Sejarah Diplomasi Energi Dunia, Saatnya Indonesia Berperan?

Jakarta - Indonesia adalah negara yang sangat kaya, posisinya yang berada di garis khatulistiwa, di antara pertemuan 4 samudra dan 2 benua membuat Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat besar, termasuk di dalamnya adalah kekayaan alam sebagai sumber energi. Persoalan energi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, tetapi ketersediaan energi yang terbatas membuat energi menjadi mahal, dalam kehidupan dunia internasional energi dapat menjadi komoditas dan alat diplomasi yang efektif.
Diplomasi energi kritikal adalah sebuah cabang dari diplomasi energi yang berkonsentrasi pada pengelolaan dan penguasaan sumber daya energi yang memiliki sifat strategis dan vital bagi keberlangsungan ekonomi, keamanan, dan stabilitas sebuah negara. Selain itu, diplomasi energi adalah hal yang kritikal sebagai bagian dari strategi geopolitik dan diplomatik yang memiliki konsentrasi pada pengelolaan, akses, dan penguasaan sumber daya energi strategis yang paling penting untuk keberlanjutan ekonomi, keamanan nasional, dan transisi energi global.
Sumber: Koleksi Pribadi
Indonesia memiliki sumber daya energi yang sangat berharga di dunia, meliputi energi tradisional seperti minyak dan gas, serta mineral langka seperti litium, kobalt, dan rare earth elements (REE) yang menjadi kunci dalam teknologi modern seperti baterai, kendaraan listrik, dan energi terbarukan. Potensi besar yang dimiliki Indonesia dalam kepemilikan sumber energi ini seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat dan menjadi alat diplomasi penting yang akan mendukung posisi Indonesia dalam diplomasi energi yang selalu berlangsung dinamis di dunia internasional.
Energi kritikal biasanya mengacu pada sumber energi atau bahan baku penting yang dibutuhkan untuk mendukung teknologi modern, industri, dan transisi energi seperti mineral langka (litium, kobalt, nikel, dan lainnya), energi fosil (minyak bumi dan gas alam), energi nuklir (uranium dan plutonium), serta energi terbarukan (komponen utama untuk teknologi seperti panel surya atau baterai).
Diplomasi energi kritikal yang ada di dunia memiliki perkembangan yang terus berlangsung dengan berbagai dinamikanya, terutama berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan dunia terhadap energi yang semakin terbatas. Permasalahan energi menjadi masalah yang sangat strategis karena memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan teknologi, keamanan, maupun ekonomi sebuah negara, maka tidak mengherankan jika diplomasi energi menjadi hal yang sangat krusial bagi sebuah bangsa. Secara garis besar sejarah diplomasi energi kritikal adalah sebagai berikut:
Era Revolusi Industri (Abad ke-18 sampai ke-19)
Dalam masa revolusi industri, kebutuhan energi meningkat tajam. Peningkatan permintaan energi penting seperti batubara terutama digunakan untuk bahan bakar mesin uap. Pada saat ini, diplomasi energi masih berlangsung sederhana, lebih terkonsentrasi pada perdagangan antar negara yang berkaitan dengan bahan baku seperti batu bara dan besi. Dalam masa ini peran kolonialisme sangat besar, negara-negara kolonial berusaha mencari sumber daya energi di wilayah koloni mereka, seperti India, Afrika, dan Asia Tenggara. Pada saat itu energi digunakan sebagai kekuatan ekonomi dan politik .
Era Minyak sebagai Sumber Utama Energi (Awal Abad ke-20)
Pada awal abad ke-20, terjadi era kebangkitan minyak bumi. Pada masa ini penemuan dan eksploitasi minyak bumi mengubah pola diplomasi energi global. Minyak menjadi sumber energi yang dominan, menggantikan batubara. Dalam masa ini yang berperan besar adalah perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang perminyakan seperti Standard Oil (Amerika Serikat) dan Royal Dutch Shell (Belanda-Inggris) mendominasi pasar minyak global dan menjadikan diplomasi energi erat dengan kepentingan bisnis. Pada masa ini juga terjadi Perang dunia ke-1 dan 2 yang menjadikan minyak menjadi faktor strategis dalam perang global. Negara-negara yang terlibat perang berkompetisi mengamankan pasokan minyak untuk mendukung mesin perang mereka.
Era Pasca Perang Dunia ke-2 (1945-1970-an)
Pasca perang dunia ke-2 terjadi salah satu peristiwa penting dalam bidang energi dunia, yaitu pembentukan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada tahun 1960 yang berdiri untuk melakukan koordinasi kebijakan minyak di antara negara produsen, terutama wilayah Timur Tengah.
Pada tahun 1973 juga terjadi peristiwa besar yang memengaruhi peta diplomasi energi dunia yaitu krisis minyak 1970-an, berupa embargo minyak oleh negara-negara Arab yang menunjukkan kekuatan energi sebagai alat diplomasi yang menjadi pemicu krisis energi global. Pada masa ini ada peristiwa besar lain yang berkaitan, yaitu perang dingin antara Amerika dengan Uni Soviet yang menggunakan energi sebagai alat geopolitik antara blok kapitalis dan komunis. Uni soviet memanfaatkan minyak dan gas untuk membangun pengaruhnya di Eropa Timur.
Era Transisi Energi dan Sumber Daya Mineral Kritikal (1980-2000-an)
Pada masa 1980-2000-an mulai ada kesadaran untuk melakukan diversifikasi energi. Kesadaran ini didasari pemikiran bahwa energi yang selama ini digunakan terutama energi berbahan fosil adalah energi yang terbatas dan sudah mencapai Tingkat kritis ketersediaannya, maka sudah selayaknya manusia mulai mencari sumber energi lain yang dapat menjadi energi alternatif untuk menggantikan energi. Berbagai negara mulai mengeksplorasi energi alternatif seperti nuklir, tenaga angin, dan surya.
Eksplorasi energi baru ini membawa dimensi baru dalam diplomasi energi, yaitu permintaan mineral kritikal yang naik tinggi dan menjadikan Tiongkok menjadi pemain kunci. Dalam hal naiknya permintaan mineral kritikal seperti litium, nikel, kobalt, dan rare earth elements (REE), hal ini terjadi karena pesatnya penggunaan dalam teknologi tinggi, termasuk baterai untuk kendaraan listrik.
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam kendaraan listrik, baterai memainkan peran yang sangat besar. Baterai ini adalah kunci sebuah kendaraan listrik dapat berfungsi, dan baterai ini terbuat dari nikel dan litium.
Dengan perkembangan kendaraan listrik yang pesat ini, Tiongkok saat ini menjadi pemain kunci. Pada akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an, Tiongkok muncul sebagai penguasa pasar mineral kritikal dunia dan mengubah lanskap geopolitik energi.
Era Kontemporer: Energi Terbarukan dan Transisi Hijau (2010-an sampai saat ini)
Saat ini terjadi perubahan fokus energi. Dunia mulai berpindah dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan untuk mengatasi perubahan iklim. Diplomasi energi saat ini mencakup isu keberlanjutan dan mitigasi emisi karbon. Perubahan ini mendorong transisi energi global baik secara langsung maupun tidak langsung. Dorongan untuk mengurangi emisi karbon meningkatkan permintaan akan energi terbarukan dan kendaraan Listrik, sehingga memperbesar kebutuhan akan mineral kritis.
Tiongkok muncul sebagai pemain utama dalam hal ini. Mereka menguasai sebagian besar rantai pasok mineral kritis seperti REE yang menimbulkan tantangan geopolitik bagi negara-negara barat. Sebagai negara dengan yang memiliki industri dari hulu hingga hilir, dan menguasai produksi berbagai komoditas di dunia, sudah selayaknya Tiongkok berusaha mengamankan kepentingannya untuk mempertahankan industrinya dan menguasai diplomasi.
Dan yang menjadi catatan penting pada era ini adalah munculnya diplomasi hijau, yaitu negara-negara di dunia mulai mengintegrasikan diplomasi energi dengan tujuan keberlanjutan dan perubahan iklim, termasuk melalui perjanjian global seperti Paris Agreement.
Bagaimanapun energi kritikal saat ini memiliki peran yang sangat besar dalam berbagai bidang, utamanya dalam geopolitik, ekonomi, dan keamanan nasional, maka sudah selayaknya Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi besar dalam energi kritikal ini menjadi pemain utama di dunia untuk menjamin keberlangsungan negara yang lebih stabil.
Dalam bidang geopolitik, negara-negara yang ada di dunia berusaha untuk menguasai sumber daya energi yang sangat terbatas ini, dan Indonesia sebagai pemilik sumber daya energi kritikal yang sudah dimiliki secara alamiah, sudah seharusnya memiliki peran sangat strategis dan mampu berperan lebih besar di kancah dunia dengan posisi tawar yang menguntungkan.
Dalam bidang ekonomi, ketergantungan pada energi kritikal dapat memengaruhi harga dan rantai pasok global, dan Indonesia sebagai pemilik energi kritikal memiliki semua yang dibutuhkan untuk menentukan harga yang ada di dunia. Dalam bidang keamanan nasional, akses terhadap energi kritikal dapat menentukan stabilitas dan kekuatan suatu negara dalam dunia internasional, dan Indonesia sebagai pemilik energi kritikal harus memiliki akses terbesar untuk menjaga stabilitas dalam negeri maupun di dunia internasional.
* Dr Arsyad adalah Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Uhamka dan Penasehat Ahli Satuan Kerja Khusus Hulu Minyak dan Gas
* Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia