URtech

Terang-Kelam Dunia Teknologi di Masa Depan

Firman Kurniawan S, Senin, 18 Juli 2022 12.41 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Terang-Kelam Dunia Teknologi di Masa Depan
Image: Teknologi digital (ilustrasi: Freepik/RawPixel)

Jakarta - Terang atau kelamkah masa depan dunia yang makin intensif memanfaatkan teknologi? Dua serial dokumenter yang sedang tayang di Netflix, dapat menjawab pertanyaan itu : terang sekaligus kelam. Jawaban masa depan yang terang dan lebih baik, dapat ditonton dari Serial The Future of.

Terdapat 12 episode pada serial dokumenter ini. Seluruhnya berbicara tentang hal akrab, sebagai rutinitas sehari-hari. Beberapa judul, di antaranya: The Future of Life After Death, Sport, Fashion, Skyscrapers, Health, Headphones, Gaming hingga Dogs. Narasi pada film ini membangkitkan optimisme, lewat teknologi yang makin berkembang, masa depan akan lebih baik, sempurna dan tepat guna. Bahkan optimis mencapai hal-hal yang masih dalam angan.

Kisah Life After Death misalnya, menggambarkan nasib manusia setelah kematiannya. Tubuh yang telah tak bernyawa, diselesaikan kisahnya lewat penguburan. Ini merupakan budaya yang cukup universal. Namun dengan berlipatnya jumlah manusia, budaya penguburan jadi persoalan. Lahan khusus penguburan, makin menciut. Keharusan melakukan penguburan, dipandang tak efisien, tak produktif, dan bersaing dengan yang hidup.

Lahan-lahan yang tersedia diprioritaskan untuk kebutuhan tempat tinggal, taman, maupun tempat kerja bagi yang masih hidup. Mengatasi keperluan adanya lahan penguburan, pilihan jatuh pada kremasi. Memang kremasi bukan jalan keluar baru, namun ini jadi pilihan yang makin luas diterima. Lewat kremasi, abu yang diperoleh masih dapat disimpan sebagai artefak yang mampu menghubungkan antara yang wafat dengan kerabat yang hidup. Ini berfungsi serupa pekuburan.

Dalam perkembangan berikutnya, teknologi masa depan mampu mengekstrak kandungan tubuh manusia wafat. Ia diubah jadi unsur hara yang menumbuhkan tanaman. Alih-alih menguburkan jasad, evolusi teknologi menggeser makna mengubur jadi memanfaatkan hasil ekstraksi untuk menanam pohon dan menumbuhkan hutan-hutan. Pohon yang berhasil tumbuh, diberi tanda sesuai nama yang wafat. Lahan pekuburan yang dulunya sunyi, kini tumbuh jadi hutan-hutan di kawasan tempat hidup manusia. 

Dukungan teknologi berlanjut. Pohon-pohon bukan sekedar tegakan biologis, produsen oksigen dan keteduhan. Pohon-pohon ini dilengkapi perangkat artificial intelligence. AI difungsikan “menghidupkan” kembali orang wafat. Hidup kembali berarti sepenuhnya, Sang Wafat dapat berinteraksi dengan kerabat yang hidup. Mekanismenya, Sang Wafat yang hidup di era teknologi digital, tentu punya berbagai aset digital. Aset digital itu tertimbun sebagai digital path yang tak pernah terhapus.

Ini bersumber dari interaksi Sang Wafat dengan berbagai perangkat digital : aplikasi percakapan Whatsapps, Facebook, Twitter, Instagram, Youtube maupun perangkat komunikasi lainnya. Interaksi itu memproduksi dan mendistribusi data teks, audio, visual maupun audio visual. Dengan mengunduh digital path dan memanfaatkan algoritma, agency pengolah data menghidupkan kembali Sang Wafat. Kekayaan digital diolah dengan memanfaatkan AI, mampu menyusun reaksi artificial Sang Wafat, berinteraksi dengan kerabat yang hidup. Pada film juga disebutkan adanya penggunaan deepfake. Ini berguna mengaudiovisualisasikan Sang Wafat, bertindak otentik sebagaimana saat hidupnya. Entah temuan ini jadi obat bagi kerinduan pada Sang Wafat, atau justru menegasikan kematian sebagai bagian dari hidup itu sendiri.

Uraian menghidupkan Sang Wafat pada The Future of Live After Death, tergambar lebih terang lewat episode Be Right Back, yang merupakan bagian serial Black Mirror. Visualisasinya lebih deskriptif di film ini. 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait