URnews

Selamat Datang Era Komunikasi Korporat Berbasis Deepfake

Firman Kurniawan S, Senin, 18 September 2023 10.34 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Selamat Datang Era Komunikasi Korporat Berbasis Deepfake
Image: Freepik

Jakarta - Terkuaknya sebagian sejarah relasi Indomie dengan Mie Gaga pertengahan Agustus lalu, memberi pemahaman luas: pengungkapan fakta yang disembunyikan tak harus dilakukan seteru berwujud manusia. Tapi bisa dilakukan deepfake, yang mampu menirukan tampilan manusia nyaris sempurna.

Soal siapa yang harus ditunjuk sebagai penanggungjawab etis maupun hukumnya, masih gelap.

Pada salah satu unggahan akun Tiktok @hizkiaontiktok, 21 Agustus, berjudul “#djajadidjaja dan #indomie #mieinstan kebanggaan #indonesia”, ditampilkan Djajadi Djaja, pemilik Mie Gaga. Tampilan Djajadi Djaja diperankan deepfake, menguraikan sejarah perjalanan Indomie serta komposisi kepemilikan saham para pendiri perusahaannya.

Sebagian pernyataan bernada kelam, soal adanya perilaku tak pantas pada pendiri Perusahaan. Pengungkapan yang didahului dan diikuti unggahan-unggahan lain bernada sama, berhasil menarik perhatian khalayak. Sebagian menganggapnya sebagai persaingan bisnis belaka. Namun tak sedikit yang terpancing emosi negatifnya.

Memang teknologi yang digunakan untuk mengetengahkan kisah perusahaan besar ini, teknologi penghasil tiruan. Namun hasilnya sama sekali bukan tiruan. Nyata.

Berdasar catatan CNBCIndonesia, 9 September, nilai pasar Indomie akibat fakta yang terungkap itu lenyap hingga Rp 6,7 Triliun. Tentu ini kerugian yang tidak bisa dianggap remeh, bahkan dibiarkan berlalu sendiri. Seluruhnya dalam perspektif komunikasi korporat, disebut sebagai krisis korporat.

Apa itu deepfake? Ian Sampel, 2020 dalam “What are Deepfakes – and How can You Spot Them?”, memberikan deskripsi ringkasnya. Deepfake merupakan salah satu bentuk teknologi yang dihasilkan lewat pemanfaatan AI.

Prosesnya dilakukan melalui deep learning, yang dapat menghasilan gambar, suara, tiruan gerak, hingga peristiwa. Seluruhnya palsu. Kepalsuan yang diciptakan mendalam, karenanya disebut deepfake.

Saat seseorang hendak melontarkan kata-kata yang tak pernah keluar dari mulut politisi, bintang film favorit, juga hendak melakukan tiruan gerak tarian profesional, dapat memafaatkan deepfake. Sampel menyebut dalam pembukaan tulisannya: kepalsuan yang dihasilkan AI menjadi lebih luas dan meyakinkan. Karenanya semua pihak harus khawatir.

Pernyataan Sampel itu, senada dengan keadaan yang terjadi di dunia bisnis hari ini. Di luar peristiwa yang melibatkan Indomie dan Mie Gaga seperti cerita di atas, penggunaan deepfake pada aktivitas komunikasi korporat makin luas.

Akademische Gesellschaft für Unternehmensführung & Kommunikation, 2022, dalam: “Trends for Corporate Communications in 2022: #4 Synthetic Media”, menyebut meningkatnya penggunaan media sintetis dalam komunikasi korporat.

Media sintetis menurut lembaga pemikir nirlaba interdisipliner di bidang komunikasi korporat itu, merupakan konten yang sebagian atau seluruhnya dihasilkan oleh komputer maupun AI. Produknya bisa dalam bentuk teks, foto, audio, video, maupun gabungan seluruh bentuk itu.

Namun yang istimewa, seluruh tampilannya nampak nyata. Sehingga sulit dibedakan dari konten yang memang nyata.

Penggunaan produk media sintetis yang makin luas, lantaran biaya produksinya yang murah, namun prosesnya cepat. Contoh aplikasinya, saat perusahaan melakukan kolaborasi dengan influencer virtual.

Influencer yang selama ini dijalankan manusia, diganti influencer sintetis hasil rancangan komputer maupun AI. Biayanya jadi turun. Penggunaan lainnya, untuk mempersonalisasi konten.

Personalisasi konten melalui media sintetis manfaatnya banyak. Konten dapat disesuaikan dengan berbagai keadaan personal yang disasar.

Video instruksi kerja perusahaan multinasional misalnya, dapat menampilkan CEO yang menyampaikan pesan, dengan bahasa berbagai negara. Bahasa yang sesuai dengan tempat cabang perusahaan berada.

Pesan menjadi lebih sesuai dengan kebutuhan personal setempat. Mendorong terbentuknya saling pemahaman, di waktu yang lebih singkat.

Produk media sintetis merupakan kategori format media baru, yang membuka peluang dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Namun juga membuka, terciptanya ancaman.

Penyalahgunakan produksi media sintesis dalam bentuk konten yang manipulatif, yang dapat memicu terjadinya serangan siber. Antar perusahaan yang berseteru, memproduksi pesan deepfake untuk saling menyerang.

Soal ancaman yang muncul lewat penggunaan media sintetis, deepfake, maupun berbagai produk hasil teknologi AI lainnya, Vyacheslav Zholudev dan Pavel Goldman Kalaydin, 2023, dalam “Deepfakes are the New Big Threat to Business. How Can We Stop Them?”, menyebutkan: seiring penggunaan teknologi berbasis AI yang terus menanjak, permasalahannya juga meningkat.

Berbagai produk yang dihasilkan teknologi berbasis AI hari ini, ada pada tahap hampir tak dikenali semua orang. Tak bisa dibedakan produk yang palsu dari yang asli.

Penggunaannya yang makin luas di bidang bisnis, meletakkan bidang ini berhadapan dengan peningkatan risiko diperdayakan oleh penipuan sintetis dan deepfake. Sementara itu ancaman dalam bentuk social engineering yang menyasar hidup pribadi seseorang, juga tak kalah mengerikannya.

Ilustrasi nyata uraian Zholudev dan Kalaydin di atas, ditampilkan lewat laporan keduanya, dengan mengutip statistik yang diterbitkan Sumsub. Sumsub merupakan perusahaaan penyedia aplikasi untuk melakukan verifikasi yang mengamankan penggunanya saat menjalan transaksi, maupun aplikasi yang memberikan solusi untuk mencegah penipuan.

Ditunjukkan oleh lembaga ini, peluang terjadinya penipuan deepfake meningkat pesat dari tahun 2022 hingga kuartal pertama, di tahun 2023:

• Dari tahun 2022 hingga kuartal pertama tahun 2023, proporsi deepfake meningkat dominan dibanding semua jenis penipuan. Di Kanada meningkat sebesar 4.500%. di Amerika Serikat sebesar 1.200%, di Jerman sebesar 407% dan di Inggris sebesar 392%.

• Pada kuartal pertama tahun 2023, deepfake terbanyak berasal dari Inggris dan Spanyol. Masing-masing persentasenya 11,8% dan 11,2%, dibanding penipuan deepfake global. Yang kemudian diikuti Jerman 6,7%, Belanda 4,7%, Amerika berada di peringkat ke-5, dengan 4,3%, dari kasus penipuan deepfake global

• Sedangkan pada kuartal terakhir, penipuan sebagian besar terdiri dari jenis deepfake, di Australia 5,3%, Argentina 5,1%, dan Tiongkok 4,9%.

• Secara keseluruhan, dari tahun 2022 hingga kuartal pertama tahun 2023, proporsi penipuan berupa deepfake meningkat dari 0,1% menjadi 4,6% di Kanada, dari 0,2% menjadi 2,6% di AS, dari 1,5% menjadi 7,6% di Jerman, dan dari 1,2% menjadi 5,9% di Inggris. Seluruhnya menunjukkan angka peningkatan yang naik secara drastis.

Selain soal peluang kejadian penipuan memanfaatkan deepfake yang ancamannya makin nyata, persoalan etika juga mengemuka. Deepfake yang dipersonalisasi untuk membujuk target komunikasi perusahaan, dengan pelaku yang tak pernah melontarkan pesan yang di-deepfake, memunculkan persoalan etika maupun hukum.

Ini terjadi misalnya, saat David Beckham berbicara soal pemberantasan Malaria. Beckham muncul dalam video, “Malaria Must Die”, menyampiakan pesannya dalam sembilan bahasa berbeda. Sedangkan sasaran pesannya dapat menikmati lewat berbagai platform yang tersedia.

Hal serupa juga terjadi saat Elon Musk mempromosikan ajakan berinvestasi dalam mata uang kripto. Seluruhnya ternyata berujung penipuan. Pada video ditampilkan CEO SpaceX itu, dalam bentuk produk deepfake. Musk berbicara tentang peluang diperolehnya keuntungan besar dari investasi baru berbentuk mata uang kripto.

Hasilnya menggiurkan: deviden sebesar 30% setiap hari, dapat dipanen investor, hingga akhir hayatnya. Terhadap pesan ini, salah satu pengguna Twitter menyebut ajakan promosi Elon Musk yang viral itu, adalah penipuan. Dan langsung disambut ringan oleh Musk, “Yikes. Def not me”. Ya. Dapat dipastikan bukan saya.

Walaupun pelontar pesan bukan manusia, seperti pada deepfake Musk atau pesan korporat sejenisnya pesan yang disampaikan sering dipercaya. Orang jadi tertarik berinvestasi. Namun berujung rugi.

Produk investasi bodong seperti ini, pernah beredar di Indonesia. Atau orang menggunakan produk skincare, akibat tertarik persuasi pesohor deepfake, namun kulit wajahnya malah rusak. Lalu kepada siapakah pertanggungjawaban etis maupun hukum dapat dimintakan?

Ini juga yang terjadi pada Indomie vs Mie Gaga bukan? Ketika nilai saham perusahaan terus turun, sementara pelontar isu yang menyebabkan krisis adalah produk deepfake, pertanggungjawaban etis maupun hukum ada pada siapa? Penggungah konten? Platform yang digunakan untuk menggugah konten? Tokoh yang dipalsukan oleh deepfake? Atau siapa?

Yang jelas, era komunikasi korporat berbasis deepfake telah datang. Penggunaan produk-produk komunikasi tiruan makin intensif. Juga penyalahgunaannya yang bertujuan menipu, kerap dilaporkan.

Hanya yang mungkin masih ketinggalan belum dilakukan: perenungan, pengkajian serius dan penemuan posisi etis maupun hukum terhadap penyalahgunaan deepfake. Jika terus diabaikan bakal banyak yang menderita, akibat ditipu mesin.

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait