URnews

Pengawasan Pemilu dalam Godaan Pemanfaatan Artificial Intelligence

Firman Kurniawan S, Kamis, 3 Agustus 2023 10.18 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Pengawasan Pemilu dalam Godaan Pemanfaatan Artificial Intelligence
Image: Freepik

Jakarta - Betapa kecewanya pada hasil pemilu, seorang sastrawan mengungkapnya kegeramannya sebagai, “Orang yang kau pilih waktu pemilu, adalah dia yang dengan sirine polisi akan menyuruhmu minggir di jalan raya”. Sastrawan itu adalah Pidie Baiq, mengungkapkan perasaan buruknya, lewat akun twitter-nya, 24 Mei 2013 silam.

Memang dalam promosi tentang demokrasi, pemilu bisa jadi penentu nasib bangsa. Kualitasnya dapat memperbaiki atau justru memperburuk keadaan yang sedang berjalan.

Kenyataan di atas, identik dengan pandangan Paul Collier dan Lisa Chauvet, 2009, dalam tulisannya yang berjudul, ‘Elections in Developing Countries: Do They Improve Economic Policy?’.

Pada tulisan itu keduanya mengungkap adanya bukti demokrasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pertumbuhan yang tercapai lewat kebijakan yang dirumuskan oleh pelaku yang baik. Perumus kebijakan yang diperoleh, ketika pemilunya diselenggarakan dengan bebas dan adil.

Dalam kasus di negara-negara berkembang, pemilu yang dihasilkan dengan bebas dan adil memaksa pemerintahan yang terbentuk, disiplin menerapkan kebijakan ekonomi yang juga adil. Seluruhnya meningkatkan keadaan ekonomi negara.

Sayangnya, lanjut Collier dan Chauvet, tak jarang pemilu berlangsung tak kompetitif. Ada pihak yang tidak siap dengan persaingan sehat. Sebuah keadaan yang justru memperburuk keadaan.

Dalam sejarah panjang penyelengaraan pemilu, pelaksanananya hampir tak pernah sempurna. Banyak pihak yang berusaha membelokkan hasil pemilu, demi keuntungan kelompoknya.

Ini bukan hanya terjadi di negara yang demokrasinya baru tumbuh, bahkan Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang menyebut diri paling demokratis di dunia, rusaknya pemilu bukan hal yang tabu.

Journal of Democracy, 2021, memberi beberapa catatan terkait penyelenggaraan Pemilu 2020 di AS itu. Disebutkan dalam catatan itu, Pemilu AS 2020, merupakan keajaiban sekaligus tragedi.

Disebut sebagai keajaiban, sebab pemilu di tahun itu terselenggara di tengah merebaknya Pandemi COVID-19. AS merupakan salah satu negara dengan penjalaran virus paling masif. Juga besarnya jumlah penderita yang akhirnya meninggal.

Di tengah hidup masyarakat yang terancam, pemilu yang aman, terjamin, dan profesional, terselenggara. Ini sebuah prestasi heroik. Pemilu diikuti sejumlah besar warga AS, menunaikan hak politiknya.

Terlepas dari keberhasilan yang dipuja-puji sebagai heroisme demokrasi, gelaran itu juga disebut tragedi. Berkembang tuduhan adanya kebohongan tentang penipuan suara dan kinerja sistem. Tuduhan ini membentuk persepsi puluhan juta orang AS: pemilu dicurangi.

Ketidakpercayaan yang ditanamkan pihak tertentu ini, telah merusak demokrasi. Terjadi pendudukan Capitol Hill, menolak lengsernya Donald Trump. Juga jatuh korban meninggal, dari kalangan sipil. Celakanya jalan untuk memperbaiki keadaan sama sekali tak jelas.

Satu aktor yang dianggap mempengaruhi cacatnya penyelenggaraan gelaran demokrasi itu: platform berbasis internet. Google dan Facebook telah dicerca luas sejak Pemilu AS 2016. Ini karena keduanya jadi pintu masuk campur tangan pihak asing.

Diwujudkan sebagai iklan dan konten organik. Sedangkan di tahun 2020, keduanya menyempurnakan sistem seraya menepis tuduhan sebagai platform penyebar disinformasi. Keadaan dicapai Facebook, menjadi pengingat top-of-feed yang membantu lebih dari 4,5 juta orang untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih, berikut tindakan memilih itu sendiri.

Hasil lainnya, lebih dari seratus ribu orang mendaftar dan turut dalam survei soal pemilu yang diselenggarakan platform ini.

Senada dengan keadaan di Amerika, kejadian yang mirip terjadi di Filipina. Amalia Salabi, 2022, dalam ‘The Philippine Election Disinformation Phenomenon and Indonesia's Readiness’, mengungkap pendapat dari semua aktor pemilu yang diwawancarai: tim sukses, caleg, penyelenggara pemilu, pemantau pemilu, dan pemilih, bahkan praktisi media dan akademisi. Nadanya serupa: disinformasi sangat merajalela dalam penyelenggaraan Pemilu Filipina 2022.

Facebook selalu disebut sebagai media yang melakukan berbagai disinformasi yang menyerang peserta pemilu, Komisi Pemilihan Umum, Comelec. Juga serangan pada proses dan teknis pemilu.

Dari fenomena disinformasi yang beredar, organisasi pemeriksa fakta sering jadi sasaran serangan. Terlebih ketika organisasi pemeriksa itu menjalankan fungsinya di setiap pos sanggahan.

Narasi keterlibatan antek asing, agen CIA, pengkhianat bangsa adalah tiga dari banyak tuduhan dan fitnah terhadap organisasi pemeriksa fakta, seperti Rappler dan Vera Files. Serangan juga termasuk dalam bentuk penilaian keberpihakan pada salah satu kandidat, atau kebencian terhadap kandidat yang lain.

Organisasi pemeriksa fakta, termasuk penyelenggara pemilu kerap jadi korban tarik-menarik yang terbentuk oleh adanya polarisasi dua calon presiden. Meskipun Pemilu Filipina itu, diikuti sepuluh calon, persaingan delapan kandidat lainnya tak terlalu bergema.

Ini berguna meredam polarisasi yang tajam di masyarakat Filipina, sehingga keadaannya tak separah polarisasi akibat Pemilu Indonesia 2019.

Namun demikian, dalam catatan Salabi berikutnya, ada kesamaan Pemilu di Filipina 2022 dengan di Indonesia 2019. Ditemukan berbagai bentuk disinformasi terkait proses teknis dan pemilu.

Disinformasi itu menyerang anggota dan institusi Comelec, juga disinformasi pada pendukung kandidat yang bersaing. Beberapa disinformasi memojokkan pemilih, yang juga disertai narasi yang mengintimidasi.

Bedanya, jika di Indonesia terjadi disinformasi dengan narasi yang mengintimidasi dan mempertanyakan hak pilih kelompok marjinal dan rentan, di Filipina ditemukan disinformasi disertai narasi intimidasi terhadap peserta pemilu sayap kiri progresif atau dikenal dengan red tagging.

Termasuk dalam kelompok rentan calon pemilih di Indonesia, berdasar Tim Pengamatan Situasi Pemenuhan Hak Konstitusi Warga Negara-Komnas HAM, adalah penyandang disabilitas, tahanan, narapidana, pekerja perkebunan dan pertambangan, pekerja migran, pekerja rumah tangga, masyarakat. Kelompok-kelompok ini sering diabaikan hak politiknya.

Nampak jelas, terdapat pola yang serupa dalam penyelenggaraan Pemilu AS maupun Filipina. Seluruhnya mengarah pada adanya kelompok yang sama, berdiri di belakang penyelenggaraan pemilu, dan menjadikan pemilu turun kualitasnya.

Pola serupa itu, pada gelaran yang menghendaki keterlibatan masyarakat yang pengetahuannya seragam, diperlukan banyak informasi yang berkualitas. Hari ini di tengah perkembangan teknologi informasi yang cepat, platform berbasis internet jadi milik semua kalangan. Maka produksi, distribusi dan konsumsi informasi berlangsung dengan mudah dan murah.

Aktivitas terkait informasi, jadi aktivitas utama pada gelaran pemilu. Permasalahan muncul manakala produksi, distribusi dan konsumsi informasi terjadi dalam spektrum niat baik masyarakat yang sangat lebar. Ini dilakukan kalangan yang berniat menegakkan etika informasi terpuji, hingga kalangan yang tak mempedulikannya.

Tak mengherankan, disinformasi selalu jadi fenomena yang mengemuka, di semua penyelengaraan pemilu, di negara manapun. 

Keadaan kian runyam manakala perkembangan teknologi informasi, memberi kesempatan pemanfaatan artificial intelligence (AI), di berbagai urusan. Runyam saat AI digunakan untuk menyamarkan tampilan disinformasi. Masyarakat makin menyulitkan mengenali disinformasi, alih-alih mencegahnya.

Pemanfaatan AI untuk disinformasi bukan kekhawatiran yang mengada-ada. Lewat teknologi deepfake berhasil diproduksi imitasi tampilan para kepala negara, tokoh agama, pesohor, bahkan orang sipil yang menyatakan sesuatu yang bukan kehendaknya. Barack Obama diproduksi untuk menyampaikan dukungan pada Donald Trump. Ini mustahil.

Obama justru sekutu Joe Biden, sebagai penerus kebijakan yang pernah dilahirkannya. Demikian juga ‘Fake Donald Trump’, yang mengajak beralih masyarakat AS, dari Youtube ke RuTube, platform ala Youtube produksi Rusia. Sebuah pernyataan yang disampaikan tak lama setelah invasi Ukraina oleh Rusia, 24 Februari 2022 silam.

Menjelang gelaran Pemilu Indonesia 2024, setidaknya terdapat 3 keadaan yang memungkinkan suburnya penggunaan disinformasi yang dipercanggih AI: pertama, adanya personal atau organisasi yang tak siap bersaing, sehingga adanya disinformasi yang dipercanggih deepfake dapat jadi jalan keluar.

Kedua, adanya produsen yang memberikan penawaran murah, produksi disinformasi berteknologi deepfake. Tersedianya aneka teknologi AI dan tumbuhnya gairah mencoba memanfaatkannya, menyebabkan penawaran yang bersaing.

Ketiga, momentum pemilu yang makin dekat, dapat segera diisi untuk menyebarkan informasi dengan massif. Keberadaan disinformasi yang berlimpah, mempersulit pengenalan masyarakat.

Ketiga keadaan itu, secara hipotetik tersedia saat ini. Tak bisa mengandalkan niat baik saja, untuk mencegahnya. Karenanya, lembaga pengawas pemilu harus memutus rantainya. Kehadiran pemilu berkualitas jadi perangkat koreksi, memperbaiki nasib masyarakat.

Atau jika tidak, muncul keadaan sebagaimana ungkapan Bob Barr, “Bukan hanya gangguan perangkat lunak dan kartu memori yang rusak yang harus menjadi perhatian para pejabat pemilu. Peretas menimbulkan masalah lain yang sangat nyata. Pemilu dapat condong ke kandidat yang disukai”. Terlebih ketika peretas yang dimaksud Barr adalah ‘disinformasi’. Pemilu dengan disinformasi, memperburuk nasib masyarakat.

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait