URnews

Realitas Cair Zaman Artificial Intelligence

Firman Kurniawan S, Senin, 11 Desember 2023 13.55 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Realitas Cair Zaman Artificial Intelligence
Image: Ilustrasi Freepik

Jakarta - Dengan jumlah keterhubungan masyarakat global oleh internet sebesar 64.4% populasi, yang artinya setara dengan 5.16 miliar manusia di antara total populasi dunia, sebesar 8.01 miliar. Juga kepemilikan mobile phone sebesar 68% populasi, ~yang setara dengan 5.44 miliar perangkat dan penggunaan media sosial sebanyak 59.4% populasi yang setara dengan 4.76 miliar akun media sosial aktif, ini mengacu pada data We Are Social, 2023, maka sebagian besar hidup manusia, ada dalam situasi mobile moment.

Mobile moment ini ketika diterjemahkan sebagai perilaku aplikatif masyarakat Amerika, berdasar survei Review.org, 2023, dapat digambarkan sebagai perilaku warganya yang rutin memeriksa mobile phone yang dimiliki, rata-rata sebanyak 144 kali sehari. Ini artinya setiap 10 menit sekali, terjadi pertemuan antara mata dan jempol pengguna, dengan layar mobile phone.

Tujuannya memeriksa adanya informasi yang baru. Walaupun kekerapan memperhatikan layar ponsel ini turun sebesar 58% dibanding survei tahun sebelumnya, namun penggunaan waktu sebanyak 4 jam 25 menit sehari, dengan mobile phone, menunjukkan kenaikan sebesar 30% dari jumlah waktu yang digunakan.

Daniel Weisbeck, 2018 lewat tulisannya “Mobile Moments: Baby Steps on the Road to Personalization”, dengan mengacu pada Forrester, menyebut mobile moment sebagai satu titik dalam ruang dan waktu hidup manusia, yang dijalani dengan penggunaan perangkat mobile. Ini seluruhnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan informasi, layanan maupun berinteraksi dengan pihak lain.

Kebutuhan informasi, layanan maupun interaksi dengan pihak lain itu, menyangkut: pemenuhan kebutuhan berita yang memastikan terjadinya peristiwa, layanan perbankan, pemesanan transportasi, pemeliharan kesehatan, pemenuhan kebutuhan makanan-minuman, pemesanan akomodasi wisata, pemenuhan informasi politik, pelaksanaan pendidikan, pemenuhan kesejahteraan keluarga, hingga berinteraksi dengan manusia lain.

Melalui konvergensi dengan fasilitas internet of things, mobile moment berlangsung lebih intensif. Tanpa data yang sah terkonfirmasi pun, nampaknya dapat dikatakan, tak kurang dari 70% kehidupan analog manusia, telah berpindah ke modus virtual.

Terkait mobile moment, dalam “The Rise of Network Society”, Manuel Castells, 1996, menyebut lahirnya budaya real virtualitity. Ini konsekuensi makin intensifnya manusia dalam mobile moment.

Memang tak persis mobile moment yang disebutkan Castells, melainkan penggunaan intensif microelectrenic yang merembes hingga ke masyarakat bawah, mendorong lahirnya budaya berciri virtual ini. Real virtuality culture, berkembang seiring teknologi informasi yang massif.

Ini memunculkan keadaan yang dapat digambarkan sebagai lebih dterimanya realitas yang maya, sebagai realitas yang sebenarnya. Perjalanan hingga terbentuknya real virtuality berliku-liku, dengan melibatkan interaksi 2 konsep penting: the space of flows dan timeless time. Namun untuk memahaminya tak terlalu rumit.

Begini penjelasan ringkasnya: dengan intensifnya penggunaan perangkat microelectronic, terjadi konsekuensi berupa berpindahnya eksistensi manusia dari space of place ruang-ruang fisik-analog yang ada di permukaan bumi ke space of flows. Space of flows adalah ruang-ruang yang terbentuk oleh teknologi berbasis internet.

Hari ini, ruang-ruang yang terbentuk oleh internet itu berupa world wide web, media sosial, berbagai aplikasi yang digunakan untuk memenuhi kehidupan dan interaksi antar manusia. Seluruhnya dapat diakses melalui mobile phone.

Ciri penting dari space of flows ini, tak melekatnya waktu pada ruang, sebagaimana logika space of place. Ini berimplikasi berubahnya makna waktu dari time o’clock ke timeless time, waktu yang tak mewaktu.

Pada time o’clock misalnya, saat jam 11.37 seseorang ada di ruang kerja fisik-analognya di sebuah rumah di Depok Jawa Barat, tubuh dan kesadarannya yang menyerap realitas, hanya bisa berada di tempat itu. Tak mungkin ada di tempat lain.

Keadaan di atas, sama sekali berbeda dengan timeless time. Saat tubuh dan kesadarannya ada di sebuah lokasi fisik-analog di Depok, kesadaran juga bisa ada di ruang-ruang realitas lain.

Sebagai narasumber Seminar Budaya Digital lewat perangkat zoom yang dihadiri Mahasiswa Universitas Cendrawasih di Papua. Ini bersamaan dengan dilakukannya pembicaraan kontrak dagang dengan mitra bisnis di Abu Dhabi, menggunakan Skype.

Bersamaan itu pula terjadi interaksi dengan keluarga yang sedang berwisata di Dataran Tinggi Dieng, melalui aplikasi WhatsApps. Waktu yang ditempati sama: 11.37, namun realitas yang dialami ada di 4 ruang berbeda.

Meski 3 dari 4 realitas yang dihayati di atas berlangsung di ruang virtual, namun konsekuensi sosial budayanya, aktual. Saat kontrak dagang dengan mitra bisnis diingkari, dapat menimbulkan tuntutan hukum. Demikian pula interaksi yang dilakukan dengan keluarga, yang diperantarai aplikasi perbincangan, dapat menyebabkan terjadinya perselisihan yang berdampak sosial panjang.

Waktu yang tak mewaktu pada ruang, bersifat virtual namun implikasinya aktual. Seluruhnya membentuk pemaknaan baru pada realitas.

Melanjutkan pikiran Manuel Castells yang menyebutkan, komunikasi simbolik antar manusia makin berlangsung dalam space of flows, artinya hubungan antara manusia dan alam, juga basis produksi, distribusi dan konsumsi, pengalaman maupun kekuasaan, mengkristal di ruang virtual. Seluruhnya membangkitkan penghayatan pada realitas, secara berbeda.

Dibanding modus analog yang mengacu pada realitas alamiah maupun sosial, realitas virtual bersifat cair. Pabrikasi realitasnya, terjadi lewat informasi yang diinteraksikan di ruang-ruang virtual.

Dalam penerapannya, pengetahuan manusia yang semula terbentuk lewat interaksi sosial simbolik, berubah sebagai interaksi konten lewat medium-medium digital. Pemahaman tentang kinerja sebuah produk, bukan terutama terbentuk oleh kunjungan ke tempat produk berada.

Kinerja produk terbentuk lewat informasi yang diproduksi dan didistribusikan sebagai konten. Juga lewat pengakuan para pemakai produk. Demikian pula dengan realitas alamiah seperti tingginya pencemaran di sebuah kota, bukan diketahui berdasarkan indikator kekeruhan udara kota, yang diukur dan dinyatakan dengan perangkat terstandar tertentu.

Keadaan polusi ditentukan oleh kerapnya produksi dan distribusi konten, tentang perasaan polutif yang dialami seseorang. Makin intensif sebuah konten polusi dibicarakan, makin polutiflah keadaan sebuah kota.

Realitas yang cair ini memberikan fleksiblitas pengetahuan, sekaligus keadaan yang membingungkan. Realitas yang dihayati manusia hari ini, tak punya pijakan selain kuantitas informasi yang kerap diproduksi dan didistribusikan.

Tentu saja ini sangat terkait dengan kepentingan pada realitas yang hendak dihadirkan. Saat produsen lemari besi mengingnkan produk dagangan, diproduksilah realitas keadaan tak aman lewat konten media digital.

Demikian pula dengan mantan narapidana korupsi yang hendak mengajukan diri sebagai calon legislatif, yang mencitrakan diri sebagai personal bersih, diproduksi dan didistribusikan konten yang memoles dirinya lewat media digital. Tak penting realitasnya di dunia nyata. Seluruh realitas makin hadir, seiring konsumsi informasi yang makin intensif.

Hari ini, saat Bangsa Indonesia menyongsong pelaksanaan Pemilu Presiden-Wakil Presiden, di Bulan Februari 2024, tentu produksi dan distribusi realitas yang hendak dilekatkan pada kandidat, jadi aktivitas utama. Dengan pencanggihan lewat penggunaan artificial intelligence (AI), ditelusuri realitas yang bakal laku di hadapan pemilik hak suara. Seluruhnya jadi pedoman pengemasan konten kampanye.

Pengalaman serupa sesuai ilustrasi di atas, telah nyata dipraktikkan pada Pemilu Presiden 2022 di Filipina. Pemenang pemilu negara tetangga itu Bongbong Marcos, Putra mantan Presiden Ferdinand Marcos yang dikenal sebagai diktator kejam dan koruptif berhasil menepis realitas buruk ayahnya.

Bongbong Marcos berhasil membangun realitas baru bagi ayahnya, lewat konten-konten heroik. Muncul realitas masa Pemerintahan Ferdinand Marcos, sebagai masa pemerintahan terbaik dalam sejarah Filipina.

Kaum muda, terutama Gen-Z yang tuna sejarah kediktatoran Ferdinand Marcos menghayati realitas kepahlawanan yang disebarluaskan. Saat realitas tanpa acuan ini dikapitalisasi sebagai keunggulan produk politik, inilah yang jadi kunci kemenangan Bongbong Marcos.

Realitas virtual yang terbentuk oleh produksi dan distribusi intensif konten media digital dengan dipercanggih AI. Seluruhnya berhasil menghadirkan realitas yang diharapkan pemilik hak suara.

Namun demikian, dalam pengandaian hipotetik cairnya realitas virtual sesaat menjelang dilangsungnya pemilu ada pihak yang juga massif memproduksi dan mendistribusi konten media digital yang bertentangan dengan Tim Bongbong, maka akan muncul realitas alternatif yang melawan.

Secair itulah realitas virtual yang dihayati manusia hari ini. Saking cairnya, muncul pertanyaan: apa itu realitas? Masih adakah? Terlebih dengan pemanfaatan AI, seluruhnya dapat ditimbul-tenggelamkan sesuai kehendak. Lalu apa lagi, yang masih bisa dipercaya?

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait