URtainment

Perang Fans KPop di Medsos Berujung Ancaman Kehidupan Nyata, Ini Kata Pakar

Nivita Saldyni, Jumat, 20 Mei 2022 17.34 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Perang Fans KPop di Medsos Berujung Ancaman Kehidupan Nyata, Ini Kata Pakar
Image: ilustrasi fans dan idola di panggung (Foto: Pixabay/dotigabrielf).

Jakarta – Jagad media sosial kembali dihebohkan dengan konflik antarfans KPop di Twitter. Kali ini masalah muncul dari seorang NCTZen, fans dari boybandgrup asal Korea Selatan NCT.

Perseteruan bermula saat seorang pengguna Twitter bernama Safa menyulut kemarahan fans NCT karena menuliskan kata-kata yang dinilai menghina beberapa member NCT Dream, yaitu Jaemin dan Renjun. Fans yang tak terima idol-nya dihina pun meminta klarifikasi kepada Safa lewat Space Twitter dan memintanya membuat permohonan maaf.

Sayangnya penyelesaian masalah itu berjalan alot karena Safa sempat menolak meminta maaf dan syarat yang diajukan para fans tersebut. Kata-kata kasar dan ancaman pun akhirnya tak terelakkan. Salah satu penggemar yang ikut bicara dalam forum tersebut bahkan sempat mengancam untuk membawa ke jalur hukum hingga akan menjatuhkan karier orang tua Safa.

Konflik ini kemudian menyebar dan menjadi konsumsi publik. Netizen pengguna Twitter yang bukan fans KPop pun ikut-ikutan berkomentar. Bahkan tak sedikit yang menilai bahwa sikap fans NCT yang menyerang Safa berlebihan, meski Safa sendiri memang salah.

Fenomena Fans Bela Idola dari Sudut Pandang Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital Firman Kurniawan melihat perseteruan antara fans KPop ini sebagai fenomena ‘parasosial’. Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru dan konsepnya sudah lama dikenalkan oleh Horton & Wohl pada tahun 1982.

“Parasosial ini ada dua dimensi, yaitu hubungan parasosial dan interaksi parasosial. Hubungan parasosial adalah suatu perasaan terhubung antara khalayak media massa, baik itu koran, televisi, radio dan juga hari ini media sosial, dengan apa yang ditampilkan oleh media itu. Entah itu artis, tokoh sinetron, atau boyband dan sebagainya,” kata Firman saat dihubungi Urbanasia, Jumat (20/5/2022). 

Awalnya seseorang akan dibuat kagum terhadap sosok yang dia lihat di media massa. Kemudian, perasaan kagum itu berkembang jadi interaksi parasosial.

“Misalnya ketika penggemar berkomentar di media sosial para pesohor ,‘kamu kok rambutnya dibelah pinggir biasanya dibelah tengah’. Dan sebetulnya para pesohor ini mungkin gak tahu kalau ada komentar-komentar seperti itu. Kemudian dalam kenyataan, secara kebetulan pesohor tadi mengubah gaya rambutnya dari belah pinggir ke belah tengah. Nah si orang yang berkomentar tadi merasa ditanggapi sang pesohor dan mengalami sensasi interaksi. Dari sana lah rasa nge-fans itu makin menjadi,” jelas Firman.

Dalam kadar tertentu, tak ada yang salah dengan hal ini. Namun akan jadi masalah ketika terjadi pada sekelompok orang yang biasanya disebut fandom alias fans kingdom.

“Ketika penggemar yang jumlahnya banyak ini bertemu pihak lain yang menghina, mengkritik atau berperilaku tak sesuai standar (terhadap idolanya), muncul perasaan kolektif, terhina. Karena idolanya dilecehkan,” ujar Firman.

Firman menambahkan munculnya perasaan terhina, akibat hubungan parasosial dan interaksi parasosial ini, sesungguhnya bersumber dari ilusi yang diciptakan mereka sendiri. Mereka membayangkan dirinya terhubung dengan idolanya dan merasa mengalami interaksi, meski sebetulnya idol tersebut tak mengenal mereka.

“Jadi kita sendiri yang berilusi ada keterhubungan antara kita dan pesohor. Kemudian ilusi itu disambung dengan ilusi lain, yaitu ilusi merasa terhina. Padahal si pesohornya sendiri merasa tidak tahu dan tidak merasa terhina. Tapi mereka yang sudah terbangun parasocial relationship dan parasocial interaction-nya itu merasa perlu meluruskan tindakan orang lain yang tidak sesuai dengan standar. Nah ini kan sesuatu yang berasal dari ilusi kemudian timbul pertengkaran, kemudian diangkat ke Space Twitter dan sebagainya. Orang lain pun akan menilai,‘ini apa-apaan sih? Kan gak masuk akal. Ini orang-orang sebenarnya berlebihan nggak sih?,” jelasnya panjang lebar.

Pengajar di Universitas Indonesia (UI) ini menegaskan ilusi ini tak bisa diabaikan, apalagi disebut tak masuk akal. Hal ini terjadi karena para penggemar ini begitu menghayati hubungan dan interaksi yang sudah terjalin antara dirinya dan sang idola.

“Hal ini penting. Ilusi ini dialami oleh sekelompok orang, bukan 1-2 orang saja. Maka ketika idolanya dihina atau diperlakukan tak sesuai harapan maupun standar, muncul rasa kolektif dan mereka dengan ‘galak’ dan solid membela (idolanya),” ucapnya.

“Jadi bukan soal berlebihan atau nggak, tapi itulah yang terjadi,” tegas Firman.

Untuk itu menurutnya masyarakat yang tak terlibat dalam perseteruan sebaiknya tak menghina atau menghakimi kelompok-kelompok yang tengah berseteru ini. Bahkan meski kita merasa situasi yang tengah terjadi ini berlebihan dan tak masuk akal.

“Masyarakat yang tidak sepenuhnya nyaman dengan perseteruan itu tidak bisa juga menghakimi, memojokkan orang yang berseteru karena tadi, mereka ini tidak sepenuhnya paham bahwa mereka asik dalam ilusinya. Jadi justru ketika mereka dipojokkan, diolok-olok, dianggap berlebihan, mungkin justru akan lebih fanatik terhadap pesohor itu. Tambah menjadi jadi dan gak mau dengerin orang. Mungkin perlu ditunjukkan, diajak untuk menginjakkan kembali kakinya di muka bumi supaya rasional,” pesannya.

Awas! Terlena dalam Ilusi Bisa Berdampak Buruk

Meski tak mudah diterima akal, menurut Firman ilusi dari hubungan dan interaksi parasosial ini bisa saja punya sisi positif. Contohnya, saat Indonesia berhasil mengusir penjajah dari Tanah Air berkat ilusi sebuah negara yang mencapai kemerdekaan.

“Waktu Indonesia belum merdeka ketika harus menghadapi penjajah itu terasa gak masuk akal. Penjajah punya senjata, negara yang mendukung. Sementara kita gak bersatu, gak ada senjata, gak ada strateginya, tapi ada pemimpin yang menyuarakan itu (kemerdekaan), mengilusikan sebuah bentuk negara yang merdeka, akhirnya bisa tercapai juga. Jadi tidak setiap ilusi yang irasional itu buruk,” papar Firman.

Nah sebaliknya, masalah akan muncul ketika kita hanya hidup di dalam ilusi dan berkhayal seakan-akan sudah mencapai kenyataan, tanpa melakukan apapun. Dampaknya orang tersebut bukan hanya mudah tersinggung saat ada pihak yang meremehkan idolanya, tapi dia juga akan siap mengerahkan semua yang dimiliki untuk membela idolanya. Firman mencontohkan seperti bentrok yang sering terjadi antara pendukung sepak bola.

“Kita sering mendengarkan ini di kasus yang lain, bukan KPop saja, tapi klub sepak bola. ‘Klub sepak bola yang saya sayangi kalah kemudian dihina oleh penggemar klub sepakbola lain, muncul perasaan yang menghina itu bisa dibunuh’. Nah sampai gitu kan kita sering dengar, ada pecinta klub sepakbola lokal yang sampai dipukuli, diintimidasi, bahkan sampai dibunuh beberapa saat lalu,” ungkap Firman.

“Nah itu berangkatnya dari ilusi kepemilikan tadi. ‘Idola saya yang saya sayangi ini kok kamu kalahkan atau bahkan kamu hina? Ini harus kita bela’,” sambungnya.

Agar hal ini tak menimbulkan masalah baru, maka cara yang tepat adalah mengembalikan keadaan tersebut ke keadaan yang rasional. Caranya dengan menunjukkan fakta-fakta yang membuat orang ini tersadar atas realitas yang ada di kehidupan nyata.

“Ini kan berangkat dari keadaan yang irasional, ilusi tadi. Ya harus dikembalikan bahwa yang terjadi pada diri Anda itu ilusi. Ketika Anda terus terbuai oleh ilusi itu dosisnya semakin naik dan Anda hidup di dalam angan-angan. Coba katakan misalnya ditunjukkan realitas, ‘Sebenarnya dia itu gak kenal sama kamu. Coba deh ketemu langsung, datang ke Korea, sapa dia. Mungkin gak tahu, gak kenal’. Nah itu kenyataan yang harus diterima,” ujar Firman.

Jaga Keseimbangan Diri di Dunia Nyata dan di Media Sosial

Belajar dari kasus ini, menurut Firman penting untuk kita menjaga keseimbangan antara kehidupan di dunia nyata dan media sosial. Hal ini membantu kita tetap realistis.

“Antara kehidupan media sosial dan kehidupan nyata itu kan ada jarak. Jarak realitas. Bahkan ketika kita menampilkan diri di media sosial itu juga seringkali kita memoles diri, bukan menjadi diri yang seutuhnya. Nah demikian juga dengan orang lain,” kata Firman.

Firman menjelaskan inilah mengapa media sosial tidak nyata. Bahkan dalam ‘dosis’ tertentu, kata Firman, seseorang akan mengkreasikan suatu kesempurnaan di media sosial untuk membuat orang lain kagum. Padahal di dunia nyata hal itu tak ada.

“Sehingga perlu adanya keseimbangan, antara menghayati dunia media sosial dan menghayati dunia nyata. Agar kita tetap rasional,” pungkasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait