URnews

Norma Teknologis: Implikasi Intensitas Relasi Manusia dan AI?

Firman Kurniawan S, Minggu, 12 November 2023 12.10 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Norma Teknologis: Implikasi Intensitas Relasi Manusia dan AI?
Image: istimewa

Jakarta - Monopoli teknologi pada setiap relung hidup manusia, makin nyata dirasakan. Hari ini, orang jadi pelupa bukan lantaran usia yang makin renta. Mudah lupa juga bukan lantaran terlalu banyak material ingatan yang harus diserap. Mudah lupa, lebih disebabkan relasi manusia dengan perangkat teknologi di sekitarnya.

Nicholas G Carr, 2010, seorang Jurnalis dan Penulis Amerika, lewat bukunya “The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains”, mencoba merunut bagaimana pelupa juga menurunnya minat dan kemampuannya menyelesaikan bacaan menjangkitinya. Seluruhnya akibat kehadiran personal computer (PC) di rumahnya, berikut relasi yang terbentuk dengannya. Perubahan yang dialami Carr ini, menggelisahkannya. Juga bagi orang yang seprofesi dengannya, mengandalkan pikiran.

Kerisauan Carr dimulai, dengan makin sedikitnya buku-buku bacaan yang bisa diselesaikannya. Kalaupun ada yang sanggup diselesaikannya, dibutuhkan waktu lama. Berhadapan dengan buku bacaan, jadi beban berat baginya. Awalnya, faktor pertambahan usialah yang diduga jadi penyebabnya.

Ini juga terlihat wajar, saat dibandingkan dengan koleganya yang juga bertambah usia. Minat dan kemampuan koleganya terhadap bacaan, juga menurun. Namun jika seluruhnya itu benar, pikir Carr, kapan itu mulai terjadi? Carr mencoba mengelak dari argumentasi-argumentasi kerentanan yang ditimbulkan oleh faktor alamiah.

Jawaban mulai terang didapatkan. Ini saat Carr menggunakaan PC miliknya. Dalam ingatannya, sejak PC yang terhubung dengan internet hadir di rumahnya, hampir seluruh aktivitasnya terkonsentrasi pada perangkat itu. Kemudahan akses terhadap PC, memperlancar kerja jurnalistik maupun produksi tulisannya. Demikian juga ketika harus memperoleh sumber rujukan.

Sebelumnya harus diakses lewat buku pustaka maupun artikel bacaan. Seluruhnya didapatkan Carr, harus dengan keluar rumahnya. Tubuh dan kognisinya terlibat penuh, dalam produksi dan konsumsi informasi.

Dengan adanya PC, semua itu tidak perlu lagi dilakukan. PC yang terhubung dengan internet, memenuhi kebutuhan informasi Carr. Informasi-informasi itu juga tak perlu disimpan sebagaimana material pustaka yang selama ini digunakan.

Juga potongan-potongan berita yang ditata untuk mempermudah akses saat diperlukan. Carr tinggal mengetikkan kata kunci pada mesin pencari, dipanennya material rujukan. Aktivitas tubuh maupun kognisi Carr menurun, seiring intensitas penggunaan PC yang terhubung internet.

Akan halnya menelusuri bacaan membacanya dari awal hingga akhir juga tak diperlukan lagi. Manakala yang diperlukan hanya sepotong kalimat konfirmasi untuk dimuat dalam tulisannya, dengan mudah dicarikan oleh mesin. Membaca secara keseluruhan hanya membuang waktu.

Relasi Carr dengan teknologi, tanpa disadari mengubah cara kerja kognisinya. Aktivitas, menelusuri, menyimak dan mengingat, dialihkan pada perangkat PC. Bentuk organ tubuh maupun cara kerjanya turut berubah. Namun seluruhnya bukan lantaran penyebab alamiah. Relasi dengan perangkat teknologilah yang mendisfungsi organ tubuh berikut cara kerjanya.

Perubahan tubuh maupun cara kerjanya, yang tak disadari akibat monopoli perangkat teknologi ini, merupakan implikasi yang telah lama diramalkan Neil Postman. Ilmuwan ini menyebutnya sebagai teknopoli. Neil Postman, 1992 dalam ‘Technopoly: Surrender of Culture of Technology”, membagi 3 periode relasi manusia dengan teknologi.

Pada periode pertama, relasi manusia dengan teknologi, sebagai bagian hidupnya. Seluruh perangkat yang mempermudah kehidupan, disebut sebagai teknologi. Kulit pohon yang keras untuk memotong daging, kulit buah untuk menampung air, hingga batu sungai untuk menaklukkan hewan buruan, seluruhnya adalah teknologi.

Pada periode ini teknologi meresap sebagai bagian budaya manusia. Teknologi adalah budaya dan perkembangan budaya ditentukan oleh perubahan teknologinya.

Masuk pada periode kedua, disebut dengan teknokrasi, technocracy. Ciri utama di periode ini, teknologi digunakan untuk memperluas persepsi manusia terhadap alam semesta.

Adanya mikroskop, digunakan untuk melihat aneka jasad renik yang semula ada di luar spektrum penglihatan manusia. Ini karena sangat kecil ukurannya, juga penggunaan teropong, untuk melihat benda-benda angkasa: bintang, bulan beserta planet-planet lainnya.

Seluruhnya tak terjangkau mata, karena letaknya yang jauh. Adanya perangkat teknokrasi ini mengubah cara manusia, memahami dunia yang dihuninya.

Dan terakhir, periode ketiga. Hari ini. Periode ini disebut sebagai teknopoli, technopoly. Teknopoli terjadi ditandai oleh teknologi yang makin memonopoli hidup manusia. Akibat monopoli itu, perlahan-lahan kealamiahan manusia berubah. Ini agar, manusia dapat terus relevan terhadap teknologi.

Alih-alih teknologi digunakan untuk menunjang hidup manusia, justru dalam pemanfaatannya teknologi yang harus diadaptasi. Pada periode ketiga ini, para pengguna teknologi harus melakukan penyesuaian, mulai dari hal yang sangat mendasar: memperlajari bahasa global yang digunakan teknologi, hingga menyusun perilaku sesuai bentuk teknologi yang digunakannya.

Baca Juga: Gen Z, Generasi Paling Kesepian dalam Intensitas Artificial Intelligence?

Saat Facebook belum populer, untuk mengungkap pengalaman pribadi seseorang melakukannya dengan menuliskan di buku harian. Buku harian ini, bahkan dilengkapi gembok pengunci, agar isinya tak diakses orang yang tak dikehendaki.

Kalaupun tak diungkapkan lewat buku harian, pengalaman harian diungkap kepada teman. Itupun dalam jumlah terbatas. Seluruhnya berubah ketika Facebook populer. Oleh pengembangnya, media sosial ini ditujukan sebagai perangkat pemanen data, untuk penyusunan algoritma.

Lewat persuasi demi membangun eksistensi, pemilik akun diajak mempublikasikan aktivitas privatnya. Kelaziman menyimpan yang privat sebagai material di ruang tertutup, diubah normanya. 

Media sosial mengajak dipublikasikannya aktivitas privat. Ini pun oleh algoritma didukung. Makin banyak sisi privat yang ditampilkan, makin tinggi respons yang didapatkan penggungah konten. Norma sosial digeser agar eksistensi personal tercapai, dalam penggunaan media sosial.

Demikian halnya dengan norma pengungkapan isi pikiran. Lewat Twitter/X diubah jadi lebih ringkas, padat dan segera. Di awal kemunculannya, Twitter mengharuskan panjang ungkapan tak lebih dari 140 karakter.

Jika lebih, kicauan akan dipotong. Atau dilanjutkan pada kicauan berikutnya. Jika kemudian batas pengungkapan dinaikkan jadi 280 karakter, pengaruhnya telah terlanjur terbentuk. Cara orang mengungkap pikirannya makin pendek.

Dalam realitasnya, pengaruh pembatasan pengungkapan itu, tak hanya pada relasi sosial lewat Twitter/X. Saat pengungkapan isi pikiran tanpa platform pun, makin ringkas, padat dan segera. Kerja otak turut dipengaruhi. Niat mengkonsumsi bacaan atau ungkapan yang panjang sebagaimana pengalaman Nicholas G. Carr di atas, sering terhalangi.

Manusia menolak menyimak ungkapan yang panjang, dengan penjelasan yang lebih lengkap. Kesegeraan mengkonsumsi kandungan isi, jadi norma yang berlaku. Seluruhnya diubah oleh perangkat teknologi.

Hari ini, saat teknologi pengenalan wajah makin berkembang lantaran disokong oleh artificial intelligence (AI). Demikian pula dengan pengolahan big data yang memanfaatkan deep learning, mampu menghasilkan algoritma yang akurat. Seluruhnya dapat dimanfaatkan untuk menegakkan norma sosial. Norma sosial yang terbentuk secara teknologis.

Pemanfaatan intensif perangkat berbasis AI di tengah kehidupan masyarakat yang tersemat sebagai kamera smartphone, kamera di sudut-sudut kota, aplikasi pembayaran, platform media sosial, aplikasi pemesanan transportasi, platform jual beli, hingga mesin pencari seluruhnya menghasilkan algoritma.

Algoritma ini selanjutnya diolah untuk memetakan aktivitas personal. Juga dapat dimanfaatkan untuk mengkategorikan kepatuhannya terhadap norma sosial. Ketika sistem dibangun dengan disertai hadiah dan hukuman, dapat digunakan untuk menegakkan kepatuhan terhadap norma sosial.

Contoh nyata yang aktual, penegakan norma sosial teknologis yang dijalankan Negara China. Negara ini menerapkan social credit system (SCS) dengan mengerahkan perangkat-perangkat teknologi, termasuk yang telah dipercanggih AI. Penegakan sistemnya terhadap 1.4 milyar warga negara Cina, menjadi cara pengawasan yang mudah.

Kamera ada di mana-mana, aplikasi teknologi telah digunakan dengan intensif. Juga masyarakat yang punya kebiasaan memotret atau mevideokan apapun yang menarik. Seluruhnya digunakan untuk memeringkat kepatuhan norma sosial warga negaranya, dalam sistem kredit sosial.

Hasil penilaiannya dapat dilihat pada masing-masing smartphone warga. Juga catatan yang dimiliki negara. Terhadap orang dengan kredit sosial yang tinggi, dihadiahkan berbagai fasilitas kemudahan sosial dari negara. Sebaliknya ketika kredit sosial rendah, sulit memperoleh layanan sosial.

Dengan cara ini, tiap orang terdorong untuk menaikkan kredit sosialnya. Cara termudahnya, patuh terhadap norma. Ini artinya, lewat aplikasi teknologi, norma sosial dapat ditegakkan.

Namun pertanyaan yang muncul dari seluruh realitas di atas, itukah puncak relasi manusia dengan taknologi: perangkat yang semula diciptakan untuk membantu kehidupan manusia, justru berperilaku menguasai hidup manusia? Dalam relasi ini, otentikkah perilaku manusia yang dikendalikan oleh teknologi?

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait