URstyle

Dari Berbagi hingga Tradisi, Ini Filosofi di Balik Kirim-Mengirim Makanan

Ika Virginaputri, Rabu, 18 Agustus 2021 02.24 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Dari Berbagi hingga Tradisi, Ini Filosofi di Balik Kirim-Mengirim Makanan
Image: Tradisi Ater-ater di Madura, Jawa Timur (Foto: Antara/Saiful Bahri)

Jakarta - Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, bisnis makanan memang nggak bakal ada matinya, guys. Namun, tak hanya sebagai pemenuhan kebutuhan fisiologis semata, makanan telah menjadi bagian dari budaya, bahkan jadi ciri khas suatu daerah. Karenanya, nggak heran kalau wisata kuliner menjadi bagian penting dalam agenda travelling. Saat liburan ke luar kota, pastinya kamu nggak mau ketinggalan icip-icip kuliner khas kota itu, kan?

Nah selain jenisnya, kebiasaan yang berkaitan dengan kuliner juga menjadi sebuah tradisi, guys. Yang paling banyak kita temukan adalah tradisi saling antar atau saling kirim makanan. Hampir seluruh daerah di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, punya tradisi ini. Perbedaannya cuma di menu dan sebutannya aja. Tapi, semuanya mengandung filosofi yang mendalam, loh.

Wujud Berbagi dan Peduli

Salah satu karakter masyarakat Indonesia yang menonjol adalah gotong royong. Nah, wujud tindakan saling membantu dan bahu membahu ini, juga muncul dalam bentuk saling mengirim makanan, guys. Kalau kamu masih ingat, di awal pandemi tahun 2020 lalu, sempat viral aksi pesan makanan yang dilakukan netizen untuk berbagi membantu para pengemudi ojek online terdampak pandemi.

Selain itu, kebiasaan ini juga biasa dilakukan pada momen-momen khusus seperti hari raya atau saat menggelar hajatan. Kebiasaan kirim-mengirim makanan yang lebih kekinian di tengah masyarakat urban, terwujud dalam tradisi mengirimkan hampers atau parcel.

Beda Tempat, Beda Istilah

Traveling chef, Wira Hardiyansyah, turut membagikan pengalamannya seputar kebiasaan mengirimkan makanan di tengah masyarakat Indonesia. Sepanjang kariernya di dunia kuliner, Chef Wira melihat tradisi ini lekat pada masyarakat dari berbagai daerah.

"Orang Sunda ada istilah merantang. Dalam rantangnya kadang ada rokok, kopi saset, gula, atau sembako," kata Chef Wira kepada Urbanasia.

Cowok berusia 35 tahun yang telah berkeliling Indonesia sejak 2015 ini, juga menuturkan bahwa tradisi semacam ini udah berlangsung sangat lama dan menjadi bagian dari budaya Indonesia.

"Kayak udah jadi kewajiban gitu, kalo punya agak lebih kita harus berbagi. Intinya berbagi. Dari dulu budaya Indonesia adalah budaya guyub, budaya toleransi,” ujarnya.

1629230520-Wira-Hardiyansyah.jpgSumber: Chef Wira Hardiyansyah (kanan, berkaos merah) saat mengunjungi keraton Yogyakarta (Foto: Dok pribadi)

Tradisi ini juga secara turun temurun dilakukan di lingkungan keluarganya.

“Waktu kakek saya meninggal tahun 2005, kami sekeluarga berbagi bahan mentah ke sekeliling rumah. Makanan hanya disajikan di rumah saat pengajian," Wira mengisahkan.

Tak hanya sebagai bentuk perhatian pada orang-orang terdekat, tradisi ini ternyata juga bertujuan untuk saling mengenalkan makanan khas daerah atau etnis tertentu, loh. Contoh yang diungkapkan pria asli Blitar, Jawa Timur, ini adalah kebiasaan masyarakat Betawi yang saat lebaran akan mengirimkan ketupat dan opor ke masyarakat Tionghoa.

"Nantinya pas imlek, gantian. Orang Tionghoa kirim dodol cina, kue bulan, atau manisan kolang-kaling," ujar Wira.

Menurut Chef Wira, berbagi dalam kebersamaan ini melambangkan kesetaraan tanpa kelas, yang sudah dilakukan para leluhur bangsa kita. Sejak zaman dulu, liwetan dan bancakan yang merupakan acara makan bersama beralaskan daun pisang, bahkan diikuti oleh raja-raja.

"Dulu, beberapa raja di Pulau Jawa masih melakukan hal itu. Contohnya Kerajaan Medang dan Kerajaan Demak. Ibaratnya, raja, ulama dan rakyat semuanya sama, semua menyatu. Nggak ada kasta, nggak ada strata," papar Chef Wira.

Filosofi dan Nilai Spiritual

Chef Wira juga mengisahkan bahwa tiap daerah memang punya pakemnya sendiri. Budaya kuliner di Indonesia diibaratkan Chef Wira seperti gunung es. Bagian bawahnya banyak unsur pendukung seperti bahan-bahan mentah, tradisi, hingga spiritualisme.

Selain didasari oleh semangat berbagi dan kebersamaan, tradisi kuliner di Indonesia juga memiliki kaitan erat dengan keagamaan. Chef Wira mencontohkan di Nusa Tenggara Barat, ada acara Perang Topat untuk memperingati perdamaian umat Hindu di Bali dan umat Muslim di Lombok. Di acara adat ini, umat Hindu dan umat Muslim saling lempar ketupat di Komplek Pura Lingsar, Lombok Barat, yang di dalamnya terdapat rumah ibadah untuk dua agama tersebut. Acara ini dilakukan sebagai simbol perdamaian dan toleransi.

Bentuk toleransi ini terasa lebih kental di daerah. Tergambar dari cerita lain Chef Wira tentang filosofi silih asah, silih asih, silih asuh, silih wangi yang berkembang di area Jawa, jauh sebelum berkembangnya agama Hindu-Budha di Indonesia. Kepercayaan asli nusantara para leluhur itu, memberi pemahaman bahwa sebagai manusia kita harus saling menjaga, saling mengasihi, dan saling berbagi.

Hidup dalam keberagaman, filosofi itu terus dijalankan turun-temurun di Indonesia. Misalnya saat perayaan Aluk Todolo di Toraja, di mana terdapat hidangan daging babi dalam setiap acara yang digelar. Umat Muslim di sana akan tetap datang dan ikut merayakan. Sang tuan rumah pun menghargai ajaran Islam yang mengharamkan daging babi. Jadi, mereka nggak tersinggung saat tamu muslimnya nggak ikutan makan.

"Dalam perayaan Aluk Todolo itu harus ada daging babi. Tapi terserah kitanya, kita mau makan apa nggak. Tapi niat mereka berbagi makanan itu baik," Chef Wira mengisahkan.

Sama halnya dengan di Lombok dan Toraja, kerukunan antar umat beragama juga terlihat di Bali lewat tradisi saling kirim makanan yang disebut Ngejot. Menurut Chef Wira, tidak seperti di Toraja, makanan yang dikirim lewat tradisi Ngejot itu lebih umum dan bisa dinikmati semua umat beragama.

Buat Chef Wira, budaya kuliner adalah salah satu hal yang membuatnya bangga jadi orang Indonesia. Saking kayanya negara kita akan jenis-jenis makanan, sangat sulit untuk mengumpulkan dokumentasinya. Namun, presiden pertama kita pernah membukukan resep masakan asli Indonesia, loh.

"Soekarno itu pernah bikin rekor dengan buku masak tertebal yang berjudul 'Mustika Rasa'. Isinya resep masakan, dan itu baru 20-25 persennya makanan Indonesia," cerita Chef Wira tentang buku setebal lebih dari seribu halaman itu.

"Jadi kalau nasi goreng atau rendang bisa masuk daftar 40 makanan terbaik dunia versi CNN, sebenernya itu hanya satu persennya," tambahnya.

Chef Wira juga mengaku sepakat dengan pandangan presiden pertama kita, Ir. Soekarno, yang berpendapat bahwa hidup-matinya suatu bangsa, tergantung dari pangan.

"Jadi kalo kita nggak kenal pangan kita, kita nggak kenal budaya kita, nggak kenal makanan kita, bangsa ini runtuh," ujar Chef Wira.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait