URnews

Relevan di Era Artificial Intelligence, Apa Syaratnya?

Firman Kurniawan S, Sabtu, 21 Oktober 2023 23.19 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Relevan di Era Artificial Intelligence, Apa Syaratnya?
Image: Freepik

Jakarta - Gambaran mengerikan ini seiring perkembangan teknologi yang dihembuskan dapat menihilkan pekerjaan manusia seraya memberi waktu luang tak terbatas tak pernah terbukti sepanjang sejarah. Saat mengandalkan hasil berburu dan mengumpulkan sebagai sumber energi, waktu manusia diisi dengan menemukan sumber buruan dan material yang dikumpulkan.

Ini meliputi persiapan perburuan, berstrategi mengalahkan buruan, hingga menemukan cara menyimpan material yang terkumpul. Seluruhnya agar awet, dapat dikonsumsi di waktu yang lama.

Tiba waktunya, teknologi berburu dikuasai. Tata cara hidup beralih. Hari-hari dijalani dengan lebih banyak bermukim di suatu kawasan, seraya mengembangkan teknologi bertanam.

Kebutuhan karbohidrat maupun protein dipenuhi dari lahan-lahan pertanian di sekitar tempat bermukim. Waktu yang semula dihabiskan untuk menjelajah, menemukan material buruan dan pengumpulan berakhir.

Manusia mulai jadi pemukim. Kalaupun melakukan perburuan, lebih karena memenuhi kesenangannya. Juga perpindahan, dilakukan hanya sekali-sekali untuk menemukan sumber-sumber kesuburan baru. Apakah dengan demikian manusia punya lebih banyak waktu sisa? Tidak.

Baik Noah Yuval Harari, 2011, dalam “Sapiens: A Brief History of Humankinds”, maupun James Suzman, 2021, dalam “Work: A Deep History, from the Stone Age to the Age of Robots”, menolak adanya manusia yang berkelebihan waktu, akibat perkembangan teknologi. Saat peradaban beralih dari aktivitas berburu dan mengumpulkan ke era teknologi bertanam, yang terjadi hanya peralihan aktivitas.

Waktu yang semula dibelanjakan untuk menjelajah dan berpindah, dialihkan untuk memperhatikan binatang ternak maupun tanaman budidaya. Ini mencegahnya dari serangan-serangan pemangsa.

Juga memberi perlindungan pada hasil budidaya, dari serangan hama maupun penyakit. Variasi-variasi material yang dibudidayakan, turut mengalami perkembangan. Tak ada waktu berlebih, untuk tak melakukan apapun.

Saat hari ini terjadi disrupsi, lompatan berjarak jauh perkembangan teknologi digital, berlebihannya waktu luang juga tak terjadi. Waktu yang semula harus disediakan untuk pulang pergi ke tempat kuliah misalnya, memang tak dituntut lagi.

Perkuliahan dapat dijalani dalam jaringan, dengan memanfaatkan teknologi pertemuan jarak jauh. Tak perlunya pulang pergi ke tempat kuliah, tak lantas menjadikan peserta kuliah dilimpahi tambahan waktu luang.

Ada bentuk-bentuk tugas kuliah yang semula dilakukan secara konvensional, beralih ke teknologi digital. Seluruhnya memerlukan waktu adaptasi, dari mempelajari hingga praktik pelaksanaannya.

Waktu dialihkan untuk mengadaptasi pola hidup baru. Termasuk tata cara praktik hidup dalam jaringan. 

Demikian pula saat berbagai layanan administrasi publik tersedia dalam jaringan, perpanjangan SIM-STNK online, aplikasi permohonan passport online, hingga layanan perbankan dengan internet banking maupun mobile banking tak serta merta memberi manusia waktu luang yang berlimpah.

Tak ada situasi menganggur massal yang terjadi. Waktu yang semula harus disediakan untuk mengantri layanan publik teralih. Ini misalnya untuk mengkonsumsi informasi yang tersebar lewat perangkat-perangkat digital.

Hingga tahap ini, relasi manusia dengan teknologi bukan untuk menemukan dan menggantikan keberadaan manusia. Teknologi adalah bagian hidup manusia, yang posisinya bersisian dengan segala aktiivtasnya. 

Namun seluruh keadaan di atas jadi berbeda, ketika yang dibicarakan sebagai perkembangan adalah teknologi berbasis artificial intelligence (AI). Robbie Allen, 2017, dalam “Why Artificial Intelligence is Different from Previous Technology Waves” menyebut perbedaan itu.

Menurutnya, terdapat 8 jenis teknologi yang deras berkembang ini diungkap lembaga konsultasi manajemen Gartner terkelompok ke dalam 4 kuadran karaktersitik. Karakteristik-karakterisitik itu meliputi: pertama, ‘pengembangan dengan penghalang rendah dan sifat pengembangannya terpusat’.

Ini merupakan karakteristik teknologi dengan inovasi terbatas. Termasuk di dalamnya, mobile apps dan cloud computing. Kedua, ‘pengembangan dengan hambatan tinggi dan sifat pengembangannya yang terpusat’. Karakteristik pengembangan teknologi ini, dengan inovasi kepemilikan. Termasuk dalam kelompok ini, social network dan operating system.

Ketiga, ‘pengembangan dengan hambatan tinggi dan sifat pengembangannya terdesentralisasi’. Karakteritik teknologi macam ini berupa inovasi yang tidak kompatibel. Termasuk di dalamnya web browser, networking dan internet of things.

Dan yang keempat, ‘pengembangan teknologi dengan hambatan rendah dan sifat pengembangannya terdesentralisasi’. Ini artinya teknologi dikembangkan lewat inovasi yang terdistribusi sepenuhnya. Termasuk dalam kelompok ini adalah teknologi berbasis artificial intelligence.

Hal yang menyebabkan AI berbeda dari teknologi lain yang juga berkembang, lanjut Allen, adalah latar belakang penelitiannya yang kuat. Komunitas di balik ilmu komputer berkembang terbuka. Presentasi temuan terbaru sangat mudah dijumpai. Jumlahnya berlimpah.

Inovasi berlompat-lompatan tanpa harus menunggu ide matang sepenuhnya. Di balik pengembangan AI, terjadi perlombaan kecepatan jadi yang pertama mengemukakan inovasi. Bahkan akibat perlombaan itu, AI berkembang tanpa regulasi pengawasan pengembangan yang memadai.

Keadaan di atas memancing pendapat Elon Mask, kurang lebih: saat nuklir yang penggunaannya dapat memusnahkan manusia, pengembangannya diawasi otoritas yang memadai. Sedangkan AI, alih-alih khawatir dengan relevansi pekerjaan manusia berikut eksistensi kemanusiaannya, pengembangan AI tak melibatkan otoritas pengawas.

Itu bedanya, sekaligus bahayanya.  Pada penelitian AI, tak ada badan pengatur yang menyetujui kemajuan baru. IETF dan organisasi-organisasi lain bersifat politis. Kekuatan-kekuatan besar di industri memaksa perwakilannya agar mengarahkan kelompok-kelompok standar untuk mencetuskan inovasi-inovasi baru. Seluruhnya mendorong kemajuan industri secara keseluruhan.

Hal-hal di atas nampaknya, menyebabkan laju perkembangan AI ke segala arah. Terus menimbulkan kebaruan, tanpa menghiraukan kemanusiaan yang melekat pada manusia. 

Manusia yang sumber eksistensinya pada pekerjaan sebagai penanda martabat, terancam. Keniscayaan berupa tak mungkin dipunyainya waktu luang yang berlimpah, bahkan terhindar sebagai pengangguran, akibat perkembangan teknologi nampaknya harus diberi pengertian baru.

Di hadapan AI manusia tak bisa berharap saling jadi bagian satu sama lain. Manusia benar-benar bisa kehilangan relevansinya, saat yang dibicarakan AI.

Memitigasi irelevansi umat manusia, akibat AI yang menurut Robbie Allen karakteristiknya ‘inovasi yang terdistribusi sepenuhnya’, sekelompok peneliti: Lina Markauskaite, Rebecca Marrone, Oleksandra Poquet SM, Simon Ksatria, Roberto Martinez-Maldonado, Sarah Howard, Jo Tondeur, Maarten De Laat, Simon Buckingham Shum, Dragan Gašević dan, George Siemens, 2022, dalam artikelnya “Rethinking the Entwinement between Artificial Intelligence and Human Learning: What Capabilities do Learners Need for a World with AI?”, menyebut diperlukannya pemikiran algoritmik dan literasi komputasi manusia. Ini bertujuan memelihara relevansi kemanusiaan di tengah AI.

Dengan mengutip Luengo-Oroz, 2020, kesebelas penulis di atas menyebut, AI bakal menata ulang distribusi kecerdasan, tenaga kerja, dan distribusi kekuasaan antara manusia dengan mesin. Seluruhnya memerlukan jenis kemampuan baru.

Karenanya, untuk mencegah irelevansi akibat kehadiran AI itu, perlu dimilikinya seperangkat kemampuan yang memungkinkan individu mengevaluasi teknologi AI secara kritis, berkomunikasi dan berkolaborasi secara efektif dengan AI. Juga mampu menggunakan AI sebagai perangkat online di rumah, di tempat kerja.

Nampaknya inilah yang disebut pemikiran algoritmik dan literasi komputasi itu. Termasuk di dalam konsep ini, pemahaman dasar manusia tentang apa itu AI, apa yang bisa dilakukan AI, cara kerja AI, hingga cara AI digunakan dengan semestinya, maupun cara manusia mempersepsi AI.

Tersirat dari uraian terakhir soal cara mempersepsi AI, ini terkait dengan posisi relasi manusia dengan AI. Manakala AI dipersepsi sebagai perangkat ajaib yang mampu menyelesaikan segala persolalan, manusia memosisikan dirinya di bawah AI. Ini mendatangkan ancaman.

Implikasi persepsi semacam ini: CEO perusahaan peminat AI maupun perumus kebijakan yang terkait peran manusia, dapat terjebak pada kebijakan yang keliru. Penggantian manusia dengan AI hanya soal keunggulan kemampuan teknis AI.

AI yang dipersepsi berkemampuan unggul, niscaya memberi alasan menyingkirkan manusia. Terlebih jika ditambah pertimbangan nilai ekonomi yang dapat diraih. Jika persepsi ini yang jadi arus utama, entah bagaimana nasib manusia selanjutnya.

Sebaliknya ketika persepsi yang dihadirkan, AI adalah penyempurna kinerja manusia, posisinya sebagai penyokong pencapaian tujuan. AI dapat berdampingan damai bersama manusia.

Ini mendudukkan AI sebagaimana teknologi-teknologi sebelumnya. AI berperan meningkatkan kapasitas manusia, berada di ekosistem teknologi yang terus berkembang dan tak dapat diselesaikan hanya bermodalkan kecerdasan alamiah belaka.

Maka lebih dari keharusan meramalkan masa depan yang rumit oleh perkembangan AI, syarat penting yang harus dimiliki menghadapi ketakpastian, adalah persepsi memandang AI. Tentu saja persepsi yang diiringi pembelajaran terus menerus. Saat persepsinya tepat, tak ada ancaman yang perlu dikhawatirkan. Dan tentu itu lebih melegakan, kan?

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait