URtech

Sambut Dunia Baru Metaverse, Ngeri atau Happy?

Ika Virginaputri, Kamis, 6 Januari 2022 23.17 | Waktu baca 7 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Sambut Dunia Baru Metaverse, Ngeri atau Happy?
Image: istimewa

Buat para gaming enthusiast dan techno freak, kemunculan metaverse telah menjadikan teknologi hadir dalam tingkat yang lebih mutakhir. Dunia baru yang diklaim tanpa batas ruang dan waktu ini, telah menjadi terobosan penting yang mengubah kehidupan hingga ke tingkat dasar. Namun, dengan sederet kecanggihan dan kemudahan yang ditawarkan, ‘harga’ yang harus dibayar juga sebanding. Sebesar apa tantangan yang tersembunyi di balik metaverse?

Perubahan Tatanan Sosial

Ditenagai teknologi web 3.0, metaverse digadang-gadang bakal menghadirkan pengalaman berinternet tiga dimensi yang membuat aktivitas kita di dunia virtual akan terasa lebih nyata. Nggak cuma main game online, di metaverse kita bisa 'mengutus' avatar kita untuk meeting di kantor virtual, nonton konser artis-artis luar negeri (yang tampil dalam bentuk avatar juga pastinya), sampai transaksi jual-beli aset digital pakai mata uang kripto.

Namun, sama dengan internet yang punya segudang kegunaan dan menciptakan jutaan peluang, metaverse juga punya sisi lain yang mengkhawatirkan. Melansir BBC, Roger McNamee yang dikenal sebagai investor Facebook di awal-awal pendiriannya, bahkan bersuara keras menolak ide Mark Zuckerberg merintis semesta virtual metaverse. Roger beranggapan metaverse bakal jadi dunia distopia yang menakutkan. Distopia adalah kebalikan dari utopia yang berarti 'ideal'. Roger menyangsikan keamanan metaverse di tangan Facebook yang Oktober lalu resmi berganti nama menjadi Meta. Mungkin kamu masih ingat ya guys, Mark Zuckerberg pernah disidang parlemen Amerika Serikat gara-gara kebocoran data penggunanya. Kritik yang agak berimbang disuarakan oleh Profesor David Reid, pakar Artificial Intelligence (AI) dan spatial computing dari Liverpool Hope University. Menurut Profesor David, metaverse punya sisi positif karena mengurangi kendala jarak dalam menghubungkan manusia. Namun dengan sifat yang tanpa batas itu, metaverse jelas membutuhkan aturan dan pengawasan untuk menjamin keamanannya.

Sepaham dengan pendapat kedua pakar tersebut, sosiolog Universitas Nasional, Jakarta Selatan, Dr. Sigit Rochadi M.Si, memandang bahwa metaverse bakal mengubah tatanan sosial dan ekonomi masyarakat dunia secara drastis. Trend digital yang tambah masif sejak pandemi COVID-19 akan jadi gaya hidup, di mana mobilitas manusia dan pekerjaan di sektor non-digital akan semakin menurun. Selain belanja online, yang juga bergerak ke arah virtual adalah ruang bekerja, seiring maraknya sistem Work from Home (WFH). Jadi kebutuhan akan properti fisik seperti toko, kantor dan ruang rapat, juga menurun.

"Rencana itu (metaverse) kalau betul-betul jadi dilaksanakan, maka akan mengubah secara drastis, secara besar-besaran, perekonomian dunia. Nah, ekonomi dunia yang selama ini masih dikuasai oleh perusahaan-perusahaan berbasis aplikan manufaktur dengan mengandalkan tenaga kerja, kerja di pabrik, nanti akan semakin menciut," ujar Sigit saat diwawancara Urbanasia.

1641485675-Pak-Sigit.jpgSumber: Dr. Sigit Rochadi M.Si, sosiolog Universitas Nasional, Jakarta (Foto: Dok pribadi)

Sigit menjelaskan, setelah periode sekarang dengan revolusi industri 4.0 atau bahkan 5.0 sudah mulai bergerak, kita tidak lagi mengandalkan pada industri pabrikan, melainkan industri berbasis internet. Karena itu, relasi antar individu di masyarakat juga akan mengalami perubahan yang signifikan, termasuk cara kita bekerja. Perubahan ini lambat laun akan memengaruhi pola kerja manusia secara umum. Perusahaan-perusahaan akan lebih efisien dengan tim kecil yang bekerja dari rumah masing-masing. Dengan begitu, perusahaan nggak perlu lagi mempekerjakan orang dalam jumlah banyak, mengeluarkan biaya sewa kantor, atau tunjangan transportasi buat karyawan. Relasi sosial masyarakat yang makin individualis juga bakal jadi ciri produktivitas era metaverse.

Menurut Sigit, kondisi ini akan secara otomatis mengubah relasi kerja versi lama antara bos atau majikan dengan pekerja, menjadi model kemitraan. Sigit mencontohkan aplikasi Gojek dan Tokopedia. Para pengemudi Gojek tidak punya majikan karena mereka bekerja berdasarkan aplikasi. Demikian juga Tokopedia. Di masa depan, usaha-usaha semacam itu akan lebih marak. Inovasi dan kreativitas menjadi modal utama untuk mengembangkan bisnis.

“Dampak jangka panjangnya tentunya adalah bahwa gelar-gelar tidak lagi menjamin masa depan. Yang menentukan kualitas hidup seseorang adalah kreativitas, inovasi, dan kecerdasan mereka. Jadi hubungan kerja yang selama ini ada majikan, ada anak buah, ada bos, ada karyawan yang digaji, itu semakin ke depan nampaknya semakin menghilang. Yang muncul adalah kerja individu-individu menawarkan kreativitas, konten-konten, produk-produk, yang nantinya mereka akan menjual secara virtual dan akan dilayani secara online juga," ungkap Sigit.

Dengan perubahan tersebut, Sigit menegaskan bahwa kompetisi antarindividu di dunia kerja bakal makin ketat di era metaverse. No work, no pay. No product, no pay. Nggak ada kualitas, otomatis akan ketinggalan zaman dan akhirnya kalah saing.

Pondasi Teknologi yang Memadai

Di sisi lain, hingar bingarnya semesta baru ini butuh modal yang tak sedikit. Nggak cuma dari sisi koneksi internet yang mumpuni dan tersebar di seluruh penjuru dunia, gawai yang harus disediakan pun tak sederhana. Padahal, keduanya adalah pondasi utama untuk membangun dunia baru metaverse.

Dengan teknologi komunikasi yang ada saat ini, Sigit memprediksikan bahwa hanya warga ibukota, negara, atau kota-kota besar dulu, yang bakal jadi pengguna awal metaverse. Hal ini tentu akan bikin jurang kesenjangan yang sudah ada antara kota dan desa bakal makin mencolok.

"Untuk sementara, sekitar 10 sampai 15 tahun itu akan menimbulkan ketimpangan yang mencolok antara desa-kota, Jawa-luar Jawa di negara kita," Sigit menjelaskan. "Jadi nanti daerah-daerah yang maju seperti Jawa ini, Jakarta, akan tetap lebih dulu menikmati metaverse dibanding daerah-daerah lain. Setelah teknologi dari Jakarta itu dibuang, baru orang lain di daerah-daerah bisa memanfaatkannya. Jadi ada kesenjangan, ada perbedaan dalam kemajuan. Karena start-nya berbeda, berangkatnya berbeda," lanjutnya lagi.

Keamanan Data

Selain masalah kesenjangan, Sigit juga punya kekhawatiran soal keamanan metaverse. Sigit mewanti-wanti netizen agar lebih waspada dalam menghadapi ancaman kejahatan cyber, misalnya pencurian data pribadi. Kalau kita nggak hati-hati nih guys, bisa saja gadget kita jadi korban peretasan. Kemudian pelakunya memakai identitas kita untuk melakukan suatu kejahatan online. Serem banget, kan?

Kekhawatiran inilah yang juga membuat seorang gaming enthusiast sekaligus jurnalis tekno, Yuslianson, masih setengah hati dengan ide metaverse ini. Apalagi, menurut Yus, panggilan akrab pria 38 tahun ini, proyek pembangunan semesta baru milik Meta ini, datang dari Mark Zuckerberg yang pernah bermasalah dengan keamanan data pribadi pengguna. Karena itu, meski sangat tertarik dengan konsepnya, Yus merasa perlu untuk mempertimbangkan dengan sangat matang sebelum masuk menjadi warga metaverse.

"Ikut aktif join tertarik, sih. Tapi mungkin agak lihat-lihat situasi, ya," ujar Yus kepada Urbanasia. "Kan belum terlihat secara jelas. Karena saya di dunia teknologi, masih ngeliat... 'yakin nggak sih si Meta atau Facebook ini bisa meng-handle data pribadi saya?' Track record-nya nggak bagus, lah. Mereka menjamin nggak ya, keamanan data-data saya, avatar saya, atau semua tentang saya yang ada di metaverse itu?" ucap Yus mengutarakan kekhawatirannya.

Selain itu, Yus juga mengkhawatirkan konten-konten yang nantinya akan tersebar di metaverse. Sebagai semesta tanpa batas, metaverse akan sangat mudah dimanfaatkan sebagai media penyebaran konten-konten negatif. Perusahaan teknologi sebagai pihak pengembang, belum tentu mampu mengatasi hal itu. Yus mencontohkan bagaimana tahap uji coba game online Horizon World milik Meta sudah dicemari oleh kasus pelecehan seksual.

"Kemarin pun juga sempet ada masalah kan tentang salah satu beta tester, dilecehkan secara virtual. Kalo saya mau lihat, Facebook atau Meta mampu nggak mengatasi hal-hal seperti ini?" sambung Yus. "Teknologi ini sangat mudah digunakan untuk konten-konten negatif gitu, itu yang agak mengkhawatirkan sih. Gimana Meta meng-handle konten-konten negatif, karena sampai saat ini belum ngeliat secara jelas kayak gimana," Yus menambahkan.

Mengamini pendapat Sigit, Yus juga setuju bahwa untuk Meta merealisasikan semesta barunya, bakal butuh waktu yang tidak sebentar. Paling cepat dalam lima tahun, begitu perkiraan Yus. Selain itu, sebanyak apapun dana yang Meta miliki sebagai modal, pasti akan ada keterbatasan dan campur tangan pihak lain yang bakal mempengaruhi hasil akhir metaversenya.

"Meskipun Facebook atau Meta punya duit banyak, yaa pasti ada batasannya gitu. Pasti mereka akan menggandeng yang lain, dari situ akan seperti kayak gimana, kita nggak tahu," lanjut Yus.

Investasi Digital

Sedikit berbeda dengan Yus, pegiat teknologi sekaligus investor kripto, Fajar Widi, lebih bersemangat menyambut munculnya metaverse. Pria 36 tahun yang sudah menekuni trading mata uang digital sejak tahun 2017 ini, melihat metaverse sebagai lahan baru dalam berinvestasi secara digital.

Menurut Fajar, masih terlalu dini untuk menilai metaverse dari dampak negatifnya. Pembangunan metaverse masih di tahap awal dan belum bisa diadopsi secara masif. Karenanya, Fajar tak menampik kemungkinan dirinya bergabung jadi warga metaverse, karena teknologi ini merupakan bagian dari perkembangan peradaban dunia.

"Saya belum merasa ada dampak negatifnya. 'Barangnya' aja masih awal banget," ujar Fajar kepada Urbanasia. "Jika memang dampaknya positif bagi peradaban dan culture-nya bisa diterima society, kenapa tidak? Metaverse adalah bagian dari perkembangan peradaban umat manusia," lanjutnya lagi.

Cukup lama berkecimpung di dunia cryptocurrency, Fajar melihat penggunaan kripto sebagai alat tukar di metaverse bakal sangat menggairahkan para retail investor dan crypto trader. Sama-sama ditopang oleh teknologi blockchain, trend aset digital Non-Fungible Token (NFT) yang sudah terbukti sebagai peluang menguntungkan tahun 2021 ini, diprediksi Fajar masih akan jadi isu hangat di tahun 2022.

"NFT merupakan use case yang sudah real di market. Penggunaan smart contract non-fungible ini bakal lebih banyak lagi diadopsi menuju metaverse," kata Fajar. "Peluang yang ada di metaverse di 2022 buat saya masih di seputar 'tanah virtual' dan NFT gaming seperti Decentraland, The Sandbox, dan Axie Infinity," Fajar menuturkan.

Beda pendapat yang dilontarkan Yus dan Fajar, tentu didasari oleh perbedaan fokus minat dan pengalaman mereka sebagai pegiat teknologi. Nyatanya, meski banyak hal yang harus dipertimbangkan, metaverse hadir sebagai terobosan baru dari perubahan dunia yang sulit dielakkan. Pertanyaannya, mampukah kita menjawab tantangan era semesta baru ini agar tak terlibas dampak negatifnya?

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait