URguide

Self-Healing Hempas Trauma Toxic Parents

Ika Virginaputri, Senin, 20 Desember 2021 22.45 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Self-Healing Hempas Trauma Toxic Parents
Image: ilustrasi hubungan anak dan orangtua (foto: SDI Productions / Getty Images)

'Healing' jadi salah satu kata terpopuler di kalangan netizen Indonesia tahun 2021 ini. Secara literal, healing berarti penyembuhan. Ini berarti menyembuhkan diri dari segala bentuk tekanan psikologis seperti stres, luka batin, trauma, dan depresi.

Proses healing ini penting banget supaya kita bisa move on dari masalah yang mengganggu pikiran. Apalagi buat anak korban pola asuh toxic orang tua. Mereka seringkali memilih diam dan memendam perasaan demi menghindari konflik dengan orang tua. Padahal, sebenarnya di dalam hati masih menyimpan unek-unek yang menumpuk.

Unfinished Business

Para Milenial dan Gen Z yang tumbuh dengan pola asuh negatif orang tua, punya kesadaran diri yang tinggi akan dampak perbuatan orang tua mereka. Banyak dari mereka nggak segan dan nggak malu meminta bantuan profesional untuk mengatasi masalah psikologis itu.

Menurut Carine Benedict, konselor dan motivator yang fokus ke masalah parenting dan healthy relationship, memperbaiki kondisi mental dan psikologis itu wajib dilakukan. Hal ini menurut Carine karena penyebab orang tua bertindak toxic ke anak salah satunya adalah 'unfinished business'. Carine mencontohkan ada orang tua yang melarikan diri dari masalah pribadi alih-alih menghadapi dan menyembuhkan rasa sakitnya. Akibatnya, mereka melampiaskan masalah terpendamnya ke anak. Itulah yang menyebabkan perilaku toxic seolah jadi ‘program’ turun-temurun.

"Mereka (orang tua) tidak sadar punya tumpukan emosi, tumpukan luka dalam diri mereka," ujar Carine kepada Urbanasia. "Tapi mereka selama ini bukannya menyembuhkan, bukan menghadapi, tapi lari. Padahal, yang namanya luka nggak bisa sembuh dengan sendirinya dan itu berakumulasi. Nah, luka-luka yang terus berakumulasi itu mempengaruhi perilaku mereka, cara mereka menghadapi masalah, dan cara mereka berperilaku ketika mereka marah, stress," Carine menjelaskan.

1640014720-Carine-Benedict.jpgSumber: Carine Benedict, konselor dan motivator parenting dan healthy relationship (Foto: dok pribadi)

Carine menambahkan bahwa orang tua yang tidak menyembuhkan luka batin sesungguhnya sangat rapuh dan gampang terpancing emosinya. Nggak sedikit juga yang melarikan diri ke hal-hal negatif yang kemudian membuat kecanduan, karena hanya itu yang membuat mereka rileks. Menurut Carine, kecanduan termasuk sebagai salah satu bentuk trauma juga. Tapi sayangnya mereka nggak sadar mereka punya unfinished business.

"Orang-orang ini nggak sadar mereka punya unfinished business. Jadi, yang mereka bilang baik-baik aja itu tampak luar, tapi di dalamnya mereka itu rapuh. Terbukti dari perilaku mereka sehari-hari, dari cara mereka menyikapi masalah, dari cara mereka menyelesaikan konflik dengan anak," kata ibu satu anak ini.

Contoh lain unfinished business orang tua yang masih banyak terjadi adalah ketika mereka gagal memenuhi ambisi pribadi di masa lalu. Lewat si anak, mereka lantas berharap mewujudkan impian terpendamnya. Menurut Carine, inilah salah satu perilaku toxic orang tua yang kerap disamarkan dengan dalih 'yang terbaik untuk anak'. Anak jadi menanggung beban harus selalu berprestasi, harus selalu membanggakan orang tua, harus juara, harus nomor satu.

"Namanya ambisi yang terkubur. Tanpa sadar mereka berusaha dengan dalih 'ini yg terbaik buat anak saya'. Padahal deep down inside mereka ingin si anak meneruskan ambisi yang dulu mereka tidak bisa wujudkan," Carine memaparkan.

Beres dengan Diri Sendiri

Penjelasan Carine kembali mengingatkan kita akan pentingnya menyembuhkan masalah psikologis. Menurut Carine, pembentukan diri seseorang ditentukan juga oleh apa yang mereka pelajari dari lingkungan sekitar mereka. Terutama orang-orang terdekat atau orang-orang yang mereka kagumi yang menjadi role model-nya.

Di mata anak, orang tua adalah figur pemimpin, sosok yang dikagumi, disayangi, dan dapat dijadikan contoh. Tanpa sadar, anak seringkali menjadikan perilaku orang tua sebagai referensi, walaupun perlakuan tersebut nggak mereka terima. Hal ini amat disadari Carine yang dulu juga pernah memiliki toxic relationship dengan ibunya. Dia nggak mau sang anak merasakan pengalaman pahit yang sama. Carine sadar, untuk jadi orang tua yang baik dan untuk hidup yang lebih tenang dia harus 'beres dengan diri sendiri' lebih dulu.

"Aku nggak pernah mengalami kasih sayang ayah sedari aku bayi jadi aku dibesarkan oleh single mom," Carine mengisahkan. "Dulu kami hidupnya sangat susah. Karena ibuku single mom, bebannya berat, ya mungkin beliau jadi tidak punya tempat untuk bernaung, so beliau melakukan kekerasan kepadaku, kepada tiga kakakku. Terutama sama aku karena aku disleksia berat," ungkap Carine yang juga content creator ini.

Buat kamu yang belum tahu, disleksia merupakan gangguan belajar yang membuat pengidapnya kesulitan membaca, menulis atau mengeja. Dampaknya seringkali membuat pengidap disleksia punya gangguan berbahasa juga. Hal ini membuat Carine kecil bermasalah dengan nilai akademis yang juga mempengaruhi kepercayaan diri dan kondisi mentalnya. Saat sekolah dulu Carine dianggap sebagai anak bermasalah. Semasa SD sampai SMP, rapornya selalu ramai 'dihiasi' nilai merah. Dia nggak punya teman dan sering di-bully.

Jadi, nggak hanya menghadapi kerasnya didikan ibu di rumah, Carine juga merasakan kerasnya hidup di sekolah. Saat itu, Carine merasa nggak ada orang memahami, membantu, dan mendengarkannya. Carine terus merasa dihakimi dan dicap sebagai anak tidak berguna. Saking beratnya beban hidup yang ditanggungnya, Carine bahkan sempat beberapa kali berpikiran ingin mengakhiri hidup. Kondisi mulai membaik memasuki masa SMA di mana Carine mulai menemukan sistem belajarnya sendiri dan berhasil menjadi juara kelas. Namun disleksia yang ia miliki kini menurun ke anaknya. Jadi Carine berusaha sekuat tenaga agar apa yang dia alami tidak terulang di kehidupan sang anak.

"Sejak punya anak aku sadar bahwa aku tidak ingin anakku mengalami hal yang sama seperti aku," ujar Carine. "So aku mulai belajar parenting, ikut pelatihan, ketemu psikolog, sambil aku belajar healing sendiri gitu. Nah, itu butuh waktu bertahun-tahun. Dalam prosesnya itu nggak smooth ya pastinya," imbuh Carine lagi.

Namun Carine akhirnya belajar, menyalahkan kondisi dan menyalahkan orang tua nggak lantas menyembuhkan luka batin dan trauma dirinya. Ketika kita semakin menyalahkan dan berekspektasi tinggi agar orang tua mengerti dan berubah, luka kita justru akan semakin dalam.

1640014937-TP123rf.jpgSumber: Memutus rantai perilaku toxic bisa dimulai dari berhenti menyalahkan keadaan dan fokus pada perkembangan diri sendiri dulu (ilustrasi: 123rf)

Fokus pada Perkembangan Diri

Dengan berbagi pengalaman pribadinya melewati masa sulit, Carine bermaksud menyampaikan pesan bahwa anak korban pola asuh toxic sebaiknya mengalihkan fokus pada perkembangan diri sendiri. Carine menilai wajar jika anak merasa sakit hati dan terluka atas perilaku toxic orang tua. Namun, jangan sampai anak lantas tenggelam dalam perasaan negatif atau memupuk kebencian terhadap orang tua yang akhirnya menghambat proses healing.

"Aku tidak membenarkan perilaku toxic orang tua, tidak," kata Carine. "Tapi segala hal yang terjadi di luar kehendak kita, kita nggak bisa ngubah. So, kalo kita mau healing, stop berharap orang tua kita berubah dulu. Nah, kebanyakan orang salah fokus, mereka hanya berfokus 'ini nih yang salah. Gara-gara mereka gue jadi punya masalah mental' dan terus menyalahkan," sambungnya.

Apa yang Carine ucapkan terbukti berhasil karena sekarang hubungan dengan ibunya sudah berubah 180 derajat. Perubahan itu terjadi karena Carine berinisiatif mengubah dirinya lebih dulu. Diawali dengan memaafkan diri dan orang tua, Carine kemudian berusaha bangkit dengan memberdayakan diri dan menggali potensi yang ia miliki. Melihat Carine berubah, pelan-pelan keluarganya juga berubah. Akhirnya hubungan mereka yang semula toxic, sekarang membaik menjadi hubungan yang sehat dan saling dukung.

"Menurutku ini salah satu miracle. Jadi dulu hubunganku dengan ibuku sangat buruk," cerita Carine. "Tapi sekarang kondisinya 180 derajat berbeda. Kenapa? Because I change myself first. Aku tidak mau menuntut orang tua atau keluargaku berubah, tidak. Yang ada aku menggunakan waktuku healing myself. Sampai akhirnya mereka menyadari bahwa aku berubah pelan-pelan, mereka juga ikutan berubah. Sekarang setiap kali ketemu aku dipeluk, dibilang 'mami bangga'. Dulu mah boro-boro," Carine menuturkan dengan santai.

Carine meyakini semua perubahan yang terjadi pada dirinya adalah karena kuasa Tuhan. Seberapa pun sakitnya perasaan Carine dulu, dia tetap menyayangi dan menghormati ibu. Carine berpendapat kita nggak mungkin mengubah perilaku toxic orang tua jika kita berlaku sama toxicnya. Fokus pada kebahagiaan dan perkembangan diri sendiri sampai kita jadi orang yang lebih baik membuat kita bisa jadi orang tua buat diri sendiri. Istilah ini dinamakan reparenting.

Baik Carine maupun psikolog Alfath Hanifah Megawati atau yang akrab dipanggil Ega, secara terpisah sama-sama menyebut reparenting sebagai metode healing untuk anak yang terluka akibat pola asuh toxic. Intinya adalah kita menjadi orang tua yang selalu kita inginkan, yang mungkin selama ini nggak pernah kita dapatkan dari sosok orang tua.

 

Apabila saat ini kamu mengalami depresi atau keinginan bunuh diri, jangan putus asa. Depresi dan gangguan kejiwaan dapat pulih dengan bantuan profesional kesehatan mental. Jangan ragu untuk menghubungi layanan profesional demi kesehatan mental yang lebih baik. 

 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait