Tren dan Masalah Penamaan Berbahasa Inggris di Wilayah Pemukiman

Jakarta - Pernahkah terpikir oleh kita, bagaimana suatu tempat memperoleh nama dan diterima resmi secara global? Kelurahan Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok misalnya, yang namanya kemudian digunakan dalam perbincangan khalayak, alamat resmi yang muncul dalam dokumen perjanjian, kesepakatan antar negara dan diakui dalam pencatatan, jika terjadi peristiwa-peristiwa yang bernilai sejarah?
Atau munculnya fenomena bertebarannya permukiman dengan berbagai nama asing. Ini salah satunya bertujuan menggaet pasar, dengan menyebut tempat berbahasa asing, seperti Lake Side, Big Valley, Mansion, Bella Casa, River City dan masih banyak lagi.
Menurut Koordinator Toponim dan Verifikasi Informasi Geospasial Partisipatif, Badan Informasi Geospasial (BIG) Harry Ferdiansyah, pemakaian istilah asing untuk nama tempat dalam keseharian kini semakin mengkhawatirkan.
Apabila merujuk kepada peraturan perundangan yang sudah ada, sudah sangat jelas bagaimana seharusnya nama geografis ditulis.
“Telah banyak peraturan perundangan yang tegas mengenai pengaturan nama rupabumi ini, mulai dari setingkat undang-undang, sampai dengan peraturan pemerintah daerah mengenai tata cara penamaan. Bahkan sejak tahun 2018 pemerintah sudah mempersiapkan rujukan yang lebih komprehensif berupa Peraturan Pemerintah mengenai Penyelenggaraan Nama Rupabumi yang diharapkan akan terbit dalam waktu dekat” tegas Harry.
Bagaimana tegasnya, kaidah untuk penamaan suatu tempat, siapa yang berwenang dan bagaimana pengaturannya ?
Penamaan tempat, disebut dengan toponim atau toponym, yang arti praktisnya adalah nama tempat di muka bumi.
Asal katanya topos, berarti tempat atau permukaaan dan nym atau onyma yang artinya nama. Toponim merupakan praktik budaya manusia yang lazim.
Ini berkembang berdasar kebiasaan manusia mencatat kesan yang begitu mendalam dari suatu tempat, yang begitu mendalam. Kemudian dalam upaya pelestariannya dijadikan sebagai nama tempat.
Karenanya tak jarang penamaan suatu tempat, punya nilai-nilai yang penting. Sekedar tujuan komersial, tak termasuk di dalamnya.
Terkait toponim ini, Presiden Joko Widodo menetapkan lima arahan sebagai pelaksanaan visi Nawacita dan meraih visi Indonesia 2045. Salah satunya adalah pembangunan infrastruktur untuk menghubungkan kawasan produksi dengan distribusi, mempermudah akses ke kawasan wisata, mendongkrak lapangan kerja baru, dan mempercepat peningkatan nilai tambah perekonomian rakyat.
Rencana pembangunan infrastruktur perumahan dan permukiman dalam RPJMN 2020-2024 sejalan dengan semangat global dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Aspek perumahan dalam SDGs terutama dibahas dalam tujuan ke sebelas, yaitu “Menjadikan Kota dan Permukiman Inklusif, Aman, Tangguh dan Berkelanjutan”.
Namun ironisnya, pengembang permukiman jauh dari kaidah penamaan tempat, yang seharusnya dijaga. Nama-nama komplek perumahan tak lagi menggunakan kaidah-kaidah lokal apalagi melibatkan tokoh-tokoh lokal untuk penamaan tempat tersebut.
Toponim suatu daerah, sesungguhnya merupakan identitas yang membedakannya dengan daerah lain.
Ini disebabkan toponim merupakan hasil budaya masyarakat di suatu daerah yang bersumber dari hubungan timbal baliknya dengan lingkungan di sekitarnya. Unsur budaya yang paling mengemuka dalam toponim adalah bahasa yang digunakan.
Dalam hal ini, tuntutannya untuk penamaan tempat-tempat di Indonesia, lazimnya menggunakan Bahasa Indonesia. Terlebih, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang kaya.
Pertimbangan lain, penggunaan lain Bahasa Indonesia adalah, Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, terdiri dari banyak suku bangsa, memiliki bahasa yang berbeda-beda. Hal harusnya tercermin sebagai keanekaragaman toponimi di daerah-daerah di Indonesia.
**) Penulis merupakan Pranata Humas Badan Informasi Geospasial.
**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia