URnews

Risiko Peradaban: AI dan Hilangnya Kendali Total Manusia

Firman Kurniawan S, Sabtu, 11 Mei 2024 18.42 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Risiko Peradaban: AI dan Hilangnya Kendali Total Manusia
Image: Ilustrasi Freepik

Jakarta - Pintu beralih totalnya kendali peradaban dari manusia ke artificial intelligence (AI) itu, telah dibuka makin lebar. Perusahaan bentukan Elon Musk, yang menampung impian-impian teknologi masa depannya, Neuralink berhasil menanam microchip di dalam sistem syaraf manusia.

Microchip yang kemudian diberi nama Telepathy itu, ditanam di dalam sistem syaraf Nolan Arbaugh, laki-laki berusia 29 Tahun yang mengalami lumpuh total, setelah melakukan penyelaman.

Keberhasilan yang dicapai Neuralink di Bulan Januari 2024 itu, merupakan rangkaian kemajuan, setelah dilakukan upaya sejenis pada sistem syaraf hewan. Pemasangan microchip pada hewan, seluruhnya gagal.

Tubuh hewan menolak unsur asing yang ditanamkan padanya. Hewan-hewan uji coba mati, dengan membawa kerusakan otak.

Kegagalan juga akibat adanya kesalahan teknis, dalam proses pemasangannya. Namun dengan berbagai upaya penyempurnaan komponen dan teknisnya, kegagalan berhasil diatasi.

Neuralink selanjutnya meminta persetujuan FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat, untuk melakukan ujicoba pada manusia. Upaya dengan subyek Arbaugh, merupakan uji klinis pertama yang dilakukan pada manusia.

Keberhasilan awal itu, didemontrasikan melalui video yang menyiarkan pertandingan catur, Arbaugh VS komputer. Ditunjukkan, Arbaugh berhasil menggerakkan bidak-bidak caturnya di komputer, lewat pikirannya.

Tak sedikitpun menggerakkan menggunakan mouse atau menyentuhkan jarinya di layar perangkat. Telepathy mampu mengirim data yang bersumber dari sinyal-sinyal otak Arbaugh, ke komputer.

Demikian cara kerja berikutnya: pengiriman sinyal otak dalam bentuk data, sebagai perintah ke komputer maupun smartphone, yang berisi aplikasi.

Telepathy maupun perangkat sejenisnya ini bakal terus berkembang. Jika dalam keberhasilan awalnya, perangkat masih sebatas microchip yang dapat menjembatani kehendak pikiran untuk menggerakkan benda-benda, pada gilirannya akan dapat mengatur pikiran pemakainya.

Juga untuk memanen data yang ada di dalam pikiran. Memulihkan daya penderita lumpuh, agar dapat menggerakkan aneka perangkat lewat kekuatan pikiran, jelas bukan tujuan akhir Elon Musk.

Soal tujuan pengembangan Telepathy ini, terkonfirmasi melalui Elon Musk Wants to Merge Humans with AI. How Many Brains Will be Damaged Along the Way?  Sigal Samuel, 2024, menuliskan visi-visi Musk.

Katanya, “Untuk mencapai simbiosis manusia dengan kecerdasan buatan. Simbiosis ini menggabungkan daya manusia dengan AI. Sehingga manusia tak tertinggal, seiring makin canggihnya AI”.

Antusiaskah manusia dengan aneka tujuan pengembangan teknologi itu? Kelompok yang beraliran pesimis justru dengan lantang menyuarakan kekhawatirannya. Kelompok ini tak merasa antusias.

AI yang dikembangkan dengan intensif contohnya, justru bakal menghilangkan kendali total manusia pada peradaban. Ini sering disebut ebagai “civilization risk”, risiko peradaban.

Dalam struktur kronologisnya, Elon Musk sesungguhnya termasuk bagian dari kelompok, yang punya kekhawatiran itu. Perkembangan AI menurutnya, bakal menyingkirkan keterlibatan manusia pada peradaban.

Karenanya, demi mencegah risiko hilangnya kendali total manusia oleh AI di masa datang, lewat Future of Life Institute, yayasan yang didanai Musk dilakukan penggalangan tanda tangan.

Tanda tangan dibubuhkan pada pernyataan, yang meminta penundaan pengembangan dan pelatihan intensif AI selama 6 bulan. Masa 6 bulan ini, diperkirakan sebagai waktu yang memadai untuk menyusun regulasi pengawasan pengembangan AI.

Pada pengembangan teknologi pemanfaatan nuklir, dilakukan di bawah regulasi pengawasan yang ketat. Ini akibat bahaya yang dapat memusnahkan manusia.

Namun mengapa pada pengembangan AI yang juga dapat menghilangkan eksistensi manusia, dilakukan tanpa regulasi pengawasan yang memadai?

Penggalangan tanda tangan beriringan momentumnya dengan penyempurnaan ChatGPT-4, yang diluncurkan OpenAI, akhir tahun 2022. Seiring kemampuannya yang makin sempurna, muncul kekhawatiran soal kendali total peradaban oleh manusia di masa depan.

Masihkah manusia bertindak sebagai pengendali? Tercatat, jumlah penandatangan pernyataan itu, mencapai 1.744 sejak digulirkan 29 Maret 2023.

Pembubuh tanda tangan adalah para pakar, eksekutif perusahaan, masyarakat pemerhati perkembangan teknologi maupun masyarakat sipil. Pernyataan itu dapat dimaknai sebagai reaksi khawatir dunia pada perkembangan AI.

Dalam realitasnya, selama 6 bulan pasca penandatangan pernyataan, pengembangan AI tak kemudian berhenti. Tujuan pernyataan hendak menunda risiko peradaban, namun dalam upaya mewujudkannya bisa gagal, demikian pikir Elon Musk.

Maka pilihannya: jika tidak bisa mengalahkan pembawa risiko, maka bergabunglah dengan pembawa risiko itu. Telepathy yang rancangan awalnya dikembangkan sejak 2016, ditujukan mengantispasi kegagalan mengatasi risiko peradaban itu.

Ini artinya, kehadiran Telepathy merupakan dialektika aksi-reaksi. Bertujuan menghadang riisiko, namun justru dapat mempercepat hadirnya risiko.

Kehadiran Telepathy sebagai reaksi terhadap penyempurnaan GPT-4, yang dikhawatirkan menyebabkan risiko peradaban, justru jadi aksi menghadirkan risiko.

Argumentasi Musk mengembangkan Telepathy didasari praduganya. Dunia dalam waktu singkat bakal diwarnai sistem AI yang dapat mengkomunikasikan informasi, dengan kecepatan 1 triliun bit per detik.

Sedangkan manusia hanya dapat berkomunikasi dengan kecepatan 39 bit per detik. Kesenjangan ini menempatkan kendali oleh manusia tak relevan lagi. Bahkan secara total akan diambil alih oleh AI, kecuali kecepatan berlipat itu bisa disamai manusia.

Dalam tulisan Samuel berikutnya, seluruh kecepatan yang dijelaskan Elon Musk adalah soal bandwidth. Yang penjelasan praktisnya: kecepatan koneksi antara otak manusia dengan versi digitalnya.

Antarmuka bandwidth yang tinggi dari perangkat digital ke otak, sebagai jembatan mencapai penyatuan antara manusia dengan mesin cerdas.

Itulah makna hakiki Telepathy yang dikembangkan Elon Musk lewat Neuralink. Pengembangannya tak bakal hanya berhenti untuk memulihkan daya manusia dari kelumpuhannya.

Maka pertanyaan yang melandasi pengajuan penyataan bertandatangan terkait penundaan pengembangan AI intensif: “Haruskah manusia mengembangkan pikiran non-manusia, yang pada akhirnya mungkin melebihi jumlah, mengakali, ketinggalan jaman, dan menggantikan dirinya?

Dan haruskah manusia mengambil risiko kehilangan kendali atas peradabannya?”, harus dijawab Elon Musk dan Neuralink sendiri. Jawaban atas pertanyaan itu perlu diperoleh. Ini lantaran tak mungkin pengembangan Telepathy maupun perangkat sejenisnya dapat dibatasi.

Memang dalam keberhasilan awalnya sebatas microchip yang dapat menjembatani kehendak pikiran untuk menggerakkan benda- benda. Namun pada tahap berikutnya, ini seiring jumlah elektode yang dapat ditancapkan ke dalam sistem syaraf manusia, perangkat pasti juga dapat dikendalikan untuk mengatur pikiran secara ekternal.

Demikian pula pemanenan data dari pikiran, untuk diolah sebagai algoritma. Seluruhnya dapat dengan mudah dilakukan, sejalan dengan terpasangnya microchip.

Dalam ilustrasi nyata kekhawatiran hilangnya kendali, oleh Samuel dilanjutkan: di Cina pemerintahnya telah terbukti berhasil mengumpulkan data dari otak para pekerja. Ini dilakukan dengan meminta para pekerja mengenakan topi yang dapat memindai gelombang otaknya.

Keadaan emosional para pekerja, dengan jelas dapat terbaca. Data yang diperoleh bukan epiphenomena, sebatas gejala permukaan. Namun keadaan emosional yang nyata, sebagai data.

Demikian pula yang terjadi di Amerika Serikat, lewat pengembangan neuroteknologi para tentara dapat dimanipulasi untuk lebih waspada.

Sedangkan banyak institusi kepolisian di berbagai negara dunia, mampu mengeksplorasi teknologi “sidik jari otak”. Sidik jari otak adalah respons spesifik yang terjadi di otak, saat panca indera dihadapkan pada rangsangan yang telah dikenali.

Seorang pembunuh, data pikirannya bakal bereaksi tak membantah, saat dihadapkan pada benda yang telah dikenali sebagai milik korban yang dibunuhnya. Dengan cara ini, interogasi dapat menghasilkan data lebih presisi.

Mulut yang menyatakan jawaban, sangat mungkin berbeda isinya dengan data pikiran yang bereaksi. Respon otak dapat lebih “jujur”, terhadap hal yang telah pernah dikenali. Dan itu tak selalu sinkron dengan pengakuan.

Walaupun teknologi sidik jari otak dipertanyakan secara ilmiah, namun polisi India telah menggunakannya sejak tahun 2003. Juga polisi Singapura telah membelinya pada tahun 2013, dan diikuti polisi negara bagian Florida, yang menandatangani kontrak untuk digunakan di negaranya, pada tahun 2014.

Dari seluruh kemungkinan pengembangan teknologi itu, jika semula dalam posisi hakikinya: pikiran merupakan benteng akhir makna manusia. Manusia yang otonom adalah manusia yang mampu mengendalikan kehendak bebasnya.

Maka manakala kehendak bebas itu dapat dengan tepat diketahui, direkayasa dan otonomi direbut oleh kekuatan eksternal yang di masa datang itu adalah AI, masihkan manusia tanpa otonominya tetap dapat disebut sebagai manusia?


* Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital Dr Firman Kurniawan S yang juga pendiri LITEROS.org

* Tulisa bukan pandangan Urbanasia
 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait