URnews

Strategi Adopsi AI: Persoalan Hari Ini, Bukan Masa Datang

Firman Kurniawan S, Rabu, 23 Agustus 2023 16.54 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Strategi Adopsi AI: Persoalan Hari Ini, Bukan Masa Datang
Image: istimewa

Jakarta - Di hadapan Sidang Tahunan MPR RI ini rutin diselenggarakan untuk menyambut Peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI setiap tahun Presiden Jokowi pada pidatonya yang disampaikan 16 Agustus 2023 lalu, menyampaikan pandangannya soal articial intelligence (AI). Pak Jokowi menyebutkan, “Cepat atau lambat, perkembangan digitalisasi dan artificial intelligence akan semakin penting dan mendominasi kehidupan perekonomian dunia termasuk Indonesia. Adopsi teknologi dalam perekonomian dapat memberikan manfaat yang signifikan apabila dihadapi dengan strategi yang tepat".

Tersirat dari pidato itu, saat terdapat pilihan menunda atau segera mengadopsi gelombang teknologi baru ini, Presiden mengajak untuk segera mengadopsi AI. Tentu dengan catatan, strateginya tepat. Juga ketika terdapat banyak aspek kehidupan yang dapat diubah AI, adopsi untuk memperoleh manfaat ekonomi didahulukan. Sebagaimana adopsi teknologi lain di Indonesia, aspek ekonomi sering jadi pintu masuknya.

Indonesia dengan jumlah penduduk sedikitnya 278 juta, dan berdasar data We Are Social, 2023, sebanyak 77% di antaranya ini setara dengan 212 juta orang telah terhubung dengan internet. Juga dengan keterhubungan oleh perangkat selular yang mencapai 128% ini setara dengan 353,8 juta sambungan aktif menjadikan negara ini terkemuka dalampemanfaatan teknologi mutakhir.

Jumlah pengguna yang besar terhadap teknologi mutakhir, memberi pilihan leluasa bagi pembuat keputusan: apakah bakal menjadikan warga negaranya sebagai pelaku teknologi yang aktif mempengaruhi perkembangan ekosistem ekonomi global berbasis teknologi, atau sekedar menjadikan warga negara pasif, sebagai pasar besar penyerap produk-produk berbasis teknologi?

Ada pilihan peran aktif atau pasif, juga terdapat peluang maupun ancaman berhadapan dengan AI.  Karenanya relevan dengan pilihan-pilihan itu, Nature.com, 2023 dalam editorialnya, “Stop Talking about Tomorrow’s AI Doomsday when AI Poses Risks Today”, menyiratkan, AI bukan persoalan yang hanya mengemuka hari esok. AI adalah basis teknologi yang telah menunjukkan wajah ancamannya ketika hari ini makin dikembangkan. Pak Jokowi tak salah, saat menyebut perlu strategi yang tepat. Tujuannya, pilih bagian AI yang menguntungkan, dengan risiko minimal.

Ulasan Nature.com itu, dimulai dengan perhelatan yang menyerap perhatian dunia. Sekelompok ilmuwan, Guru Besar, penemu, pemimpin industri di bidang teknologi berbasis AI membubuhkan tanda tangannya, pada ‘Statemen on AI Risk’. Petisi ringkas yang seluruhnya terdiri dari 23 kata itu, dimuat pada situs web Center for AI Safety (CAIS), pada 30 Mei 2023.

Dapat disebutkan tokoh-tokoh yang terlibat, Geoffrey Hinton: Guru Besar Pensiun di bidang Ilmu Komputer Universitas Toronto, Yoshua Bengio: Guru Besar Ilmu Komputer Universitas Montreal, Demis Hassabis: CEO Google DeepMind, Sam Altman: CEO OpenAI, Dario Amodei: CEO Anthropic, Dawn Song: Guru Besar Ilmu Komputer, UC Berkeley, Ted Lieu: anggota Parlemen Amerika, Bill Gates: Yayasan Gates, Ya-Qin Zhang: Guru Besar dan Dekan Universitas Tsinghua, Ilya Sutskever: Co-Founder and Kepala Ilmuwan di OpenAI.

Pada dasarnya isi petisi itu menyatakan, para pakar AI, jurnalis, pembuat kebijakan, termasuk masyarakat umum, mencermati makin luasnya spektrum risiko yang dapat ditimbulkan AI. Sayangnya saat berhadapan dengan risiko itu, ada kesulitan menyuarakan kekhawatirannya. Maka lewat petisi, para penandatangan membuka ruang diskusi, yang dapat membangun pengetahuan umum, soal risiko AI yang semakin luas. Juga yang paling parah.

Sementara 2 bulan sebelumnya, Elon Musk beserta para ahli teknologi, CEO, dan ribuan pemerhati perkembangan AI, menyusun surat terbuka yang ditujukan kepada pihak-pihak yang punya otoritas menyusun regulasi. Surat yang meminta jeda sesaat eksperimen besar-besaran AI itu berjudul, “Pause Giant AI Experiments: An Open Letter”, terpublikasi 22 Maret 2023. Pada alinea pertamanya disebutkan, “Sistem AI dengan kecerdasan yang bersaing menyamai manusia, dapat menimbulkan risiko besar bagi masyarakat dan kemanusiaan. Hal tersebut sesuai dengan yang ditunjukkan suatu penelitian ekstensif, maupun laboratorium AI terkemuka.

Sebagaimana dinyatakan dalam Prinsip AI Asilomar yang didukung secara luas, AI tingkat lanjut dapat menyebabkan perubahan besar dalam sejarah kehidupan di bumi. Karenanya, pengembangannya harus direncanakan serta dikelola dengan perhatian, maupun sumber daya yang sepadan. Dalam realitasnya, meskipun beberapa bulan terakhir laboratorium AI terjebak dalam perlombaan yang tidak terkendali untuk mengembangkan dan menyebarkan pikiran digital yang lebih kuat dan tak dapat dipahami oleh siapa pun, bahkan penciptanya, perencanaan dan pengelolaan semacam itu tidak terjadi. Terlebih memprediksi atau mengontrol secara handal”.

Dalam pernyataan lanjutannya disebutkan, “Oleh karena itu, kami menyerukan kepada semua laboratorium AI untuk segera menghentikan pelatihan sistem AI yang lebih canggih dari GPT-4, setidaknya selama 6 bulan. Jeda ini harus bersifat publik dan dapat diverifikasi, serta mencakup semua aktor kunci. Jika jeda tersebut tidak dapat dilakukan dengan cepat, pemerintah harus turun tangan dan melakukan moratorium”.

Terkait ancaman yang dimaksud dalam dua pernyataan itu, Nature.com lebih lanjut mengemukakan, setidaknya terdapat 2 sumber ancaman teknologi berbasis AI. Pertama, teknologi jenis ini mendorong persaingan antara negara dalam pengembangannya. Terjadi perlombaan hingga AI ada di tingkat tak tertandingi. Tentu seluruhnya bertujuan agar pemenang lomba dapat memperoleh manfaat besar AI, berikut pengendaliannya. Perlombaan yang tak jarang disponsori perusahaan teknologi, melibatkan investasi yang fantastis.

Imbalan bagi investor, berupa keleluasaan penggunaan komersial produk yang dikembangkan. Sedangkan negara memperoleh teknologi yang memperkuat sistem pertahanannya. Sayangnya dalam relasi ini, tak jarang negara mengalami pelemahan pengendalian. Ketika harus meregulasi pemanfaatan komersial, investasi yang telah ditanamkan menghendaki keleluasaan pengaturan.

Pentingnya investor dari kalangan sipil turut mengembangkan teknologi berbasis AI, diuraikan Gabriel Honrada, 2023. Honrada dalam, “Why US is Lagging Behind China in AI Race” menyebutkan: Cina cepat menyusul keunggulan pengembangan AI Amerika lantaran ada keengganan Pemerintah Amerika melibatkan perusahaan AI sipil masuk ke sektor pertahanan. Akibatnya, kelancaran dana pengembangan terhambat. Kebijakan yang justru merugikan itu, meletakkan Amerika di posisi terancam dilampaui Cina.

Mencermati pencapaian Cina, Pentagon memacu kecepatan pengembangan AI-nya. Seluruhnya demi mencegah keunggulan Amerika hilang oleh pencapaian Cina. Sedangkan Cina membayangi keunggulan teknologi AI Amerika, berkat pendanaan yang baik. Cina mengalokasikan dana pengembangan teknologi berbasis AI-nya yang mencapai 1-2% dari total anggaran, guna menyokong kekuatan pertahanan nagara. Sedangkan Amerika, dengan alokasi 0,1-0,2% untuk keperluan yang sama. Selebihnya memilih pengembangan di sektor konsumsi.

Perlombaan pengembangan tekknologi militer berbasis AI antar negara, bukan kisah- yang hanya disuguhkan di dunia film. Seluruhnya dapat dikonfirmasi, berikut risiko konfliknya. Ancaman seluruhnya berupa pemusnahan manusia secara massal. Sehingga relevan ketika disebut, ‘AI mengancam kelangsungan eksistensi umat manusia’.

Kedua, perbincangan tentang pengembangan AI didominasi oleh teknolog maupun pelaku yang homogen. Dalam berbagai catatan didapati, hampir setiap perbincangan soal pengembangan AI, yang terlibat sebatas pihak-pihak yang tertarik pada kapitalisasi teknologi maupun industriawan yang mengejar pengembalian investasi. Sementara pemerhati di luar itu ~pihak yang prihatin pada kelestarian lingkungan, keseteraaan gender, inklusifitas kelompok rentan, maupun pengembang AI di bidang sosial, politik maupun budaya, absen.

Terhadap realitas ini, Nature.com lebih lanjut menyebut: surat-surat yang ditulis oleh para pemimpin industri teknologi pada akhirnya menyeleksi pihak-pihak yang dianggap layak untuk dilibatkan dalam pengembangan AI. Dan seluruhnya sangat jarang melibatkan pihak yang memberi perhatian pada konsekuensi sosial AI. Sehingga AI yang berkembang hari ini, menekankan pada dimensi ekonomis, dengan mengutamakan berlipatnya kapital. tak jarang seluruhnya, memusuhi humanitas.

Kembali soal ajakan Pak Jokowi untuk menemukan strategi yang tepat dalam adopsi teknologi berbasis AI di Indonesia, harus dimulai dari masalah khas Indonesia. Jumlah penduduk yang besar dengan rasio angkatan produktif yang besar, tak tepat jika AI yang diadopsi, dikembangkan dari negara yang mengalami kelangkaan angkatan produktif, sebagaimana Jepang, Jerman dan berbagai negara berpenduduk jarang lainnya.

Alih-alih AI dapat memberi jalan keluar, adopsinya justru memicu gejolak sosial. Namun yang pasti, penyusunan strategi adopsinya bukan persoalan masa datang. AI dan tantangannya adalah persoalan hari ini.

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait