URguide

Punya Orang Tua Toxic, Emang Enak?

Ika Virginaputri, Senin, 20 Desember 2021 23.08 | Waktu baca 11 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Punya Orang Tua Toxic, Emang Enak?
Image: ilustrasi kekerasan fisik orang tua pada anak (Foto: Pune365)

Idealnya, orang tua akan selalu mengusahakan yang terbaik untuk kehidupan anak-anaknya. Bukan melukai, menyakiti, atau memanipulasi. Sayangnya, kenyataan yang terjadi nggak semulus itu. Cerita-cerita berikut ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa pola asuh orang tua yang tak tepat akan berdampak serius kepada anak. Tidak hanya di masa kecil si anak. Beban berat itu akan terus ia bawa entah sampai kapan.

Anak yang Tak Diharapkan

Sebagai anak tertua dan perempuan satu-satunya dari empat bersaudara, Ros berharap dirinya diperlakukan istimewa di tengah keluarga. Namun, yang ia dapat malah sebaliknya. Selama sekitar 16 tahun, sang ayah yang memang hanya menginginkan anak laki-laki, justru membuat hidup Ros tersiksa. Ros mengaku sering mendapatkan kekerasan fisik seperti dipukul dengan sapu, gelas, hingga dibenturkan kepalanya ke tembok. Tak hanya sakit fisik yang ia rasakan, namun juga trauma batin yang membuatnya jadi pribadi yang tertutup.

"Kekerasan fisik yang aku terima pas kecil berasal dari kedua orang tuaku, tapi dari papa yang lebih parah. Bahkan, aku bisa ngerasain dengan jelas dampak yang aku terima pas kecil banget. Dampak yang aku rasakan aku jadi penakut, nggak berani ungkapin pendapatku, tertutup, nggak bisa memilih, dan sering bengong nggak jelas,” ucap gadis 22 tahun ini mengisahkan hidupnya.

Belasan tahun menjadi pelampiasan kekecewaan ayah hanya karena terlahir sebagai perempuan, Ros melihat dengan jelas bagaimana dia diperlakukan berbeda dibanding dengan ketiga adik laki-lakinya. Saat adik-adiknya berulah, mereka ‘hanya’ dibentak atau dicubit, sementara Ros mendapat makian atau pukulan.

Tak hanya kekerasan fisik dan verbal, Ros pun mengisahkan ketatnya peraturan yang diterapkan orang tuanya kepadanya. Mereka mengatur segala sisi kehidupan Ros, hingga membuatnya tertekan secara mental.

1640058131-123rf.jpgSumber: Kekerasan fisik adalah salah satu bentuk perilaku toxic orang tua ke anak (ilustrasi: 123rf)

"Selain toxic, orang tuaku juga termasuk strict parents," Ros mengisahkan kepada Urbanasia. "Dari aku kecil, mereka selalu mengatur apa yang harus aku lakukan. Sedangkan permintaanku nggak mereka dengerin. Jadi intinya setiap mau ngapa-ngapain aku harus mikir 2-3-4 kali," sambung Ros.

Perlakuan itu juga yang membuat Ros putus kuliah tahun 2019 setelah setahun menjadi mahasiswi Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah di Jawa Timur. Untuk alasan yang Ros sendiri nggak tahu, ayahnya tiba-tiba menyuruhnya berhenti kuliah. Padahal, Ros mengaku telah berusaha keras untuk menjadi mahasiswa yang baik dengan nilai IPK di atas 3. Ros pun menuruti permintaan itu dan kemudian bekerja di sebuah kafe untuk mencari penghasilan. Tapi, lagi-lagi sang ayah memintanya berhenti.

"Aku dulu kuliah tapi cuma setahun. Entah dengan alasan nggak jelas aku diberhentiin kuliah, padahal aku kuliah bener-bener nggak cuma main-main," kenang Ros. "Aku berusaha banget buat dapet IP di atas 3. Abis itu kerja di kafe, tapi papa meledak maki-maki aku dengan kata-kata yang nggak enak banget dan nggak pantes dibilang seorang bapak ke anaknya. Jadi, aku sekarang cuma di rumah doang. Mau ngapa-ngapain nggak bisa, karena akses aku buat kuliah lagi atau kerja udah diambil papa," kata Ros lagi.

Saking seringnya melihat dan mengalami kekerasan dalam keluarganya, Ros kecil beranggapan bahwa kekerasan memang salah satu cara mendidik anak. Namun, setelah beranjak dewasa, ia belajar bahwa hal itu nggak dibenarkan. Kesadaran itu memang datang terlambat setelah Ros merasakan dampak negatif pola asuh orang tua. Perlakuan abusive serta sabotase pendidikan, finansial, dan segala aktivitas yang dilakukan orang tuanya, sudah memengaruhi Ros secara fisik dan mental. Ros pun tumbuh jadi orang yang tertutup, nggak percaya diri, selalu ketakutan. Dan yang paling serius, Ros mulai menyakiti dirinya sendiri.

"Aku bahkan sampai self-harming. Meski aku nggak cutting atau apapun yang berhubungan dengan benda tajam, tapi aku ngerasa bahwa aku sering menyakiti diri aku sendiri. Aku sering banget pukulin diri sendiri, tanpa sadar tau-tau udah sakit aja tubuh aku. Kalo fisik, jadi gampang sakit karena mental aku emang sakit, jadi kebawa ke fisik juga," tambahnya.

Saat Ros sudah dewasa, bentuk kekerasan fisik dari sang ayah memang sudah mulai berhenti. Namun, tekanan yang diberikan bergeser menjadi kekerasan verbal. Masalah baru yang dihadapinya saat ini adalah desakan menikah dari keluarga pihak ibu. Seorang pria lebih tua yang sama sekali tak dikenal Ros sudah datang ke rumah untuk melamarnya. Keluarga dari pihak ibu menganggap pernikahan Ros dengan lelaki itu bisa jadi pembuka jalan untuk Ros keluar dari perlakuan buruk orang tuanya. Sebenarnya, Ros merasa nggak terima dirinya mendapat tekanan untuk sebuah masalah di mana dia justru yang jadi korbannya. Tapi apa daya, Ros juga sulit melawan keinginan keluarga. Peristiwa ini pun kembali membuatnya terpuruk dalam keputusasaan.

"Kenapa dunia kayak mojokin aku dan klaim bahwa aku sumber masalah? Padahal mereka semua yang bikin aku gini. Agak nyesel sih sekarang karena nerima lamaran orang, tapi mau gimana lagi? Nasi udah jadi bubur. Enak nggak enak, nyaman nggak nyaman, aku kudu ngejalanin ini semua," imbuh cewek asal Malang, Jawa Timur ini.

Terlanjur menerima pinangan yang menghampiri, akhirnya Ros cuma meminta kepada calon suami agar pernikahan mereka tidak dilangsungkan dalam waktu dekat sambil menunggu Ros memulihkan diri. Karena nggak punya akses untuk meminta bantuan profesional, saat ini Ros hanya berharap dia bisa memulihkan diri sendiri dari luka batinnya. Dia juga mengingatkan pentingnya para calon orang tua untuk memahami dulu ilmu parenting sebelum memutuskan memiliki anak.

Kekerasan Warisan

Ternyata benar adanya bahwa pola asuh toxic bisa diwariskan. Cerita yang dialami FP, perempuan asal Bali berusia 23 tahun berikut mungkin bisa jadi gambaran. Sama seperti Ros, FP adalah anak pertama. Lahir saat kedua orang tuanya masih berumur awal 20 tahun dan belum mapan secara mental dan finansial. Minimnya kemampuan orang tua mengatur emosi, membuat FP sering babak belur dipukuli sejak kecil. Dia juga kenyang dihujani makian, baik dari ayah maupun dari ibu.

FP mencontohkan omongan kedua orang tuanya seperti, "anak setan kamu", "rugi papa punya anak perempuan" (FP mengaku, di Bali anak laki laki lebih diutamakan), atau "nggak guna kamu", "gitu aja nggak bisa, bodoh sekali", "mati aja kamu, pergi sana dari rumah", "gara-gara ngelahirin kamu, mama nggak bisa lanjut sekolah dan raih cita cita", atau "anak bawa susah kamu".

1640058498-strict-parent-shutterstock.jpgSumber: Walau tidak terlihat, kekerasan verbal dari orang tua juga akan meninggalkan bekas luka untuk anak (ilustrasi: Shutterstock)

Duh, mendengarnya saja sudah bikin hati miris ya, guys? Nggak kebayang perasaan FP yang mengalaminya langsung. Menurut FP, perilaku tersebut menurun dari neneknya yang sering memukuli ayah FP. Ayah FP yang juga anak tertua. Dulu, ia sering menanggung hukuman dipukuli jika adik-adiknya bertingkah nakal. FP pun nggak luput dari amukan nenek yang pernah merendamnya di bak mandi.

"Kalau physical abuse dari kecil," ujar FP memulai cerita. "Misalnya, kalau nggak nurut atau melakukan kesalahan, kalau ngelawan, itu biasa dipukul," jawab FP.

Tak dimungkiri lagi, kejadian tersebut sering membuat FP dulu pergi ke sekolah dengan luka-luka di tubuh. Yang lebih parah, FP meniru perilaku agresif orang tua dengan menyakiti teman-teman sekolahnya. Semasa kecil, FP beranggapan wajar-wajar saja apa yang diterimanya di rumah. Karena itu, ia pun melakukan hal yang sama di sekolah saat ia merasa marah.

"Dulu aku pas TK pernah dorong temenku di perosotan sampe patah tulang. Tapi nggak sengaja, ya namanya juga anak kecil kan nggak tau," FP menuturkan kenangan masa lalunya. "Terus aku jadi tomboy dan SD tuh suka berantem sama temen cowok dan cewek, sampe pukul-pukulan gitu kayak aku aniaya temenku. Pernah pecahin kaca lemari juga di sekolah. Pokoknya, aku merasa perlakuan apa yang aku dapet dirumah itu wajar untuk aku lakuin ke orang lain saat aku marah," papar FP yang kini sudah bekerja. Untungnya, saat FP mulai menginjak remaja, ia tahu bahwa kebiasaannya melakukan kekerasan adalah hal yang tidak seharusnya dilakukan.

Tak hanya jadi sasaran amukan, FP juga terbiasa menyaksikan kekerasan di antara kedua orang tuanya. Semenjak kecil, FP mengaku bahwa kedua orang tuanya sering bertengkar, bahkan berujung pada kekerasan fisik. Banyak faktor yang memicu pertengkaran mereka, di antaranya tingkat pendidikan dan status pekerjaan sang ibu yang lebih tinggi dibanding sang ayah. Nggak jarang juga keduanya membawa stres pekerjaan ke rumah dan melampiaskannya ke FP dan adiknya. Akibatnya, FP nggak dekat dengan orang tua. Meski begitu, FP mengaku terus berusaha mendekatkan diri pada mereka. Salah satu upayanya adalah dengan menjalin komunikasi yang baik. Sayangnya, feedback negatif orang tua membuatnya berhenti berusaha dan akhirnya membuat FP menjaga jarak sampai sekarang.

"Kalo hubungan sama ortu sekarang lebih baik komunikasinya. Tapi karena memang awalnya nggak deket, jadi canggung," cerita FP. "Aku hampir nggak pernah cerita ke ortuku karena dulu pernah cerita tapi dimarahin. Abis itu nggak pernah cerita lagi karena ya udahlah, mau ubah sifat ortu juga susah karena udah habit. Jadi ya akunya yang mengurangi interaksi yang nggak perlu sih, biasa biasa aja," kata FP lagi.

Untuk mengatasi efek buruk perlakuan orang tua, yang FP lakukan dulu hanya menenangkan diri, menangis, dan berkeluh kesah kepada teman-teman terdekat yang sering melihat luka-luka di tubuhnya. Seolah nggak mau ambil pusing, FP juga mengalihkan fokus perhatiannya dengan belajar demi memenuhi tekanan orang tua yang mengharuskannya masuk sekolah negeri.

Menginjak usia dewasa, memang sudah nggak ada lagi kekerasan fisik yang dialaminya. Sesekali FP masih menerima mental abuse. Saat ini, ia bekerja di kantor yang memberinya jaminan asuransi kesehatan. Untuk memanfaatkan fasilitas itu, FP pun lantas menemui dokter spesialis kejiwaan yang membuatnya merasa lebih baik. Keputusan meminta bantuan profesional dilakukannya karena FP mengaku pernah timbul niat bunuh diri untuk keluar dari masalah keluarganya.

"Aku pernah juga suicide attempt sekali," ungkap FP. "Karena pikiranku toh orang tuaku kayaknya nggak apa-apa kalo aku pergi, mereka nggak keberatan. Tapi waktu itu nggak berhasil, karena aku jujur juga takut ngelakuin itu. Pernah ke spesialis jiwa juga, kebetulan sekarang BPJS-ku ditanggung sama kantor, jadi aku pake kesempatan itu untuk sesi konseling," pungkas FP.

FP pun mengaku setelah mendapatkan bantuan profesional, ia lebih bisa mengolah emosi dan perasaannya dengan baik. Kini, FP bisa menjalani hidupnya dengan lebih bahagia.

Orang Tua Temperamental

Sekilas nggak ada yang salah jika kita melihat gadis ini, sebut saja, Gita. Sejak Gita kecil, orang tuanya amat bertanggung jawab dari sisi ekonomi. Semua kebutuhan keluarga dijamin pasti terpenuhi. Sukses di dunia akademis, Gita dan adiknya punya pendidikan yang sangat cemerlang di sekolah unggulan. Dengan pengalaman kerja di kantor-kantor ternama, karirnya sekarang sebagai asisten manajer di bidang akuntansi pun tampak menjanjikan masa depan yang cerah. Tapi siapa sangka, perempuan berusia 30 tahun ini masih berjuang menyembuhkan luka batinnya akibat pola asuh toxic orang tua yang ia alami selama 18 tahun.

Nggak jauh beda sama cerita Ros dan FP sebelumnya, kekerasan fisik dari ayah temperamental sudah jadi 'santapan' Gita kecil sehari-hari. Dan entah kenapa, adiknya tidak menerima perlakuan yang sama. Perlakuan kasar yang diterimanya ketika kecil ternyata telah tertanam di benaknya dan menimbulkan trauma.

"Sempet dulu di tahun 2018 aku sampai nggak bisa banget denger anak kecil nangis jerit-jerit," Gita bercerita. "Aku kayak ngeliat aku sendiri yang sedang menjerit. Apalagi kalo anaknya menjerit, terus orang tuanya tambah kasar sama anaknya. Itu tuh paling nggak bisa aku. Itu adalah bagaimana aku dulu diperlakukan sama orang tuaku," imbuhnya lagi.

Nggak hanya memar-memar di badan yang ia terima, Gita mengaku orang tuanya juga bersikap manipulatif dengan melakukan mental abuse seperti lovebombing dan gaslighting. Dalam sesi Instagram live Urbanasia awal November 2021 lalu, psikolog Zoya Amirin menjelaskan lovebombing adalah tindakan manipulatif seseorang yang punya maksud menguasai orang lain. Nggak jauh beda dengan gaslighting yang seperti 'pemerasan', di mana seseorang membuat orang lain merasa bersalah demi memenuhi keinginannya.

Dalam kasus Gita, orang tua menyandarkan kebahagiaan mereka lewat berbagai harapan-harapan tinggi yang harus dicapai Gita.

"Lovebombing dan gaslighting. Paling sering lovebombing sih," kata Gita kepada Urbanasia lewat sambungan telepon. "Kayak seolah-olah aku dibebani ekspektasi kebahagiaan mereka. Tapi ya, udah dikasih juga nggak bakal yang gimana gitu, kan? Katanya bahagia kalo anaknya punya nilai bagus, rajin sholat, deket sama Allah, tapi kalo kita nggak punya duit juga orang tua nggak bahagia tuh," papar Gita.

Dengan perlakuan seperti itu, Gita bukannya tinggal diam saja. Ia pernah mencoba mengkomunikasikan masalah ini ke orang tuanya. Sudah bisa ditebak, pembelaan mereka atas pola asuh toxic itu didorong oleh rasa sayang mereka ke Gita. Tapi nyatanya yang Gita rasakan justru sebaliknya.

"Mereka kasar sama aku, tapi katanya mereka sayang sama aku," kenang Gita. "Tapi yang aku rasain aku tidak disayangi. Yang aku rasakan aku adalah emotional garbage orang tua, sayang tuh harusnya tidak menyakitkan," ujar perempuan yang kini berdomisili di Solo.

Akibat tekanan dan tuntutan orang tua yang tiada akhir, Gita tumbuh dengan pikiran 'I’m not good enough'. Akibatnya, Gita menjadi orang yang overthinking, cepat panik, dan sempat punya ambisi untuk membahagiakan semua orang.

Dorongan untuk memulai proses pemulihan diri datang menjelang akhir 2019, beberapa bulan setelah pacar yang amat Gita cintai meninggal karena penyakit autoimun. Selama berjuang melawan tekanan psikis akibat masalah keluarga, pacarnya itulah yang selalu menyemangati Gita untuk bangkit. Almarhum juga yang mencegah Gita bunuh diri di tahun 2017. Untuk mengobati rasa kehilangan, Gita jadi rajin ikut berbagai kelas dan pelatihan. Mulai dari kelas parenting, kelas pemulihan psikologis, sampai kelas makan sehat untuk menghilangkan kebiasaan emotional eating-nya. Makan adalah cara Gita kecil menguatkan diri menghadapi pukulan-pukulan ayah.

"Aku selalu overweight padahal kegiatanku banyak. Setelah aku dalami aku overweight karena aku stress eating, emotional eating," Gita menuturkan.

Gita mengaku, saat ia merasakan sakit akibat kekerasan yang dilakukan ayahnya, satu-satunya hal yang membuatnya merasa lega adalah makan. Dengan makan, Gita merasa diri lebih kuat menghadapi kejadian yang memilukan itu.

Memasuki 2021, Gita mulai rutin menemui psikolog setiap bulan karena hasil tes awal menunjukkan Gita depresi berat. Selama setahun belakangan, perjalanannya memulihkan diri jadi prioritas Gita nomor satu. Syukurlah saat ngobrol dengan Urbanasia di akhir 2021, sudah banyak kemajuan yang Gita capai. Saat ini, depresinya sudah masuk kategori ringan, berat badannya sudah turun jadi lebih proporsional, dan komunikasi dengan orang tua sudah membaik. Gita mengaku bahwa dia masih menjaga jarak dengan orang tua. Namun, Gita menganggap bahwa itu adalah jalan yang terbaik karena dengan berjauhan, dia justru bisa terus berbuat baik kepada orang tuanya. Karenanya, untuk orang lain yang senasib dengannya, tumbuh besar dalam pola asuh toxic, Gita menyarankan untuk mengusahakan hidup mandiri dan lepas dari pengaruh orang tua.

"Kita harus berprestasi, bukan untuk nyenengin mereka, nggak. Kalo kita berprestasi, at least kita bisa hidup mandiri," pesan Gita. "Dengan prestasi, kita bisa dapat kerjaan yang lebih baik, kita bisa financially independent, kita bisa membuat diri kita merasa lebih berharga," pungkas Gita.

 

Apabila saat ini kamu mengalami depresi atau keinginan bunuh diri, jangan putus asa. Depresi dan gangguan kejiwaan dapat pulih dengan bantuan profesional kesehatan mental. Jangan ragu untuk menghubungi layanan profesional demi kesehatan mental yang lebih baik. 

 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait