URstyle

Saling Tuding Kasus Obat Pemicu Gagal Ginjal Akut

Ika Virginaputri, Rabu, 9 November 2022 19.08 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Saling Tuding Kasus Obat Pemicu Gagal Ginjal Akut
Image: Penny Lukito Kepala BPOM (Foto: AntaraNews)

Jakarta - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah memastikan biang kasus gagal ginjal akut di Indonesia adalah karena senyawa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (EG) yang ada dalam obat sirop anak-anak.

EG dan DEG merupakan dua senyawa kimia yang dihasilkan dari bahan pelarut obat sirup, yaitu propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol. Jika obat sirup menggunakan pelarut-pelarut itu, maka proses produksinya bakal menimbulkan kontaminasi berupa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).

“Posisi kami di Kemenkes clear, bahwa faktor risiko terbesar dari kejadian gangguan ginjal akut adalah senyawa EG dan DEG yang melebihi standar yang diminum anak-anak,” ujar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di hadapan Komisi IX DPR, Rabu 2 November 2022.

Begitu berita itu tersebar, semua mata tertuju pada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kok bisa obat dengan kandungan berbahaya lolos diperjualbelikan?

Tentu BPOM tak tinggal diam. Badan yang dipimpin Penny Lukito itu pun langsung membuat konferensi pers. Penny menyebut, soal cemaran senyawa berbahaya itu menjadi tanggung jawab produsen obat.

“Kenapa sampai ada kandungan yang sangat begitu tinggi, tentu hubungannya ke bahan baku. Kemungkinan ada perubahan sumber bahan baku yang tidak dilaporkan ke BPOM,” kata Penny.

Penny memang mengakui bahwa selama ini tidak melakukan pemeriksaan rutin terhadap adanya cemaran EG dan DEG pada obat sirop. Hal itu lantaran hingga kini belum ada pakem internasional yang mengharuskan dan mengatur soal pemeriksaan kedua senyawa itu.

"Itulah kenapa kita tidak pernah menguji karena memang belum dilakukan di dunia internasional pun. Inilah standar yang harus kita kembangkan sekarang sehingga menjadi bagian dari sampling rutin dari BPOM," kata Penny di Istana Kepresidenan Bogor, Senin (24/10).

Klarifikasi BPOM itu membuat perusahaan farmasi meradang. PT Yamarinto Farmatama, perusahaan obat yang izin produknya dicabut BPOM mempertanyakan kinerja BPOM selama ini.

Vitalis Jebarus selaku legal manager Yarindo membantah produk mereka menggunakan bahan baku berbahaya. Dia mengklaim BPOM sudah menyetujui dan memberi izin edar Flurin DMP Sirup.

“Kami juga mempertanyakan peran BPOM dalam mengontrol dan mengatur peredaran bahan pelarut, terutama propilen glikol. Setahu kami, bahan-bahan obat dikontrol oleh BPOM. Kami bertanya-tanya, kenapa propilen glikol tidak dikontrol dengan ketat, sehingga terjadi masalah dalam rantai supply bahan tersebut,” ujar Vitalis.

Tudingan ke BPOM juga dilancarkan anggota Komisi VI DPR dari fraksi Gerindra, Andre Rosiade. Dia bahkan menyebut BPOM telah lempar batu sembunyi tangan.

“Ini ketidakmampuan kepala BPOM dan institusinya, ini sudah lempar batu sembunyi tangan,” ujar Andre, Kamis (3/11/2022). “Sudah 170 orang meninggal. Nggak ada otaknya pak, pejabat Indonesia nggak tanggung jawab soal itu,” tambah Andre sambil menggebrak meja.

Kritikan juga datang dari Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane. Menurut Masdalina, akan lebih bijak jika BPOM mengaku lalai, ketimbang menyalahkan pihak lain.

“Temuan ini membuktikan bahwa fungsi pengawasan BPOM tidak jalan. Jadi, selama ini apa yang dikerjakan? Perizinan saja? Kan, mereka sudah mengantongi izin edar. Jadi, jangan sampai membuat kebijakan yang ‘menembak’ diri sendiri sebenarnya,” kata Masdalina, Selasa (1/11/2022).

Titik Lemah

Jika banyak pihak menunjuk BPOM sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kasus ini. Pendapat berbeda datang dari Guru Besar Fakultas Farmasi UGM (Universitas Gadjah Mada), Prof Zullies Ikawati.

Menurutnya, saat ini bukan saatnya saling tuding melainkan saling introspeksi. Apalagi pengukuran EG dan DEG hingga saat ini tidak disyaratkan.

“Nggak ada aturan juga decompen manapun di dunia bahwa ada syarat pada produk akhir itu harus diukur EG dan DEG,” kata Zullies. “Masalahnya tuh itu bukan sesuatu yang lazim diukur atau biasa diukur, untuk EG atau DEG itu,” imbuhnya lagi.

Zullies menilai inilah titik lemah yang harus ditindaklanjuti dengan kebijakan baru oleh pihak-pihak berkepentingan. Tujuannya tentu supaya mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan.

“Ini baru muncul ya setelah kejadian ini. Sehingga saya kira kita nggak bisa menyalahkan (satu pihak) juga, karena memang tidak ada regulasi yang mengharuskan seperti itu,” katanya.

“Tetapi ini berarti menjadi titik lemah, 'Oh ternyata bisa kejadian juga ya kalau itu nggak diregulasi ya'. Maka ini tentu nanti akan menjadi perhatian ke depan. Berarti cemaran ini, khususnya untuk EG DEG yang kebetulan memang sekarang jadi concern kita, mungkin harus diukur,” ucapnya.

Untuk itu, Zullies berharap agar kejadian ini bisa jadi momen introspeksi, dan bukan jadi ajang saling tuding dan saling menyalahkan.

“Sebetulnya yang bermasalah bukan obat-obatnya, tapi cemarannya,” katanya. “Jadi EG dan DEG itu, setelah terpapar di dalam tubuh akan diserap oleh saluran cerna, kemudian diuraikan menjadi senyawa yang lebih toksik seperti asam glikolat, asam glikosilat dan asam oksalat. Itu semuanya nanti bisa berperan atau bisa menyebabkan toksisitas pada berbagai organ. Yang ke arah gagal ginjal itu terutama adalah asam oksalat,” papar Zullies.

Lalu mengapa obat yang sama diminum bertahun-tahun dan baru muncul masalah sekarang? Menurut Zullies hal itu berkaitan dengan situasi global yang membuat perusahaan farmasi mengganti bahan yang lebih murah.

“Mestinya industri ketika akan melakukan perubahan semacam itu harus melaporkan ke Badan POM. Apakah memang unsur kelalaian atau kesengajaan, itu yang sekarang menjadi bahan untuk diinvestigasi pihak yang berwenang ya, termasuk Bareskrim,” ujar Zullies.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait