Saatnya Generasi Muda Jadi Pembentuk Norma Baru Cegah Covid-19

Jakarta - Dalam pantauan terbatas fenomena di media sosial, seperti Instagram, Twitter, maupun Facebook, nampak gerak perilaku masyarakat Jabodetabek, sebagai episentrum penyebaran Covid-19, telah mulai menuju arah yang sama.
Jalanan protokol sepi, pusat-pusat perbelanjaan berlakukan layanan terbatas, kompleks-kompleks perumahan berlakukan akses terbatas bagi orang asing dan tentu saja maraknya unjuk gambar work from home di media-media sosial.
Ini semua adalah manifestasi himbauan Pemerintah, yang disampaikan 1 minggu setelah pengumuman resmi pemerintah, terkait adanya 2 warga negara Indonesia yang positif terjangkit Covid-19.
Himbauan untuk melakukan social distancing, yang belakangan diubah oleh WHO sebagai physical distancing, awalnya hadir sebagai himbauan yang asing bagi masyarakat kebanyakan, hingga hari ini pun di daerah-daerah. Pasalnya, selain bukan Bahasa Indonesia yang digunakan, juga tak ada argumentasi sederhana yang disertakan.
Keadaan berubah ketika sebuah lembaga atau personal tertentu mengirimkan pesan yang mengilustrasikan dengan gamblang, kematian massal bakal terjadi bukan lantaran penyakitnya yang mengganas. Namun kematian itu terakselerasi akibat ketidakseimbangan antara jumlah fasilitas kesehatan yang tersedia, tenaga medis yang terbatas dengan pertambahan jumlah penderita yang naik berlipat.
Penularan mengikuti deret ukur, sedangkan kemampuan penanganan mengikuti deret hitung. Terjadi ketakseimbangan. Keadaan dapat diatasi secara sederhana, jika setiap orang mewajibkan dirinya ada di rumah atau melakukan upaya menjaga jarak fisik. Posting media sosial yang menyertakan hitung-hitungan terkait ini pun telah digaungkan.
Jika ini segera dipatuhi, secara massal grafik pertambahan penderita Covid-19 melandai. Setara dengan kemampuan penanganan medis. Pesan itu dan variasi pesan-pesan turunannya, jadi warna pesan yang beredar di jagad media sosial. Masifnya pengiriman pesan diikuti tumbuhnya kesadaran.
Ini terindikasi dengan munculnya komen-komen yang bernada kekesalan jika ada pihak lain yang tetap bepergian atau tidak menjaga jarak. Gerakan bersama physical distancing, dan tetap #dirumahsaja nampak jadi norma sosial baru yang dianut masyarakat.
Sesungguhnya, gerakan ke arah sama dapat ditempuh semua kalangan, lewat 2 cara, yakni pendekatan persuasif yang mengikuti value dan belief yang telah hidup di kelompok yang hendak diyakinkan. Atau membangun norma baru yang harus segera diterima. Membangun norma baru, "tak menjaga jarak fisk, itu tindakan yang tak bertanggung jawab", harus masif jadi gerakan bersama. Dan akan sulit diterima pada awalnya.
Pasalnya masyarakat Indonesia, berkultur relasi secara sosial yang tak peduli jarak. Namun media sosial dapat diandalkan untuk mempercepat terciptanya kondisi yang diharapkan. Lewat re-tweet, re-gram atau tindakan posting ulang material-material berisi bukti sosial yang menunjukkan dijalankannya norma baru itu, realitas baru yang dipatuhi terbentuk.
Dalam tweetnya 25 Maret 2020, Richard Shotton penulis buku-buku behavioral economic, seperti Nudge Unit, 2014 dan The Choice Factory, 2018 menuliskan “Bukti sosial menunjukkan bahwa orang cenderung mengikuti apa yang dipersepsikan sebagai norma perilaku yang berlaku umum. Karenanya pemerintah harus menyoroti sebagian besar kelompok yang mematuhi aturan, bukan yang tidak mematuhinya”.
Dan lewat media sosial, dapat dipampangkan foto-foto, tayangan, ulasan terkait kelompok masyarakat yang telah patuh pada norma baru ini. Dan dengan mengikuti logika jejaring, kelompok yang belum mengadopsi norma baru, dan menolak terekslusi, bakal tersedot ke dalam jejaring. Media sosial mempercepat seluruh proses itu.
Secara khusus pembentukan norma baru ini bertumpu pada angkatan muda, atas 2 alasan yaitu, pertama, menurut We Are Social & Hootsuite 2020, antara 35%-42% pengguna media sosial adalah mereka yang ada di kisaran umur 13-34. Ini yang disebut sebagai generasi milenial, generasi Z maupun generasi alpha. Sedangkan kelompok umur lain yang lebih dewasa, sebaran persentasenya tak sesignifikan kelompok muda tersebut.
Tak heran realitas pengalaman, relasi, kekuatan dan kekuasaan kelompok muda ini, adalah realitas virtual. Acuan kebenarannya adalah yang terjadi di media sosial. Kelompok ini lewat produksi dan distribusi konten, mempunyai kekuatan membuktikan secara sosial, sebagai kelompok yang patuh pada norma baru. Ini relevan dengan ucapan Shotton di atas.
Alasan kedua, penyebaran Covid-19 misalnya yang terjadi di Korea Selatan pada kenyataannya menjangkiti mereka yang berusia 20-29 tahun. Jumlahnya mencapai 30% dari total kasus. Memang kelompok muda ini sering tidak menampakkan gejala tertular, dan tetap sehat. Namun justru lewat fenomena tanpa gejala inilah penyebaran Covid-19 cepat terjadi.
Demikian juga yang terjadi di Cina, berdasar laporan penelitian Wei-jie Guan juga menunjukkan 55,1% penderita Covid-19 di Cina, ada pada rentang usia 15-49 tahun. Ini juga tergolong pada rentang usia muda, dan 57,8% di antaranya tidak mengalami keadaan sakit yang payah.
Maka lewat 2 alasan itu, tak bisa dinafikan posisi sentral kelompok muda. Bukan pilihan yang diberikan: jadi agen pembentukan norma baru atau agen penularan. Tapi logika yang sepatutnya dibangun, ketika peluang terjangkit Covid-19 terbesar ada pada kelompok muda, bahkan tanpa gejala, sudah sepatutnya kelompok muda jadi agen pembentukan norma baru mencegah Covid-19. Dengan demikian, sejarah tak perlu mencatat, adanya kelompok anak muda yang hidup di abad 21, jadi agen pandemic terbesar di dunia.(*)
**) Penulis merupakan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, serta pendiri LITEROS.org
**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia