaan. Dengan 'mempekerjakan' perangkat berbasis AI ini, kebutuhan perusahaan terhadap kompleksitas tenaga penjualan jarak jauh, tertangani dengan memuaskan.

Tentu ini kemampuan yang diidamkan eksekutif perusahaan, utamanya para pengelola SDM. Mengelola manusia dengan berbagai aspek manusiawinya, kadang tak mudah. Persoalan attitude, tuntutan dinamika kehidupan, kinerja yang sering dipengaruhi mood, maupun aspek-aspek emosional lainnya, sering jadi penghalang pekerja manusia, mencapai kinerja tertingginya. Perusahaanlah yang pada akhirnya, menanggung kemalangan ini.

Dari ceritanya lebih lanjut, saat dihiitung biaya pengadaan per unit penggantian manusia dengan perangkat berbasis AI ini, mencapai 500 juta. Namun penghematan jangka panjang yang diperoleh, mencapai 3,5 miliyar per unit. Ini artinya 7X lipat dari biaya pengadaannya. Dengan penghitungan lebih lanjut, jika disetarakan dengan mempekerjakan manusia, 1 unit chatbot mampu menggantikan 40 tenaga penjualan manusia, dengan produktivitas yang sama.

Ilustrasi di atas, secara makro senada dengan laporan International Monetary Fund (IMF), yang dituliskan Kristalina Georgieva, 2024. Laporannya berjudul AI Will Transform the Global Economy. Let’s Make Sure It Benefits Humanity. Disebutkan dalam laporan itu, lapangan kerja global telah terpapar penggunaan AI, yang persentasenya mencapai 40%.

Pemanfaatan mesin-mesin cerdas yang pada awalnya hanya pada jenis-jenis pekerjaan yang rutin dan berulang, dalam perkembangannya merambah ke pekerjaan-pekerjaan berketerampilan tinggi. Ini akibat kemampuan AI, yang makin hari makin menyamai kecerdasan manusia.

Lebih lanjut dari laporan itu: sekitar 60% dari pekerjaan-pekerjaan yang ada di negara-negara maju, terkena imbas oleh kehadiran AI. Memang spektrum imbasnya bergerak dari peningkatan produktiivitas hingga penurunan permintaan tenaga kerja. Seluruhnya, pada tingkat puncak pemanfaatan AI, menyebabkan penghapusan suatu jenis pekerjaan.

Sedangkan di negara-negara berpendapatan rendah, kehadiran AI memberi pengaruh sebatas 26%-40%. Gangguan kestabilan yang disebabkan oleh kehadiran AI di negara-negara yang pasarnya sedang berkembang ini, lebih sedikit.

Selain jenis-jenis pekerjaaan yang ada belum seberagam di negara-negara maju, juga tak tersedia infrastruktur maupun tenaga kerja terampil untuk memanfaatkan AI. Namun dalam jangka panjangnya, akan muncul risiko kesenjangan pemanfaatan AI antar negara, yang tingkat pemanfaatannya berbeda.

Dalam bagian terpenting laporan IMF di atas disebutkan, pada sebagian besar skenario pemanfaatan AI itu, terdapat potensi memburuknya kesenjangan antara negara-negara maju dengan negara-negara berpendapatan rendah. Masifnya pertumbuhan ekonomi yang tercapai akibat intensifnya penggunaan AI, tak jadi pengalaman di negara-negara berpenghasilan rendah.

Ini akibat tak mampunya negara-negara berpenghasilan rendah menjangkau pemanfaatan AI. Selain itu hilangnya berbagai jenis pekerjaan akibat pemanfaatan AI, dapat memicu ketegangan sosial. Seluruh skenario merupakan perkembangan yang perlu diantisipasi oleh para pembuat kebijakan. Kehadiran AI perlu disusun menjadi inklusif, melindungi mata pencaharian dan mengurangi kesenjangan.

Dari ilustrasi maupun argumentasi yang disebutkan dua sumber informasi di atas, kehadiran AI berhadapan dengan relevansi posisi manusia. Dari sisi pertimbangan nilai ekonomi, AI membawa konsekuensi dilematis. Memanfaatkannya secara sistematis, berarti mengancam kelangsungan manusia sebagai mahluk yang bermartabat dengan pekerjaannya.

Namun absen memanfaatkannya, di tengah ekosistem AI yang makin berkembang pesat, menyebabkan terbatasnya pertumbuhan ekonomi. Apakah ini berarti, kehadiran AI meniscayakan irelevansi manusia? 

Dalam realitasnya, persoalan pemanfaatan AI yang mengancam relevansi posisi manusia, tak sebatas aspek ekonomi. Kegamangan pemanfaatannya, terjadi pada aspek-aspek kehidupan lainnya. Ini melahirkan dua kutup pandangan, yang jauh berseberangan.

Pada satu kutub, menyikapi kehadiran AI sebagai utopians. Persoalan-persoalan yang tak mampu terselesaikan secara alamiah dengan mengandalkan kemampuan manusia, dapat diselesaikan dengan menggunakan AI.

Deteksi kelainan genetik yang menghasilkan manusia abnormal, pencegahan kecelakaan yang dapat merenggut nyawa manusia, hingga peringatan dini terjadinya bencana yang meluluhlantakkan kehidupan, dapat tercapai melalui pemanfaatan AI.

Setidaknya Virginia M. Rometty, atau sering dipanggil sebagai Ginni Rometty mantan CEO IBM 2012-2020, berpihak pada kelompok utopia AI ini. Menurutnya, perkembangan dunia yang sebagian dijalankan dengan perangkat-perangkat canggih, sistem penyimpanan data cloud hingga pemrosesan dan analisa data keputusan yang berbasis algoriitma, tak cukup lagi dihadapi dengan mengandalkan kecerdasan alamiah manusia.

Penggunaan perangkat-perangkat AI, jadi penopang mutlak menghadapi dunia yang dijalankan oleh mesin-mesin cerdas. Tokoh lain dalam kelompok utopia ini adalah Ray Kurzweil, Peter Diamandis, dan Don Topscott.

Sedangkan pada sisi yang tajam berhadapan, menempatkan AI sebagai dystopians penghancur lebur budaya dan kehidupan rutin yang disusun sacara historis oleh manusia. Para dystopians menuduh, teknologi merupakan ancaman nyata bagi manusia.

Perkembangannya yang terus berlangsung melampaui kebutuhan, memosisikan manusia sebagai pihak yang harus disingkirkan. Kehadiran manusia menghalangi pencapaian tertinggi peradaban.

Tokoh dunia yang menjadi penyokong pandangan, jika teknologi dikembangkan hingga puncaknya bakal membawa keburukan ini, di antaranya: Elon Musk, Stephen Hawking dan juga Geoffrey Hinton. Hinton adalah ilmuwan yang kerap dianggap sebagai guru besar ternama di bidang AI.

Hinton telah bergabung selama 10 tahun terakhir di Google, namun pada Bulan Mei 2023 mengundurkan diri dari perusahaan raksasa informasi dunia itu. ini lantaran Hinton khawatir dengan pengembangan AI termutakhir, yang membawa ancaman bagi eksistensi manusia. Sedangkan Google termasuk di antara perusahaan-perusahaan yang ambisius, mengembangkan AI.

Senada dengan Hinton, Elon Musk juga miris dengan perkembangan AI. Ini ketika dibandingkan dengan pencapaian kecerdasan alamiah manusia. Menurut Musk, “AI bakal lebih pintar daripada manusia dan akan melampaui umat manusia pada tahun 2025”.

Pernyataan Elon Musk itu, termuat dalam tulisan Srishti Deoras, 2020, berjudul AI Will Overtake Humans in Five Years: Elon Musk. Konteks pandangan Musk, disampaikannya saat memperhatikan DeepMind, perangkat berbasis AI yang dibangun Google (dalam Kurniawan, 2023).

Di luar dua kutub yang berhadapan itu, sesungguhnya terdapat satu kelompok moderat, yang tak mempermasalahkan baik buruk AI bagi relevansi posisi manusia. Penyokong pandangan ini, sering disebut sebagai kelompok pragmatis. Kelompok pragmatis memandang: masa depan manusia bisa menjadi cerah, jika dapat dibuat keputusan yang pintar dan praktis terhadap teknologi.

Selama teknologi itu bermanfaat hari ini, gunakalanlah. Maka hidup bakal jadi lebih mudah dijalankan, efisien dan cepat. Tokoh dunia penyokong pandangan ketiga ini di antaranya, Steve Wozniak, Satya Nadella, Sundar Pichai, Marc Benioff, Malcolm Frank, Paul Roehrig dan Ben Pring. (Dalam Kurniawan, 2023)

Hari ini, di tengah perlombaan memanfaatkan perkembangan teknologi termutakhir ini, Indonesia ada dalam posisi menyingsingnya fajar pemanfaatan: 'Indonesia, in the rise of artificial intelligence'. Walaupun pengenalan Bangsa Indonesia melalui para ilmuwan maupun industriawannya terhadap AI tak ketinggalan dari bangsa lain, posisinya masih terlalu prematur untuk dapat disebut sebagai negara yang telah fasih menggunakan teknologi ini.

Namun posisi ini sesungguhnya menguntungkan, karena meletakkan Indonesia tepat di tengah persimpangan pilihan. Pandangan utopia maupun distopia punya konsekuensi untung-ruginya masing-masing. Sehingga pilihan yang disertai argumentasi matang, mempertimbangkan segala kemungkinan, meletakkan Bangsa Indonesia dapat memperoleh manfaat terbaik, dari apapun pilihannya.

Posisi fajar menyingsing ini memberi waktu, walaupun tak terlalu panjang untuk menyikapi pemanfaatan AI dengan cara tepat. Jumlah penduduk yang besar, juga struktur penduduknya yang didominasi kelompok muda produktif, mengantar Indonesia meraih posisi 'Indonesia Emas' di tahun 2045.

Seluruhnya ini memberi dualisme keadaan: dengan karakteristik penduduk Indonesia yang unik di tengah intensifnya pemanfaatan AI, dapatkah penduduk Indonesia berperan optimal pada kancah peradaban dunia? Atau justru tersingkir, tak relevan jadi penonton di pinggir arena? Seperangkat pertanyaan yang harus segera diperoleh jawabannya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait