URtech

Startup Bubble Burst: Efek Pandemi atau 'Bakar Uang'?

Ika Virginaputri, Minggu, 12 Juni 2022 19.56 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Startup Bubble Burst: Efek Pandemi atau 'Bakar Uang'?
Image: Ilustrasi. (Net)

Perusahaan rintisan atau startup menandai kebutuhan masyarakat masa kini yang semakin condong ke arah digital. Pertumbuhannya yang pesat sejak era smartphone dan media sosial, diyakini sebagai masa depan industri teknologi. Bisnis yang dijalankan startup juga relate banget dengan kebutuhan kita sehari-hari, mulai dari layanan pesan-antar makanan, jasa bersih-bersih rumah, dompet elektronik, transportasi, pendidikan, bisnis jual-beli, game online, sampai pengumpulan dana untuk amal. Investor pun nggak segan membiayai bisnis rintisan ini dengan dana miliaran hingga triliunan.

Dari jenis bisnis yang luas tanpa batas, sumber daya pekerja yang mumpuni, hingga dukungan kuat aliran modal dari para investor, sekilas tampaknya nggak ada celah yang bisa menghambat berkembangnya sebuah startup. Tapi ternyata berbeda dengan kenyataan di lapangan, Guys.

Mei 2022, Zenius, LinkAja dan JD.id mengumumkan pemberhentian ratusan pegawainya. Diikuti oleh Pahamify dan startup game asal India, Mobile Premier League yang memecat 100 karyawan dan menutup layanannya di Indonesia. Apa sih penyebabnya?

Goncangan Ekonomi

Menurut Ketua Umum Indonesian Digital Empowerment Community (IDIEC), Tesar Sandikapura, mencari penyebab banjir PHK ini nggak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang saja, Guys. Namun Tesar berpendapat peristiwa ini adalah bukti bahwa model bisnis startup masih rentan terhadap goncangan-goncangan eksternal seperti pandemi yang berujung menurunnya pertumbuhan ekonomi global.

“Faktor pandemi ada, faktor moneter internasional karena lagi resesi dunia itu ada, betul. Tapi kalau startup ini sudah survive, sudah profit, saya nggak ada issue. Nah ini masalahnya double,” kata Tesar kepada Urbanasia.

“Ketika ekonomi dunia resesi, pendanaan seret, tapi si startup ini belum survive secara cash flow, akibatnya yang mereka lakukan adalah efisiensi. Efisiensi yang paling mudah terhadap operasional mereka adalah dengan lay off karyawan. Itu menurut saya hanya salah satu sebenarnya. Mungkin banyak hal lagi yang sudah mereka lakukan untuk menekan pengeluaran mereka,” sambung Tesar.

Faktor lain yang dinilai Tesar juga berpengaruh secara signifikan adalah kebiasaan 'bakar uang' yang dilakukan startup dalam promosi demi menggaet konsumen. Teknik marketing besar-besaran seperti merekrut artis terkenal sebagai brand ambassador atau subsidi layanan supaya konsumen dapat harga semurah mungkin membuat startup yang dimulai dengan modal sedikit kalah bersaing. Tesar mencontohkan pisang goreng tanpa subsidi yang dijual Rp 1.000 tentu nggak akan laku jika pisang goreng di tempat lain dijual seharga Rp 500 karena ada biaya subsidi.

“Semua bisnis kalo perang harga, pasti yang akan murah yang akan menang,” Tesar menjelaskan. “Akibatnya apa? Jadinya membunuh. Istilahnya predatory pricing. Ini yang bahaya. Semua industri setahu saya ada aturan itu. Ada tarif batas bawah, tarif batas atas. Mau itu transportasi kek, mau itu minyak goreng kek. Bener nggak? Coba kalo minyak goreng harganya bebas nggak diatur pemerintah? Ya orang semaunya aja jual minyak goreng. Nah startup ini nggak ngatur itu,” lanjutnya.

Bergantung Investor

Tesar beranggapan secara bisnis, model seperti ini jelas nggak sehat karena pada akhirnya startup hanya akan terus bergantung pada investasi tanpa memikirkan cash flow dan profit. 'Pemain kecil' pun jadi dipaksa bersaing dengan yang bukan kelasnya. Akibat lain adalah terjadinya monopoli atau duopoli bisnis yang harus jadi perhatian pemerintah, dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

“Base modelnya tidak 'play in the same field' istilahnya,” ucap CEO dari startup LiteBIG ini.

“Secara bisnis ini nggak sehat. Itu yang membuat sampai sekarang mereka nggak pernah making money gitu, kan? Karena base model mereka tidak benar-benar berhitung dengan cara konvensional. Harga produksinya berapa, untungnya berapa,” imbuhnya.

Tesar mengibaratkan model bisnis startup layaknya runway yang jadi landasan terbang sebuah pesawat. Di ujung runway, di situ pesawat harus take off untuk terbang. Sama halnya dengan startup. Runway startup adalah target profit yang harus dicapai untuk bisa lepas dari ketergantungan investasi. Sayangnya dalam bisnis startup, Tesar menilai seringkali runway ini nggak jelas ujungnya di mana.

“Kita naik pesawat kan ada landasan pacu gitu ya? Nah, startup itu punya runway ada yang 3 tahun, 5 tahun, bahkan ada yang 10 tahun,” Tesar menganalogikan.

“Kayak Facebook itu 10 tahun nggak untung sama sekali. Dan itu wajar-wajar aja. Dia akan make profit ketika nanti di ujung landasan, dia akan fly kayak pesawat take-off. Dia akan terbang artinya dia untung di situ. Tapi startup ini kadang-kadang nggak jelas. Ini ujung runwaynya kapan? Sampai sekarang startup masih banyak yang 'berdarah-darah'. Kalau masih di runway kemudian bakar duit ya wajar, tapi ketika sudah take off tidak boleh lagi bakar duit, bahkan harus making money,” lanjutnya.

Namun sekali lagi nih, Guys, kita nggak bisa melihat dari satu sisi aja. Keberlangsungan sebuah startup sangat tergantung pada investasi. Jika PHK karyawan yang dilakukan startup merupakan langkah efisiensi akibat dana investasi yang makin terbatas, menurut Tesar, para investor juga berperan penting di sini. Selain kurang mengarahkan manajemen startup dalam mengelola modal, hal yang paling dikhawatirkan Tesar adalah adanya kemungkinan rekayasa valuasi startup oleh investor.

“Kita tidak bisa mengarahkan masalah ini hanya ke founder atau ke manajemen startup. Keborosan startup ini sebenernya kalau menurut saya, banyak kesalahannya juga dari sisi investor. Kenapa kok investor tidak mengarahkan, agak strict lah. Ini kan duit dia,” Tesar berujar.

“Ini kan financial engineering ya, dengan dia melakukan valuasi yang berlipat-lipat yang tadinya harganya 100 miliar, 200 miliar, jadi triliunan valuasinya. Makanya jangan-jangan nih kita jadi sapi perahan mereka sebenarnya. Peribahasa kita, habis manis sepah dibuang gitu kan? Ketika sudah cuan, dia kabur. 'Ya udah biarin aja startup mati yang penting gue udah untung'. Nah, ini yang saya nggak mau. Pemerintah tahu nggak soal ini? Jangan-jangan kita cuma dimanfaatkan doang,” sambung Tesar.

Dari B2C ke B2B

Sebagai founder sebuah startup, Tesar mengakui betapa sulitnya mengelola perusahaan rintisan. Terutama saat cash flow mulai menipis. Keadaan ini pernah dialami Tesar dengan LiteBIG yang ia dirikan, Guys. Tak ayal, perubahan strategi bisnis pun harus dilakukan agar bisa bertahan. Dari yang sebelumnya mengadopsi sistem B2C alias Business to Consumers, menawarkan jasa, barang atau layanan ke konsumen menjadi B2B atau Business to Business yang lebih sustain.

“Dua model startup yang paling gampang adalah B2C dan B2B. Kalo B2C emang 'berdarah-darah', yang penting laku, omzetnya tinggi padahal belum tentu profit,” kata Tesar.

“Tapi kalau mau startup yang agak sustain, mereka mainnya di B2B karena mereka nggak perlu bakar duit. Ketika kita (LiteBIG) main B2C kita merasakan itu, akhirnya kita pivot sekarang ke B2B. Business to business ke corporate, ke UMKM, ke instansi-instansi yang memang butuh jasa mereka. Masalahnya, nggak semua startup bisa B2B,” ujarnya.

Tesar menambahkan, inilah alasan kenapa para founder harus menentukan model bisnis terlebih dahulu ketimbang merancang strategi promosi atau marketing besar-besaran. Saat harus realistis beralih ke B2B, Tesar nggak menampik dia mendapat beberapa komentar bernada kekecewaan karena startup-nya menjadi lebih segmented dengan pasar yang kecil. Namun, keberlangsungan usaha demi lepas dari ketergantungan investor jadi prioritas Tesar.

“Lebih baik model bisnisnya dipastikan lebih terukur, masalah teknologi nanti agak menyusul lah. Jangan dipaksakan keren dulu, canggih dulu, akibatnya bakar duitnya banyak di resource dan macam-macam padahal belum proven dari segi base model. Jangan-jangan kita udah buat, lepas di pasar, ternyata nggak dipakai atau kalah saing dengan yang lebih canggih lagi. Itu problemnya kalo kita pakai B2C karena kompetitor kita jauh lebih agresif lagi. Tapi kalo B2B kita mengikuti klien, ini langsung cuan di depan. Memang segmented, impact-nya nggak terlalu besar dan cuannya sedikit, tapi profit,” pungkas Tesar.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait