Metaverse Datang, Siap-siap Manfaatkan Peluang

Sejak adanya internet, kebutuhan pokok manusia nggak lagi hanya sekadar sandang, pangan, papan. Urbanreaders pasti pernah mengalami momen-momen tanpa gadget, charger, dan sinyal wifi stabil itu mengganggu rutinitas.
Ke depannya, masyarakat modern akan semakin tergantung dengan teknologi. Apalagi nanti akan ada metaverse, sebuah semesta virtual baru tempat manusia bisa melakukan aktivitas apa saja tanpa batas. Metaverse diyakini akan menciptakan banyak peluang. Apa saja yang kita butuhkan untuk mempersiapkan diri menghadapi inovasi ini?
Internet Web 3.0
Metaverse benar-benar jadi isu terhangat jelang akhir 2021. Rencana pembangunan semesta virtual yang digaungkan oleh bos Meta, Mark Zuckerberg, langsung membuat perusahaan-perusahaan teknologi berlomba-lomba bikin metaverse-nya sendiri. Nggak mau ketinggalan, hal itu membuat Presiden Jokowi sigap memerintahkan jajaran menterinya untuk bersiap-siap menyambut metaverse. Soalnya, Mark bilang metaverse akan jadi mainstream dalam lima tahun ke depan. Urusan siap-siap tentu harus dilakukan dari jauh hari. Apalagi saat ini pun sudah ada bentuk awal teknologi metaverse. Untuk game online misalnya, ada Epic Game, dan Roblox. Untuk pembelian lahan dan properti virtual, ada Decentraland dan The Sandbox. Brand ternama kayak Nike dan Gucci juga sudah buka toko di metaverse. Jadi, bukan nggak mungkin ya guys, dunia akan 'mengadopsi' metaverse lebih cepat daripada yang diprediksi penggagasnya.
Menurut Andry Alamsyah, Associate Professor School of Economic and Business, Telkom University sekaligus Chief of Social Computing and Big Data Laboratory, percepatan ini bisa terjadi karena dua faktor. Selain teknologinya memang sudah ada, anak-anak muda yang jadi target konsumen pun memang punya kebutuhan untuk eksis di metaverse.
"Teknologinya sudah ada. Tapi adopsi kan bukan hanya soal teknologi, tapi soal masyarakat juga," kata Andry kepada Urbanasia. "Acceptance publik, terutama kita ngomongin anak muda. Mereka punya kebutuhan untuk bersosialisasi. Dan media yang ada sekarang tuh limited. Media sosial itu apa aja sih? Kan itu-itu aja ya? Masa kita mau setahun, dua tahun, tiga tahun lagi ketemu itu-itu aja sih?" imbuh Andry lagi.
Andry Alamsyah, Associate Professor School of Economic and Business, Telkom University sekaligus Chief of Social Computing and Big Data Laboratory (Foto: Dok pribadi)
Andry menambahkan, para anak muda sekarang mulai bosan dengan yang ada di internet. Lantas mereka pun beralih ke metaverse yang punya dasar teknologi web 3.0. Kalau kamu ingat, web 1.0 dulu hanya memungkinkan kita membaca di internet. Kemudian web 2.0 adalah yang kita alami saat ini, misalnya membaca, menulis dan menonton di media sosial atau menulis review barang di marketplace. Nah, sebagai perkembangan lebih lanjut dari internet, web 3.0 memungkinkan pengguna berinteraksi lebih jauh dari sekadar saling balas pesan dan bertatap muka lewat video call. Dengan teknologi generasi ketiga internet ini, kita bisa punya avatar yang mewakili hidup kita di metaverse, jalan-jalan berwisata virtual, atau bertukar aset digital dengan avatar lain.
Jual-beli aset atau transaksi digital apa pun di metaverse akan terasa lebih praktis karena di sana hanya menggunakan cryptocurrencies. Interaksi bersifat langsung antara penjual dan pembeli tanpa butuh rekening bank untuk transfer uang. Transaksi seperti ini bisa terjadi karena menggunakan sistem decentralized finance (DeFi), alias sistem keuangan tak terpusat yang berbasis blockchain. Ini merupakan alternatif dari centralized finance (CeFi) yang mengatur keuangan di dunia nyata, di mana kita butuh bank sebagai pihak ketiga.
Walau tidak terpusat seperti bank, namun DeFi bisa diandalkan karena dirancang lebih praktis, lebih aman, dan lebih transparan. Karena itulah Andry percaya, metaverse akan jadi semacam negara di mana hukum, peraturan, kebijakan dan regulasinya diatur secara otomatis oleh algoritma.
"Di dunia nyata kita harus lapor polisi kalau orang nyerobot tanah kita. Ada hukumnya ada regulasinya," ujar Andry menjelaskan. "Kalau di sana (metaverse), regulasi itu self-sustaining. Kalau di blockchain itu self-sustain, jadi artinya apa? Teknologinya sudah ada tapi konvergensinya on the way.
Kalau di dunia nyata ada orang nggak etis, harus lapor polisi dulu kan? Jadi repotnya di dunia nyata itu banyak sekali flaw-nya. Sementara di metaverse, fungsi-fungsi pemerintahan, fungsi-fungsi hukum, fungsi-fungsi transaksi, itu sudah embed (ditanamkan) ke algoritma," tambah pemegang gelar master multimedia dari Université de Picardie Jules Verne di Prancis ini.
Wah, bakal seru banget nih kalau kita ikutan aktif di metaverse. Kebayang kan, 'mendandani' avatar kita dengan tampilan keren? Atau main ke toko virtual brand-brand mewah? Tapi kalau Urbanreaders mau join, selain koneksi internet yang stabil, pastikan kamu juga punya kripto ya, guys.
Revolusi Sosial dan Ekonomi
Berdasarkan penjelasan Andry di atas, nggak berlebihan jika kita tarik kesimpulan bahwa metaverse akan jadi revolusi sosial dan ekonomi. Karena selain bisa bersosialisasi dengan orang di belahan bumi bagian lain, metaverse juga akan dipenuhi kegiatan ekonomi seperti jual-beli atau investasi.
"Jadi bisa kita bayangkan sebenarnya metaverse itu bukan hanya tampilan saja, tapi engine di belakangnya yang disebut web versi 3 yang sangat luar biasa. Mendemokrasikan banyak proses ya, termasuk proses keuangan, proses kepemilikan, proses ijazah, dan lain sebagainya," papar Andry.
Tapi tentu saja metaverse lebih dari pada itu. Dan syarat joinnya nggak cukup hanya dengan kripto aja loh, guys. Diperkenalkan sebagai internet dalam bentuk tiga dimensi, memang butuh device tambahan untuk membuat pengalaman di metaverse terasa lebih nyata. Misalnya kacamata Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR), serta sarung tangan haptic yang menurut Zuckerberg sekarang sedang dikembangkan oleh Meta Reality Lab. Sarung tangan itu bakal bikin kita merasakan sensasi sentuhan yang realistis di metaverse. Nah, mahalnya perangkat tersebut memunculkan pesimisme di kalangan pegiat teknologi yang beranggapan metaverse nantinya hanya bisa diakses oleh golongan mampu atau orang-orang kaya saja. Menanggapi pemikiran ini, Andry mengajak kita untuk lebih berpikir positif dan lebih fokus pada peluang yang tersedia di metaverse.
Sarung tangan haptic yang sedang dikembangkan Meta Reality Lab (Foto: Meta)
"Mengenai implementasi metaverse pada industri kita harus lihat evolusi selanjutnya dari internet yang ada sekarang. Kalau orang melihat metaverse hanya pada industri game, berarti memang peluang diadopsi di industri lain akan kecil. Tapi evolusi teknologi itu kan nggak seperti itu. Teknologi itu berjalan pelan-pelan sampai akhirnya nanti menjadi suatu yang normal. Contoh harga hardware komputer game sekarang 100 juta itu, nanti mungkin 2-3 tahun lagi itu bisa 50 juta, terus nanti jadi 10 juta. Intinya teknologi itu akan semakin murah kalau sudah matang," papar Andry. "Kita harus lihat bahwa yang ditawarkan metaverse ini, di mana demokratisasi terjadi. Itu mau nggak mau akan terjadi. Kalau kita menolak, ya negara lain akan duluan. Nah, terus gimana dong adopsinya? Ya kita adopsi yang di backend nya tadi dulu (web3 + blockchain), masalah tampilan (UX) nanti nyusul setelah teknologinya murah, setelah internetnya cepat. Kan kita sekarang konvergensi menuju ke sana semua," Andry menuturkan lebih lanjut.
Ngomong-ngomong soal kepentingan buat Indonesia, Andry menjelaskan bahwa metaverse ini membuka peluang besar agar netizen negara kita nggak hanya jadi konsumen budaya luar. Andry berharap anak-anak muda Indonesia bisa lebih optimal menunjukkan potensinya di metaverse karena mereka tahu bagaimana mengeksploitasi diri sendiri demi menciptakan nilai ekonomi untuk diri mereka sendiri.
"Dengan metaverse, setiap orang akan jadi Superman," ungkap Andry sambil tertawa. "Superman artinya apa? Dia melakukan hal yang lebih potensial dibandingkan kalau dia lakukan di dunia nyata. Misalkan untuk mencari pekerjaan. Dulu kan kita kirim lamaran, diwawancara, sekarang mungkin kita nggak perlu wawancara. Lihat aja track-nya anak ini seperti apa. Jadi prosesnya akan jauh lebih efisien," ucapnya.
Andry juga menjelaskan bahwa ke depannya, bentuk invasi sebuah negara adalah lewat penjajahan budaya melalui media digital. Ia pun mencontohkan ganasnya budaya Korea Selatan yang berhasil 'menjajah' negara lain dengan budayanya.
Selain itu, Andry menjelaskan bahwa setiap transaksi di metaverse bersifat langsung antarindividu. Inilah yang membuat metaverse potensial sebagai pasar tempat kita mengembangkan diri. Andry juga menggambarkan betapa besarnya peluang yang akan dimiliki setiap orang untuk mengembangkan bisnisnya. Ia mencontohkan artis, pengajar, public figure, ataupun penulis, bisa meng-create market sendiri melalui dunianya di metaverse. Dosen yang punya suatu ilmu bisa buka kelas di metaverse dan yang berminat bisa daftar dan langsung bayar ke si dosen. Seniman, penulis, atau musisi bisa jualan karyanya tanpa butuh perantara seperti agen, penerbit atau recording label. Mau bikin pesta virtual dan undang avatar teman-teman? Bisa kamu rancang sendiri tanpa jasa event organizer.
Karena sifat individual ini, Andry mengungkapkan setiap identitas avatar di metaverse wajib terverifikasi lewat dompet digital mereka. Dengan syarat ini, netizen dipastikan nggak akan lagi bisa bersembunyi di balik akun anonim. Selain pemahaman tentang konsep metaverse secara umum, literasi seperti ini menurut Andry sangat penting untuk bahan edukasi dalam menyiapkan netizen menyambut era metaverse.
"Literasi itu mereka (netizen) harus tahu bahwa sekarang mereka nggak bisa lagi bersembunyi di balik akun anonim," tegas Andry. "Mereka juga harus tahu bahwa etika di sosial media itu justru lebih kejam daripada etika di dunia nyata. Kalau di dunia nyata kita ngejek orang nggak terekam nggak ada buktinya. Tapi, di dunia digital justru lebih mudah di-trace," lanjut pria yang sudah 11 tahun mengajar di Telkom University ini.
Andry pun optimistis anak muda Indonesia yang punya kesadaran diri lebih tinggi dibanding generasi pendahulunya bisa lebih maju dengan metaverse. Nantinya, mereka bisa jadi produsen konten-konten menarik atau menjalankan bisnis baru. Di sisi lain, Andry juga mengingatkan bahwa sebagai yang lebih tua, generasi di atas anak-anak muda ini harus tetap rutin mengawasi agar kemajuan teknologi ini bisa benar-benar dimanfaatkan demi meningkatkan kualitas diri.