URedu

Permendikbud PPKS : Mampukah Menjawab Kasus Kekerasan Seksual di Kampus?

Ika Virginaputri, Rabu, 1 Desember 2021 19.13 | Waktu baca 8 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Permendikbud PPKS : Mampukah Menjawab Kasus Kekerasan Seksual di Kampus?
Image: ilustrasi kekerasan seksual di kampus (Foto: AntaraFoto//AndreasFitriAtmoko)

Pendidikan diyakini merupakan modal dasar untuk meraih kesuksesan. Karena itu, nggak heran kalau ada orang tua yang rela menjual harta bendanya demi pendidikan anak. Generasi muda yang berpendidikan baik, juga akan menentukan nasib dan masa depan bangsa. Untuk itu, pemerintah pun tak segan-segan mengalokasikan anggaran ratusan triliun demi meningkatkan kualitas akademik kita.

Sayangnya, dengan nominal sebesar itu, Indonesia masih berkutat dengan masalah yang sama. Sebut aja rendahnya gaji guru, status guru honorer, kurikulum yang nggak sesuai dengan dunia kerja (dan juga tertinggal jauh dari negara lain), sampai gedung sekolah yang nggak layak pakai.

Terbaru, yang sekarang lagi jadi sorotan adalah tingginya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Kampus yang seharusnya jadi ruang aman buat mahasiswa dan mahasiswi belajar, malah jadi tempat para 'predator berburu mangsa'. Bukannya menjadi inspirasi dunia intelektual, tapi justru dimanfaatkan untuk penggunaan relasi kuasa.

Fakta tersebut membuat Nadiem Makarim, Si Mas Menteri millennial, menerbitkan Peraturan Menteri nomor 30 tahun 2021, tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbud PPKS) di kampus. Sebelum merumuskan kebijakan ini, pihak Kemendikbud telah melakukan kajian di 79 universitas di 29 kota di Indonesia, loh. Hasilnya bisa dibilang mengkhawatirkan banget, guys. Dari 174 testimoni, 77% persen dosen mengaku mereka mengetahui adanya kekerasan seksual di lingkungan kampus. Parahnya lagi, 63%-nya nggak dilaporkan. 

"Saat ini tidak ada cara lain untuk menyebutnya, bisa dibilang kita dalam situasi gawat darurat," ujar Nadiem dalam diskusi panel yang diadakan Kemendikbud beberapa waktu lalu.

"Kita bukan hanya ada satu pandemi COVID, tapi juga ada pandemi kekerasan seksual dilihat dari data apapun. Kita melakukan survey kepada dosen kita. Dosen, bukan mahasiswa. Kalo mahasiswa mungkin angka ini akan lebih besar lagi. Tapi kita menanyakan dosen-dosen kita, apakah kekerasan seksual pernah terjadi di kampus Anda? Dan 77% merespon 'Ya, kekerasan seksual pernah terjadi di kampus kita'. Dan 63% dari kasus-kasus tersebut tidak dilaporkan kasusnya," kata mantan bos Gojek ini.

Kasus yang Menggunung

Nadiem menyebut kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus ibarat fenomena gunung es, di mana yang tampak di permukaan tak sedalam dan sebesar kenyataannya. Karenanya, pemerintah sudah sepantasnya segera mengambil tindakan untuk melindungi para mahasiswa, dosen, dan tenaga pendidik dari ancaman kekerasan seksual.

Mengutip pernyataan Nadiem, memang nggak ada lagi cara lain menyebut kondisi ini selain sebagai situasi gawat darurat. Bagai efek domino, pengesahan peraturan yang ditandatangani Nadiem tanggal 31 Agustus 2021 ini langsung memicu terungkapnya kasus-kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Misalnya, aduan yang masuk ke Komnas Perempuan selama tahun 2015-2020, tercatat ada 14 kasus. Data dari Aliansi Kekerasan Seksual dalam Kampus Se-UI (Universitas Indonesia) bahkan lebih banyak lagi dalam rentang waktu yang lebih singkat. Sejak Maret 2019 hingga Mei 2020, ada 39 laporan kekerasan seksual terjadi di lingkungan kampus UI. Ditambah 30 aduan sejak setahun terakhir mulai dari Juni 2020 hingga Mei 2021. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali yang membuka posko kekerasan seksual di Universitas Udayana sejak akhir 2020 mencatat ada 42 kasus.

Angka yang sama juga diutarakan oleh salah satu pendamping penyintas kekerasan seksual di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Charlenne Kayla Roesli. Kepada Urbanasia, Charlenne juga membeberkan bahwa dari 42 aduan yang diterimanya 62% pelakunya adalah mahasiswa dan 28% adalah dosen. Bentuk kekerasan yang dialami korban sangat beragam, mulai dari bagian tubuh yang disentuh dengan paksaan, intimidasi seksual secara daring lewat chat, telepon, atau email, dipaksa menonton materi pornografi, hingga percobaan pemerkosaan. Korbannya pun tak hanya perempuan, 10 persen dari formulir aduan yang disebar Charlenne ternyata diisi oleh laki-laki. Menurut Charlenne, dari 42 kasus itu tak ada satu pun yang dilaporkan ke pihak kampus.

1638360697-Charlenne.jpgSumber: Charlenne Kayla, mahasiswi semester 7 Universitas Multimedia Nusantara (Foto: Dok pribadi)

Sampai akhirnya cerita para korban ditulis Charlenne dan teman-teman kuliahnya menjadi sebuah artikel yang publikasinya sempat viral di Twitter pada Juni 2021. Dari situ, Charlenne dan timnya diundang oleh rektorat. Sebuah kesempatan yang kemudian mereka manfaatkan untuk advokasi kasus kekerasan seksual yang terjadi di UMN. Walau nggak diteruskan ke jalur hukum, advokasi Charlenne berhasil membuat 2 dosen pelaku dipecat dan 1 mahasiswa diminta mengundurkan diri. Charlenne juga sukses menyadarkan pihak kampus akan pentingnya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang berpihak ke korban.

"Rektorat menjanjikan 2 hal, edukasi dan penanganan. Saat ini, aku banyak mendorong ke edukasi sebagai pencegahan," kata Charlenne kepada Urbanasia.

"Tuntutan kami kan ada 11. Di antaranya bikin buku saku tentang kekerasan seksual untuk pencegahan dan bikin SOP (standard operating procedures/prosedur operasi standar) penanganan kasus kekerasan seksual. Itu udah ada, tapi ku masih melihat ada bolong-bolong sedikit. Perspektif penyintasnya ada, tapi nggak penuh lah istilahnya,” imbuh mahasiswi jurusan jurnalistik semester 7 ini.

Charlenne mengaku bahwa sejak peristiwa tersebut, upaya pencegahan terhadap ancaman kekerasan seksual di kampusnya mulai membaik. Para mahasiswa juga jadi lebih berani mengangkat isu kekerasan seksual.

Menghilangkan Area Abu-abu 

Nah, kamu bisa bayangkan kan, gimana memprihatinkannya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus? Itu baru berdasarkan kasus yang dilaporkan, loh. Yang nggak dilaporkan mungkin lebih menyeramkan lagi. Korban seringkali enggan melaporkan kekerasan seksual yang mereka alami karena bermacam-macam alasan. Ada yang takut diintimidasi pelaku, ada yang takut nggak dipercaya, ada juga yang merasa pengakuan saja tidak cukup dijadikan bukti. Jika dibiarkan, kampus bisa jadi tempat traumatis yang sangat nggak nyaman buat seluruh sivitas akademika berkegiatan.

Salah satu akar masalah yang menyebabkan pembiaran kasus adalah rendahnya pemahaman tentang kekerasan seksual. Karenanya, selain penyelesaian kasus yang berpihak ke korban, Charlenne menambahkan fokus advokasinya pada sisi edukasi juga. Pentingnya edukasi tentang kekerasan seksual ini diakomodir Permendikbud PPKS.

"Permen PPKS ini juga mengatur langkah-langkah pencegahan. Dari sisi struktural, setiap kampus akan ada komponen pembelajaran," ungkap Nadiem, merujuk pada kewajiban kampus menyediakan informasi tentang kekerasan seksual untuk para mahasiswa, tenaga pengajar, dan staf.

“Bukan hanya sanksi yang akan mencegah hal-hal ini terjadi, tapi juga berbagai macam pembelajaran, pendidikan dan juga aturan-aturan main interaksi antara misalnya relasi kuasa, seperti (pembatasan) dosen dan mahasiswa bertemu di luar jam operasional. Ini adalah beberapa aturan untuk meminimalisir terjadinya kasus kekerasan seksual," tambah Nadiem.

Selain pihak pimpinan kampus, poin pencegahan ini juga menjadi tanggung jawab satuan tugas (satgas). Nadiem membanggakan pembentukan satgas ini sebagai salah satu inovasi Permendikbud yang dirumuskan kementeriannya.

Ya, pasal 23 hingga pasal 37 peraturan baru ini, mewajibkan semua kampus di Indonesia membentuk satgas yang kewenangannya meliputi pencegahan, penanganan, serta pengawasan dan evaluasi kasus kekerasan seksual. Supaya representatif dan mengusung semangat gotong royong, satgas harus merupakan gabungan dari elemen dosen, mahasiswa maupun tenaga kependidikan yang dipilih oleh panitia seleksi dari kampus. Namun nggak sembarang orang bisa jadi anggota satgas, loh guys. Syaratnya antara lain berpengalaman mendampingi korban dan pernah melakukan kajian tentang kekerasan seksual, gender dan/atau disabilitas.

1638424049-nadiem-(2).jpgSumber: Mendikbudristek Nadiem Makarim (Foto: instagram @nadiemmakarim)

"Apa aja tugas satgas ini? Satgas ini akan memimpin edukasi tentang pencegahan. Satgas juga akan menangani semua laporan-laporan dan mengawalnya, dan melakukan pemantauan dan evaluasi dalam kampus," tutur Nadiem.

"Dia punya kewenangan untuk berkolaborasi dengan pihak internal dan eksternal untuk penanganan yang baik. Dan kita harus menjaga independensi satgas ini, dan kerahasiaan identitas pihak-pihak terkait dalam pelaporan. Ini sangat krusial dalam melindungi hak pelapor," kata pria 37 tahun ini.

Poin edukasi dalam peraturan ini nggak terbatas hanya soal pencegahan dan pembentukan satgas. Nadiem juga terdengar tegas saat dia memaparkan betapa spesifiknya Permendikbud PPKS ini mendefinisikan kekerasan seksual demi menghindari 'area abu-abu'.

‘Area abu-abu’ ini, diungkapkan Nadiem, seringkali jadi kendala penanganan kasus kekerasan seksual. Peraturan yang isinya kurang jelas, nggak jarang bikin korban kekerasan seksual lagi-lagi jadi korban tindakan lain. Misalnya, mendapatkan 'penghakiman' dari lingkungan sekitar, atau yang lebih parah, malah dilaporkan balik oleh si pelaku.

Pasal 5 ayat 2 regulasi ini punya 21 poin turunan yang dengan detail menyebutkan bentuk-bentuk kekerasan seksual, baik berupa fisik, non fisik, verbal, maupun yang berbasis daring lewat perantara teknologi digital. Di antaranya adalah memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja tanpa persetujuan korban, menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban, menatap korban dengan nuansa seksual dan melakukan percobaan perkosaan.

Nadiem mengklaim kategorisasi ini dirumuskan berdasarkan standar internasional yang merujuk pada Komnas Perempuan dan dua lembaga PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), UNICEF, dan WHO.

"Kita ingin mengedukasi tentang isu kekerasan seksual, menjelaskan apa itu isu kekerasan seksual, apa itu victim blaming," papar Nadiem.

"Jadi kita ingin yang ‘abu-abu’, kita jadikan ‘hitam-putih’. Jelas apa yang kita maksud. Ada banyak sekali cerita-cerita setelah menjadi korban kekerasan seksual, setelah itu dia menjadi korban penghakiman keluarga dan lingkungan sekitarnya, lalu sampai digugat lagi akhirnya. Pertama kali, inovasi terbesar dalam permen ini secara eksplisit menjelaskan apa permutasi daripada kekerasan seksual yang fisik, yang non fisik, yang verbal, bahkan yang melalui teknologi informasi dan komunikasi," lanjut Nadiem.

Perubahan Paradigma Kampus

Akibat kurangnya payung hukum yang bersifat melindungi, selama ini korban kekerasan seksual menanggung beban psikis yang berat. Proses pemulihannya pun tergolong lama. Nggak sedikit loh, korban yang menderita gangguan mental akibat trauma berkepanjangan. Itulah alasan pasal 10 sampai pasal 19 Permendikbud ini mewajibkan seluruh sivitas akademika memberikan perlindungan, pendampingan dan pemulihan korban.

Kampus yang menerima aduan kasus kekerasan seksual harus menyediakan konseling, advokasi, layanan kesehatan, bantuan hukum, bimbingan sosial dan rohani, serta pendamping bagi korban penyandang disabilitas. Yang pasti, kasus kekerasan seksual nggak boleh menghilangkan hak pendidikan (jika si korban statusnya mahasiswa) atau hak kepegawaian (jika si korban adalah dosen atau tenaga kependidikan).

"Fokus permen ini adalah korban, korban dan korban. Mohon dimengerti bagi para masyarakat, kita melihat semua ini dari perspektif korban," ujar Nadiem tegas.

Perspektif korban juga disebut Nadiem menjadi tolok ukur sanksi yang akan dijatuhkan bagi pelaku tindak kekerasan seksual. Semakin serius dampak kasusnya buat si korban, semakin berat pula sanksi buat si pelaku. Teguran tertulis dan pernyataan permohonan maaf termasuk dalam sanksi ringan. Yang tergolong sanksi berat yaitu berupa pemberhentian dari kampus, baik untuk dosen, mahasiswa maupun tenaga kependidikan.

Lalu, bagaimana jika perguruan tinggi yang nggak menjalankan kebijakan ini?

Ada aturan, tentu juga ada sanksi bagi yang nggak mematuhinya. Gradasi sanksi juga berlaku bagi kampus yang nggak menjalankan regulasi ini. Mulai dari sanksi keuangan hingga penurunan akreditasi. Sanksi ini dinilai Nadiem sangat penting untuk membuat kampus mengadopsi paradigma baru bahwa kampus dengan reputasi baik bukanlah kampus yang nggak punya kasus kekerasan seksual, namun kampus yang berhasil menangani kasus kekerasan seksual sesuai aturan Permendikbud PPKS Ini.

“Kalau kita tidak melakukan ini, banyak kampus-kampus juga tidak akan merasakan urgensi dan keseriusan pemerintah untuk menangani kekerasan seksual. Kita ingin mengubah paradigma yang dulunya reputasi kampus baik itu ditentukan dari tidak adanya kasus seperti ini, sampai kita berubah reputasi kampus yang baik adalah reputasi yang akan secara transparan melakukan investigasi dan memberikan sanksi kepada pelaku-pelaku kekerasan seksual. Kita akan memberikan cap jempol kepada kampus-kampus yang terbuka, yang menuntaskan investigasi mereka, bukan yang menutup-nutupi. Ini adalah paradigma baru kita sekarang," pungkas Nadiem.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait