URedu

Tarik Ulur Kerja Hybrid: Boleh Fleksibel, Asal Profesional

Ika Virginaputri, Senin, 14 Februari 2022 16.37 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Tarik Ulur Kerja Hybrid: Boleh Fleksibel, Asal Profesional
Image: Stress kerja (ilustrasi: HR Magazine)

Memasuki tahun 2022, menandai dua tahun berlangsungnya pandemi COVID-19. Dengan program vaksinasi yang meluas, akhirnya situasi jadi sedikit melonggar. Sebagian perusahaan pun menerapkan sistem kerja hybrid, yaitu kombinasi antara Work from Home (WFH) dan Work from Office (WFO) yang dinilai sebagai solusi ideal untuk menjembatani dua pihak. Pekerja yang menuntut fleksibilitas, dan perusahaan yang menjalankan bisnis. Namun, menjalani kerja hybrid ternyata nggak seindah harapan, Guys.

Tentangan dari Pekerja

Bulan Juni 2021, raksasa teknologi Apple di Amerika Serikat mengumumkan pekerjanya akan kembali ke kantor setelah setahun masa WFH. Lewat memo internal yang dikirimkan Tim Cook sebagai CEO, karyawan Apple akan menjalani sistem kerja hybrid yang mengharuskan mereka datang ke kantor pada hari Senin, Selasa dan Kamis mulai September 2021.

Ada dua hari dalam seminggu di mana karyawan bisa bekerja remote. Di luar itu, ada tambahan dua minggu lagi jatah kerja remote yang bisa diambil dalam setahun. Keputusan Apple ini pun langsung mendapat respons negatif dari pegawai. Mereka berpendapat sistem kerja itu tergolong konservatif dibandingkan perusahaan teknologi lain yang secara permanen sudah membebaskan pekerjanya remote working. Antara lain Amazon, Shopify, Twitter dan Meta (nama baru Facebook).

Melansir The Verge, pekerja Apple yang menentang pemberlakuan sistem hybrid ini akhirnya bikin grup yang anggotanya berjumlah 2.800 orang. Mereka kirim surat ke manajemen yang intinya menuntut kebijakan kerja yang lebih fleksibel. Namun, manajemen tetap konsisten ingin menerapkan kerja hybrid. Gara-gara pertentangan ini, jadwal hybrid Apple terus diundur dari September, Oktober, Januari, sampai akhirnya mereka resmi balik ke kantor 1 Februari 2022. Sebagai 'iming-iming', jatah kerja remote ditambah jadi 4 minggu per tahun dan bonus US$ 1.000 yang katanya bisa dipakai untuk keperluan WFH.

Konflik kerja hybrid nggak hanya terjadi di Apple, Guys. Awal Mei 2021, pekerja majalah dan situs Washingtonian mogok kerja sehari setelah CEO Catherine Merrill menulis opini yang mengritik pilihan kerja remote dan keengganan karyawan kembali ke kantor. Catherine akhirnya minta maaf atas opininya yang dimuat di situs Washington Post itu.

Agustus 2021, kantor berita Reuters memberitakan bahwa Google bakal memotong gaji sebesar 25% untuk pegawai yang memilih WFH total. Keputusan ini jelas bikin marah pegawai. Salah satu software engineer Google, Laura de Vesine, bahkan sudah mengundurkan diri setelah Google mengumumkan kebijakan baru bulan Mei 2021 yang isinya akan ada penerapan kerja hybrid, pemindahan kantor dan penyesuaian gaji bagi beberapa karyawan. Sementara sebagian karyawan Google lebih rela gajinya dipotong daripada harus datang ke kantor.

Bukan cuma karyawan Google aja loh, Guys. Menurut penelitian Goodhire, 61% warga Amerika Serikat ikhlas gajinya dipotong asalkan mereka tetap bisa remote working. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh 4 dari 10 pekerja di London.

Situasi ini sebenernya nggak jauh beda sih Guys, dengan pekerja Indonesia. Bisa dilihat dari survei Global Talent Trend yang dilakukan JobStreet, BCG, dan The Network pada November-Desember 2020. Dari 33.000 pekerja Indonesia yang jadi responden, cuma 9 persen aja tuh yang lebih memilih WFO total. Namun bedanya dengan pekerja di luar negeri, pekerja Indonesia masih mau kompromi dengan sistem kerja hybrid.

Kurang Motivasi

Cerita seputar permasalahan sistem kerja yang tidak konsisten juga dialami oleh Cynthia Amanda Male. Karyawan media online di Jakarta ini betul-betul kewalahan beradaptasi dengan sistem kerja selama pandemi. Merasa kurang nyaman bekerja remote atau dari rumah, Cynthia justru merasa jauh dari kantor membuatnya kehilangan motivasi dan ‘sense of belonging’. Belum lagi menghadapi beragam distraksi seperti tugas harian di rumah yang juga jadi tanggung jawabnya.

Kepada Urbanasia, perempuan 26 tahun ini mengaku sebenarnya dia menikmati saat harus kerja dari rumah di awal-awal pandemi. Namun lama-lama dia mengalami kesulitan untuk fokus hingga kinerjanya drop dan dia mengalami gangguan mental yang juga berdampak ke kesehatan fisik.

"Mungkin orang beda-beda kali ya struggle-nya," curhat Cynthia kepada Urbanasia. "Tahun pertama awal-awal pandemi tuh sebenarnya enak banget, menikmati banget yang namanya WFH. Aku malah bersyukur bisa kerja di rumah. Cuma along the way kayaknya emang sense of belonging sama kantornya tuh hilang. Jadi nggak merasa punya tim, nggak merasa terikat, terus di Whatsapp juga kayaknya ada border gitu," tambah Cynthia yang sudah 4 tahun bekerja di kantornya sekarang.

1644831052-CynthiaAmanda.jpegSumber: Cynthia Amanda Male (26), mengaku kerja hybrid membuatnya kelelahan secara fisik dan mental (Foto: dok pribadi)

Jika hybrid kebanyakan orang adalah berpindah-pindah antara rumah dan kantor, maka Cynthia mengatasi masalahnya dengan kerja hybrid antara rumah dan coworking space yang dianggapnya seperti pengganti kantor. Hanya saja cara ini menimbulkan masalah lain, yaitu keuangan yang cepat menipis. Membayar biaya coworking space yang rutin dikunjunginya tentu jadi pengeluaran ekstra.

Mengendalikan Stres

Masalah sistem kerja yang mengganggu rutinitasnya ini dirasakannya sejak awal tahun 2021. Tidak saja merampas fokus dan motivasi kerjanya, Cynthia kemudian juga sering overthinking soal tugas kantor yang berujung gangguan kecemasan yang membuatnya sakit secara fisik. Semua perasaan itu membuat Cynthia kesulitan memenuhi target kerja yang sebelumnya mampu ia capai tanpa kendala. Selain itu Cynthia juga mengalami sakit punggung meski sudah menerapkan seating position yang benar saat berhadapan dengan laptop. Setelah konsultasi dengan seorang teman yang berprofesi sebagai dokter, Cynthia dianjurkan untuk mengendalikan stres yang akhirnya membuat dia melakukan segala jenis upaya. Mulai dari gonta-ganti hobi hingga mencari support system dengan curhat ke teman-teman terdekat yang menolongnya dengan berbagi banyak tips anti stres.

"Aku sempat ngerasa badan pegal ya misalnya seharian di depan laptop," ujar Cynthia. "Cuma pas aku konsul ke temanku yang emang dokter juga, dia bilangnya cuma 'Pasti stres deh. Coba deh dikurangin, dikontrol stres-nya'. Soalnya nggak semua sakit punggung itu disebabkan oleh seating position yang salah. Apalagi kalau memang duduk di kursi yang bener gitu. Banyak kombinasinya juga pas aku stres. Aku coba untuk menulis jurnal, aku juga coba tidurnya diteraturin. Dan waktu keteteran itu, sempet ngerasa anxious sampai kayak mau muntah gitu," Cynthia bercerita. 

Khawatir dengan kemunduran yang terjadi, Cynthia akhirnya meminta bantuan profesional untuk menghadapi stresnya dengan menyambangi psikolog. Dia mengkomunikasikan masalahnya juga dengan pihak perusahaan. Dia bersyukur manajemen kantor sangat terbuka dengan merangkulnya, memberi konsultasi dan motivasi, hingga memberi kebebasan memilih tempat bekerja yang paling mendukung produktivitasnya. Sayangnya, saat Cynthia baru mencoba kerja hybrid antara rumah dan kantor, ledakan kasus Omicron terjadi dan dia pun harus kembali WFH. Namun kali ini, pihak perusahaan setuju melakukan pemantauan untuk menjaga kinerjanya. Menurut Cynthia, itu adalah solusi paling ideal yang cocok dijalaninya.

"Aku sempat ngeliat temanku di salah satu media juga kerja WFH," Cynthia bilang. "Tapi mereka tuh kayak terkonek di Google Meet atau Zoom gitu untuk mereka check-in dan check-out kalau emang udah selesai kerja. Nah aku rasa itu bisa menjaga bonding dan menjaga fokus. Maksudnya walau itu virtual, kita nggak mungkin dong kayak main asal tinggal terus pergi dari depan laptop. Walaupun secara virtual, tapi tetap konek itu bisa jadi salah satu solusinya sih menurut aku," Cynthia memaparkan.

Kisah Cynthia di atas hanyalah sekelumit cerita yang pasti juga dialami banyak pekerja lain. Memang, beradaptasi dengan normal baru dalam dunia kerja ini, nggak sedikit tantangannya. Buat kamu yang struggle dengan perubahan besar sistem kerja dan mulai terganggu kesehatan mentalmu, jangan ragu untuk minta bantuan profesional atau berkonsultasi dengan manajemen, ya? Mengkomunikasikan masalah dengan pihak lain bukan saja bisa meringankan beban pikiran, tapi juga bisa membantu kita mencari jalan keluar yang pas dengan situasi dan kondisi yang kita hadapi.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait