URnews

Panggilan Cebong dan Kampret Dihentikan, Adakah yang Kehilangan Identitas Politiknya?

Urbanasia, Senin, 22 Oktober 2018 13.32 | Waktu baca 2 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Panggilan Cebong dan Kampret Dihentikan, Adakah yang Kehilangan Identitas Politiknya?
Image: istimewa

Urban Asia - Setiap tanda atau simbol yang digunakan dalam politik mewakili identitas dari pemakainya. Kehilangan tanda maupun simbol, bisa juga kehilangan jati dirinya. Baru – baru ini Ustadz Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym meminta kepada semua pihak untuk menghentikan panggilan Cebong dan Kampret dari netizen di media sosial. Alasannya kita sebagai manusia bukan binatang dan guna menghindari perpecahan. Gagasan Aa Gym ini juga kompak didukung oleh politisi yang berseberangan, yakni dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Masinton Pasaribu dan dari Gerindra, Desmond J, Mahesa. Buat yang gak masuk ke dalam kategori ini, seperti Partai Demokrat yang melalui politisinya, Ferdinand Hutahaean juga turut mendukung penghentian kedua panggilan tersebut. Ada yang beranggapan, julukan atau panggilan Cebong dan Kampret adalah sebuah kemunduran demokrasi.Terlalu dini kayaknya, cuma gegara panggilan aja kita langsung menyimpulkan sebagai sebuah kemunduran demokrasi. Kalau pun panggilannya diganti jadi yang lebih baik, apakah bukan berarti tidak mengalami kemunduran demokrasi? Buat contoh aja ya, misal ketika sudah dirubah panggilannya menjadi lebih baik, tetapi kabar bohong atau hoax, disinformasi hingga fitnah dan hasut tetap ada, apa iya demokrasi akan lebih baik? Jadi berasa denial gak sih dengan wacana ini? Sama hal nya ketika diminta untuk menghentikan hashtag atau tagar #2019GantiPresiden dan #DiaSibukKerja berasa kehilangan identitas politik gak tuh. Sementara Demokrat yang di luar dari partai pendukung pemerintah atau Presiden Jokowi dan tidak termasuk ke dalam bagian loyalis Prabowo juga mengkampanyekan tagar #JanganDiam. Bayangin aja, kalau tanda itu dihapus, gimana membedakannya? Panggilan atau julukan serta tanda maupun simbol kalau kita jernih melihatnya adalah sebagai pembeda antar institusi atau personal. Dan ini biasanya diiringi dengan nilai – nilai pembandingnya. Sebagai contoh pendukung Presiden Jokowi ialah mereka yang identik dengan kebebasan dan sementara pendukung Prabowo mempunyai ciri khas dengan konservativnya. Dan nilai – nilai lainnya. Berarti panggilan Cebong dan Kampret sudah include dengan nilai – nilai karakternya. Terpenting sih sekarang yang perlu dibalik adalah logika berpikirnya. Artinya perang gagasan antara kelompok pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo yang harus dievaluasi terlebih dahulu. Misalnya di media sosial adu teori, buat banjir data dan mempublikasi kerja nyata, bukan adu fitnah dan hasut. Sama kayak hubungan pacaran aja, panggilan kan bisa beda – beda, bahkan ada nama binatang. Yang penting adalah kejujuran dan kesetiaan. Daripada di depan mangilnya dengan sebutan yang manis, tapi taunya mengkhianati kepercayaan, jadi mending pilih yang mana?

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait