URnews

Sekali Lagi, Konten yang Tak Seharusnya Dipisah dari Konteksnya

Firman Kurniawan S, Rabu, 12 Juni 2024 19.53 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Sekali Lagi, Konten yang Tak Seharusnya Dipisah dari Konteksnya
Image: Freepik

Jakarta - Kecepatan sekali lagi menelan korbannya. Dan jatuhya korban, lagi-lagi lantaran terpisahnya konteks dari konten saat berinteraksi di media sosial. Hari Jumat 7 Juni lalu, beredar konten video tentang adanya seekor anjing penjaga pusat perbelanjaan, dipukul petugas pendampingnya.

Konten yang memuat kekerasan hasil tangkapan CCTV itu, diedarkan seorang pesohor, disertai narasi yang menyesali kejadian. Akibat konten tersebar di berbagai media sosial dengan cepat, topik ini segera jadi perbincangan luas.

Aneka komentar bernada geram dan marah, bermunculan. Seluruhnya menilai buruk perilaku Sang Petugas. Dan melihat tak surutnya komentar yang menyertai, manajemen pusat perbelanjaan mengeluarkan pernyataan: menyesali peristiwa yang terjadi dan segera mengambil tindakan tegas. 

Tindakan tegas yang dikeluarkan, berupa pemutusan kontrak kerja, antara pusat perbelanjaan dengan penyedia layanan penjagaan. Akibatnya, bukan saja petugas yang dituduh melakukan kekerasan yang di PHK, perusahaan penyedia jasa penjagaan dinyatakan tak lagi bekerjasama.

Namun tak lama berselang, keadaan berubah. Sentimen menyalahkan beralih menyerang pesohor pengunggah video. Pesohor yang semula dianggap pahlawan peduli satwa ini, berubah jadi pihak yang dianggap menyebarkan kekisruhan.

Kisruh yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja pada orang-orang tak bersalah. Serangan bertubi-tubi juga dialami manajemen pusat perbelanjaan. Pihak ini dianggap bertindak gegabah, tanpa memeriksa kejadian dengan seksama.

Sedangkan sentimen pembelaan beralih, petugas yang semula dituduh tak berperilaku layak pada satwa, ternyata hanya korban keputusan yang salah.

Pembalikan serangan dan pembelaan mulai terjadi, lantaran muncul klarifikasi dari Sang Petugas: dirinya bertindak keras pada Sang Anjing guna menghindarkannya menggigit kucing yang lewat di hadapan satwa penjaga ini.

Klarifikasi petugas, diperkuat oleh rekaman CCTV yang lebih lengkap, dibanding video yang sebelumnya beredar. Dalam pernyataan bela dirinya, jika anjing dibiarkan menggigit, tak mustahil kucing itu jadi korban gigitan yang lebih dalam. Simpati mulai berdatangan.

Konten yang lebih lengkap, nampaknya memunculkan konteks peristiwa yang senyatanya terjadi. Yang ada bukan petugas menyakiti satwa yang didampinginya, namun petugas yang menyelamatkan satwa lain dari serangan Sang Anjing.

Konteks juga berhasil memunculkan, sejak dari mana kesalahan bermula. Seluruhnya didahului oleh konten video yang tak lengkap, juga manajemen pusat perbelanjaan yang tak memeriksa peristiwa lebih dalam. Manajemen pusat perbelanjaan lebih memilih bereaksi cepat, lantaran merasa ditekan perbincangan di media sosial.

Namun yang cukup melegakan, muncul di antara komentar pembelaan, tawaran kerja pengganti bagi Sang Petugas yang telah di PHK.

Rangkaian peristiwa cepat ini menghasilkan pembelajaran: reaksi terburu-buru atas konten media sosial, berpeluang menghasilkan kesalahan. 

Bahkan menyebabkan jatuhnya korban sebagaimana ilustrasi di atas. Seluruhnya terjadi akibat misinformasi yang disebabkan terpisahnya konteks dari konten tanpa disadari. Bisa juga disebabkan disinformasi, akibat tak dihadirkannya konteks secara sengaja, oleh produsennya.

Dua unsur yang seharusnya tak boleh dipisahkan sebagai kemutlakan itu, berperan membentuk pemahaman pada peristiwa yang senyatanya.

Absennya konteks dari konten media sosial secara tak disadari, terjadi oleh realitas keterbatasan platform dalam mewadahi aneka interaksi simbolik. 

Interaksi simbolik ini, melibatkan produsen, distributor maupun konsumen konten di dalamnya. Keterbatasannya dalam menampung aneka bentuk interaksi simbolik di satu sisi, namun ‘dipaksa’ mampu menyelenggarakan interaksi tak terbatas, di waktu yang sama di sisi lainnya.

Seluruhnya menyebabkan context collaps, keruntuhan konteks. Konsep context collaps sesungguhnya memuat bentuk kelemahan platform, sekaligus segera menutupnya dengan kelebihan: melangsungkan interaksi tak terbatas.

Dalam penerapannya dapat diilustrasikan: adanya satu topik konten tertentu, namun secara simultan menyasar berbagai keragaman khalayak. Khalayak yang berlatar belakang perhatian, ketertarikan, maupun opini yang spektrumnya tak terbatas, mengkonsumsi satu bentuk konten.

Misalnya saja: seorang pawang gajah yang memperagakan teknik pengendalian gajah yang sedang dilatihnya. Untuk keperluan itu, peragaannya disajikan dalam bentuk video dan dimuat di platform Youtube. Dalam konten ditampilkan kerja Sang Pawang, mulai dari yang bersifat membujuk gajah, hingga memaksa gajah melakukan tugas tertentu.

Satu macam bentuk pengendalian gajah, namun dikonsumsi khalayak dengan spektrum latar belakang yang sangat beragam. Mulai dari yang tak peduli gajah, moralis gajah hingga yang sangat cinta gajah.

Juga dari sisi keahlian, terdapat berbagai tingkat keahlian pengendalian gajah. Tentu aneka keragaman itu, menghasilkan respon yang berbeda. Mulai tak seharusnya gajah dilatih menuruti kemauan manusia.

Hingga respon yang berisi, gajah yang dilatih dengan baik akan jadi pembantu baik manusia. Muncul keramaian respon. Juga respon yang tak proporsional, turut meramaikan.

Konten yang hadir dalam bentuk tunggal, menghadapi khalayak yang jamak keragamannya. Proses inilah yang menghapus dan meruntuhkan konteks. Sebab hanya ada satu respon yang paling diterima.

Terhadap interaksi media sosial dengan konten yang terhapus konteksnya, diuraikan Aslexis Grenell, 2022, dalam ‘How Social Media Erases Context’. Uraian Grenell dibuka dengan pernyataan: berbagi tanpa pandang bulu di media sosial telah menghapus batasan.

Ini termasuk batasan, hal yang dikatakan, kapan dan di mana konten disampaikan. Seluruhnya menjadi hilang terhapus. Penghapusan merupakan awal proses lenyapnya konteks.

Sudah lazim lanjutnya, mengkonsumsi konten tentang orang-orang yang dipecat, dihukum, atau mengalami cancel culture akibat konten yang beredar di media sosial.  Alasan tindakan penghakiman itu, sering kali berdasar norma yang berlaku.

Johnny Deep misalnya, sempat mengalami cancel culture seiring peredaran konten yang menuduhnya melakukan tindakan kekerasan pada Amber Laura Heard, mantan istrinya. Cancel culture pada pesohor ini terbukti merupakan tindakan yang tak tepat, akibat tak dipedulikannya konteks.

Kebenaran senyatanya hadir, seiring diterimanya pembelaan Deep oleh para hakim di pengadilan. Hukuman pada Deep, semata-mata berpijak pada norma yang berlaku di tengah khalayak: korban harus dibela dan penjahat harus dihukum.

Seluruhnya ini terbangun oleh tuturan Amber Heard, yang di kemudian hari terbukti tak benar. Saat Deep berhasil membuktikan kebenaran dirinya, kemarahan publik berbalik arah.

Deep justru dibela dan Heard dicaci maki. Konteks yang terhapus akibat keterbatasan struktural platform, juga yang sengaja dihapus untuk mencapai tujuan tertentu, menyebabkan context collapse, keruntuhan konteks. 

Keruntuhan yang terjadi, akibat pelaziman konten yang hadir, tanpa mempersoalkan konteksnya. Di waktu mendatang, gejala ini dapat menyebabkan tak jelasnya posisi kebenaran konten.

Setidaknya menyebabkan timbulnya kekisruhan. Amre Metwally, 2020, dalam ‘The Context Problem Social Networks Don’t Like to Talk About’, menyebutkan: konteks yang melekat pada sebuah konten yang diunggah di media sosial, juga mewadahi maksud pengunggah konten.

Pada material ini terkandung pernyataan, mengagungkan kekerasan atau menyesalinya. Kejelasan konteks dapat menjadi faktor penentu: sebuah unggahan mengikuti atau melanggar aturan yang ditetapkan platform. Namun sering kali konteks pada konten tak jelas. Ini membuat bingung moderator platform untuk bersikap: membiarkan atau mengambil tindakan take down, menurunkan konten.

Context collapse selanjutnya diilustrasikan Metwally sebagai sebuah contoh nyata. Ini misalnya, saat adanya seseorang yang memfilmkan peristiwa pembunuhan yang tak sengaja disaksikannya.

Dan dengan segera agar tak kehilangan momentum videonya diunggah sebagai konten sosial media.  Di dalam konten diperlihatkan seseorang dibunuh, namun tanpa disertai keterangan 5W1H sebagaimana rumus dasar jurnalisme.

Juga tak ada judul, maupun deskripsi ruang dan waktu peristiwa. Meskipun pemirsa dapat menontonnya dengan utuh, namun tak punya informasi tambahan. Kapan, di mana, disebabkan oleh apa peristiwa itu terjadi.

Yang dialami hanya perasaan mencekam, namun tak jelas yang disaksikan nyata atau rekaan belaka. Inilah yang sering mewarnai peristiwa hari ini. 

Konten hadir tanpa konteks, namun menghendaki respon yang jelas dan segera. Keruntuhan konteks, sering menyebabkan melesetnya respon, dari yang seharusnya.

Dan bukankah itu juga yang terjadi dalam peristiwa petugas yang dituduh menyiksa anjing? Padahal yang senyatanya terjadi, petugas yang sedang mengendalikan anjing yang menyerang kucing.

Manakala peristiwa hanya dibingkai sebagai penyiksaan terhadap binatang, hujatan dan hukuman dituai sebagai hasilnya. Namun ketika realitas lain yang senyatanya terjadi, penyesalan yang timbul.

Lalu, apakah hidup yang diperantarai media sosial, sama artinya dengan hidup yang dipenuhi penyesalan, akibat salah respons?

* Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital dan pendiri LITEROS.org
* Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait