URnews

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik di Zaman AI

Firman Kurniawan S, Kamis, 27 Juli 2023 10.05 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik di Zaman AI
Image: Ilustrasi Freepik

Jakarta - Filsuf dan Satrawan Inggris abad ke-17, John Milton, 1965, dalam bukunya ‘Aeropagatic’, pernah berucap: “Biarkan semua orang diberi kebebasan untuk mengkespresikan apa yang ingin dikatakannya. Hal-hal yang benar dan meyakinkan akan terus bertahan, sementara yang salah dan tak meyakinkan, akan dengan sendirinya terbenam”. Potongan pernyataan Milton itu termuat dalam disertasi Devi Tri Indriasari, 2023, yang berjudul ‘Kebebasan Ekspresi Dalam Tekanan Regulasi: Studi Terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)’.

Disertasi ini menyoroti kebebasan yang idealnya dimiliki seluas-luasnya oleh setiap warga negara, namun sering direbut oleh banyak hal. Ini mengakibatkan ekspresi warga negara terbatas, bahkan tak tercapai. Pikiran utuh Indirasari itu dipertahankan dalam sidang Promosi Doktor Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi, 21 Juli 2023 lalu, di Kampus Universitas Indonesia Depok. Konteks pikiran maupun ucapan kedua akademisi di atas nampaknya berangkat dari catatan, dimusuhinya ekspresi kebebasan.

Ekspresi kebebasan selalu terancam oleh pengekangan, pembatasan maupun pengaturan. Seluruhnya mengurangi, bahkan meniadakan hak melekat pemiliknya. Ekspresi kebebasan merupakan hak yang melekat pada manusia. Musuh kebebasan tampil, manakala sebagian kalangan memandang: ekspresi kebebasan yang dimiliki warga negara dapat menghalangi hasrat berkuasa yang mutlak. Karenanya, harus dikurangi bahkan ditiadakan.

Seluruhnya demi pemenuhan hasrat berkuasa itu sendiri. Satu bentuk relasi yang paradoks. Memang, kebebasan tanpa kekang, pembatasan maupun pengaturan, sering mempersulit keadaan. Setidaknya memperlambat pencapaian tujuan.

Lebih lanjut Indriasari dalam disertasinya mengemukakan 4 alasan ekspresi kebebasan harus dipertahankan, bahkan dijamin oleh negara. Pertama, kebebasan merupakan hak mendasar bagi manusia. Ini dapat dimaknai, setiap manusia lahir terbekali kebebasan untuk jadi manusia seutuhnya. Manusia bebas memilih makanan untuk pertumbuhan dan kekokohan jasmaninya, bebas memperoleh informasi untuk perkembangan ruhaninya, hingga bebas untuk mengekspresikan rasa cinta maupun pengetahuannnya. Kedua, kebebasan berpendapat merupakan hal pokok dalam proses pencarian kebenaran. Adanya penghalang dalam pencarian kebenaran, mengakibatkan gagalnya proses penemuan itu. Kebenaran tak tampil secara utuh.

Ketiga, kebebasan diperlukan manusia dalam kedudukannya sebagai warga negara. Ini memberi bekal untuk merumuskan keputusan. Berbagai hal harus dipertimbangkan dengan bebas, tanpa intimidasi maupun paksaan. Ujungnya, agar keputusan yang dicapai sesuai kehendak dirinya. Sebab keputusan yang ditentukan sesuai kehendak diri saja, yang layak dipertangungjawabkan. Dan keempat, kebebasan diperlukan agar warga negara dapat mengontrol pemerintah yang sedang berkuasa. Ini penting.

Kemutlakan kekuasaan, termasuk kekuasaan pemerintah, bertendensi pada terjadinya penyimpangan. Gagasan ini sesuai adagium Lord Acton (1834-1902): ‘power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely’. Karenanya, sebelum kekuasaan mutlak yang mendorong korupsi itu terwujud, warga negara harus punya kebebasan untuk mengoreksi pemerintah yang sedang berkuasa. Kebebasan mengoreksi, dapat mencegah memburuknya negara.

Empat hal di atas pada negara demokratis, berarti mengizinkan warga negara menyampaikan isi pikirannya. Juga izin untuk mendengar pikiran warga negara yang lain. Negara demokratis menjamin proses dialog yang bebas, memfasilitasi open market of ideas, pasar gagasan yang bebas.  Elon Musk, 2022, saat mengakuisisi Twitter pernah menyatakan persyaratan semacam itu: adanya alun-alun kota digital, di mana hal-hal penting bagi masa depan umat manusia diperdebatkan.

Hari ini, saat berbagai medium produksi, distribusi dan konsumsi informasi tersedia, permusuhan terhadap kebebasan itu tak surut. Di Indonesia, yang ditunjukkan dalam disertasi Indriasari itu, terwujud lewat pemberlakuan UU ITE. Begini cara undang-undang itu melakukan pengekangan.

Merebaknya penggunaan teknologi berbasis internet, menciptakan public sphere. Sebuah bentuk ruang publik baru. Disebut baru, lantaran fungsinya sama namun pembentuknya berbeda. Ruang publik itu ~sebagaimana penyataan Habermas, 1962, dalam bukunya yang diterjemahkan di tahun 1989, sebagai ‘The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society’ ~ adalah perangkat kebebasan berekspresi umat manusia. Ini termasuk juga di Indonesia. Internet memberi ruang bagi warga negara menyampaikan pandangannya secara bebas. Pada ruang publik berbasis internet, warga negara melangsungkan aktivitas deliberatif. Menyampaikan dan mendengarkan pikiran warga negara lain, termasuk pikiran tentang proses penyelenggaraan pemerintahan. Dari ruang publik ini dihasilkan kesepakatan, termasuk keputusan yang sifatnya legitimatif. Dapat diterima oleh banyak pihak.

Dalam proses mempertahankan keterbukaannya, ruang publik berbasis internet ini memerlukan pengaturan. Ruang publik yang digunakan untuk menyebarkan informasi palsu, ujaran kebencian, pernyataan tanpa etika, justru berujung pada hilangnya fungsi keterbukaan yang diperlukan. Dalam praktik pengaturannya, terlibat banyak pihak. Ini termasuk pemerintah, lembaga legislatif, partai politik, lembaga bisnis, media, maupun masyarakat sipil. Hasilnya, oleh adanya kepentingan yang berbeda, lahir kehendak mengatur yang berbeda pula. Pihak dengan porsi kuasa terbesar, terakomodasi kepentingannya dalam porsi terbesar pula.

Undang-undang yang semula diberlakukan untuk melindungi kepentingan warga negara, dalam realitasnya justru berperan terbalik. Gejala yang nyata, UU yang semula diterapkan untuk memberi kepastian hukum agar transaksi ekonomi yang dilangsungkan di ruang-ruang eletronik, berkekuatan sama dengan transaksi di ruang nyata justru lebih berfungsi untuk mengatur perilaku nonekonomi. Masyarakat dengan mudah mengingat, saat Prita Mulyasari jadi korban UU ini. Perempuan ini menghadapi tuntutan, justru saat menyuarakan perlakuan buruk yang diterimanya dari sebuah RS. Demikian juga Baiq Nuril yang justru dipenjara, setelah menceritakan perlakuan tak senonoh terhadapnya, menggunakan jaringan elektronik. Masih banyak cerita lainnya. Yang jelas, terjadi kriminalisasi masyarakat sipil oleh UU ini, saat mengekspresikan kebebasannya di ruang publik.

Realitas tak ideal di atas, juga terkonformasi oleh Kompas.id, 28 Maret 2023. Dengan mengutip Amnesty International Indonesia, media ini menyebut: dalam kurun waktu tiga tahun dari tahun 2019 hingga 2022 telah terjadi 316 kasus kriminalisasi masyarakat sipil. Seluruhnya menelan 332 korban. Korban itu bukan aktivis maupun pejabat publik, justru warga sipil. Mereka dituntut dengan UU ITE saat menyuarakan pendapatnya. Indriasari juga mencatat, dalam urusan tuntut-menuntut menggunakan UU ITE, justru yang mengemuka saling menuntut antar masyarakat sipil. Pisau bermata dua UU ITE lebih sering melukai pihak yang hendak dilindunginya, dibanding tercapainya perlindungan terhadap kepentingan warga negara. Undang-undang ini paradoks.

Memang gagasan ruang publik yang dikemukakan Habermas sering menuai kritik sebagai hal yang utopis. Namun seluruhnya tak berarti, ruang publik boleh ditiadakan. Atas alasan untuk melindungi fungsi ruang publik, UU ITE perlu direvisi. Perlunya revisi UU ITE juga relevan dengan keadaan zaman yang kian berubah: artificial intelligence (AI) yang kian berperan.

European Commission, 2020 dalam uraiannya yang berjudul, “Artificial Intelligence and Freedom of Expression: Implications for Democracy”, mengemukakan: keragaman merupakan inti dari demokrasi. Adanya keragaman mendorong cara berpartisipasi warga negara yang beragam pula. Seluruhnya terdorong oleh cara berpikir maupun bertindaknya. Perbedaan berguna jadi perangkat saling koreksi antar warga negara. Mendorong dialog, seraya mengokohkan struktur masyarakat. Keragaman, penting bagi demokrasi.

Namun, adanya perkembangan teknologi mengubah banyak hal. Termasuk cara manusia menerima informasi, utamanya dari media digital. Cara kerja media jenis ini, dengan memanfaatkan AI, mampu merekomendasikan produk informasi yang telah dipersonalisasi. Sifatnya personal bagi masing-masing konsumen informasi, namun tak jauh berbeda bagi konsumen yang algoritmanya sejenis. Personalisasi ini justru menjebak, memasukkan konsumen informasi dalam echo chamber maupun filter bubble. Jebakan yang pada akhirnya menciptakan keseragaman bagi konsumen informasi dengan pola algoritma sejenis. Seluruhnya berujung pada seragamnya cara berpikir dan bertindak warga negara. Sebuah ancaman bagi demokrasi.

Implikasinya, tindakan warga negara yang seolah-olah bertindak memilih informasi berdasar kebebasannya, tak lebih sekedar pelaksana algoritma. Kebebasannya telah dilenyapkan AI. Dalam pandangan produsen informasi, seluruhnya sekedar untuk memastikan pilihan konsumsi informasi. Ini memperbesar ketepatan, yang itu artinya memperbesar keuntungan. Namun bagi warga negara, penyeragaman cara berpikir dan bertindak, menghilangkan kebebasan. Terhadap penggunaan perangkat berbasis AI, yang beroperasi menghilangkan kebebasan secara samar itu, tidakkah UU ITE harus mencegahnya?

Taruhannya, bukan hanya ruang publik yang sirna. Seluruh prinsip keragaman tergantikan oleh sistem otoriter yang dijalankan mesin, dan diakhiri oleh tergusurnya demokrasi. Tidakkah undang-undang memandang ini sebagai hal yang genting dan perlu diatur?

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait