URguide

Toxic Parents, Antara Cinta dan Luka

Ika Virginaputri, Senin, 20 Desember 2021 23.37 | Waktu baca 7 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Toxic Parents, Antara Cinta dan Luka
Image: ilustrasi orang tua dan anak (Foto: iStock)

Kisah tentang orang tua yang melakukan hal buruk kepada anaknya sering berseliweran di media sosial. Mulai dari anak yang ditelantarkan, disakiti secara fisik, hingga anak yang dimanipulasi demi keuntungan si ortu. Kejadian-kejadian semacam ini pastinya bikin kita nggak habis pikir. Kok bisa orang tua yang harusnya melindungi anak, malah tega menyakiti dan bertindak di luar nalar sehat?

Menjadi orang tua memang nggak ada sekolahnya. Karenanya, nggak sedikit orangtua yang bertindak menurut pemahamannya sendiri, meski tak selalu sesuai dengan kepribadian anaknya. Akibatnya, mereka malah jadi orang tua toxic.

Pola Asuh Warisan

Menurut psikolog klinis Alfath Hanifah Megawati atau yang biasa disapa Ega, orang tua yang membesarkan anak dengan kekerasan, biasanya karena memang kurang teredukasi. Mereka nggak punya contoh yang bisa ditiru karena memang begitulah dulu mereka dibesarkan orang tua mereka.

"Jadi kebanyakan orang tua berperilaku kurang tepat atau tidak sehat ke anak itu karena tidak teredukasi bahwa itu adalah hal yang tidak baik dilakukan," Ega menjelaskan kepada Urbanasia.

"Yang kedua adalah tidak punya contoh. Jadi mungkin orang tua ini dibesarkan oleh orangtua yang juga melakukan perilaku tidak sehat kepada dirinya. Dia menganggap itu adalah satu-satunya contoh yang dia terima dan berulang. Akhirnya dia imitasi juga dan dia ulang ke anaknya," lanjut ibu dua anak ini.

Dengan kata lain, pola asuh negatif bisa 'diwariskan' ke generasi selanjutnya. Kemudian Ega menambahkan, masalah pribadi orang tua juga jadi alasan yang seringkali membuat mereka bersikap negatif ke anak. Beratnya beban kehidupan, stres pekerjaan, atau hubungan yang memburuk dengan pasangan, bisa memicu orang tua melampiaskan emosi ke anak. Stres yang nggak di-manage, luka batin yang belum tersembuhkan, serta trauma yang membekas, akhirnya membuat orang tua tanpa sadar menciptakan hubungan nggak sehat dalam keluarga. Makanya Ega juga menuturkan kemungkinan orang tua sudah memiliki masalah mental, bahkan sebelum si anak lahir.

1640017040-Mba-Ega.jpgSumber: Psikolog klinis Alfath Hanifah Megawati (Foto: dok pribadi)

Kekerasan Fisik, Verbal, dan Psikis 

Bicara tentang hal buruk yang dilakukan orangtua, kekerasan yang dilakukan oleh orangtua toxic tak hanya berupa kekerasan fisik, namun juga verbal dan psikis. Ega mencontohkan orang tua yang mengritik berlebihan, hobi menyalahkan anak, atau membanding-bandingkan dengan anak lain.

"Jadi, orang tua kerap memberikan feedback negatif. Hal kecil sampai hal besar dikritik, tapi lupa memberikan feedback positif dan apa yang benar yang sudah dilakukan anak. Sudah kritiknya berlebihan, tidak ada hal positif yang disampaikan. Jadi anak merekam dirinya selalu negatif, selalu salah. Itu yang menjadi tidak sehat akhirnya," sambung psikolog lulusan Universitas Padjajaran yang mengambil S2-nya di Universitas Indonesia ini.

Nggak hanya itu guys, Ega bilang ucapan toxic orang tua juga bisa berujung pada labeling atau pemberian cap negatif ke anak. Menghakimi anak sebagai anak malas, anak nakal, anak nggak tahu diri, adalah beberapa contoh yang dilakukan orang tua. Tanpa disadari, orang tua jadi lupa untuk menghargai si anak. Hal tersebut tentu bikin anak malu dan terus merasa bersalah karena menganggap dirinya gagal membuat orang tua bangga.

Yang juga banyak terjadi adalah terlalu memanjakan anak. Dengan dalih 'memberikan yang terbaik untuk anak', orang tua merasa perlu mewujudkan kasih sayang mereka dengan menuruti semua keinginan anak. Nggak tega melihat anak kesulitan, lantas mengambil tanggung jawab anak, alih-alih membiarkan mereka belajar mandiri. Ega menyebut tindakan orang tua yang seperti ini adalah pampering.

"Pamper ini biasanya very accommodative gitu, jadi sangat memenuhi apa yang anak mau," ujar Ega. "Bahkan anak belum butuh juga udah di-iyain gitu. Seakan-akan dia tidak nyaman ketika anaknya mengalami kesulitan dan ingin sesegera mungkin menyelesaikan hal yang jadi tanggung jawab anak. Akhirnya anak terbiasa lalai dari tanggung jawabnya, anak juga kurang kepekaan terhadap dirinya apa yang dia butuhkan, apa yang perlu dia evaluasi, apa yang perlu ditingkatkan pada dirinya," imbuh Ega.

Bentuk toxic orang tua nggak hanya dinilai dari bagaimana orangtua berinteraksi pada anak. Namun juga dari apa yang tidak dilakukan orangtua kepada anaknya. Contohnya, mengabaikan anak. Untungnya, Indonesia punya pasal dalam KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak yang menyebut penelantaran anak termasuk dalam tindak pidana. Jadi pelaku pembuang anak, orangtua yang nggak memberikan nafkah dan kebutuhan dasar anak, serta kasus eksploitasi anak, bisa dibawa ke jalur hukum. Tapi ada juga loh guys, bentuk pengabaian anak yang orang tua lakukan secara samar. Contoh yang disebutkan Ega adalah orang tua yang menjaga jarak dengan anaknya seolah mereka hidup masing-masing.

"Alasannya bisa macem-macem, bisa karena 'ah biar anak mandiri', 'ah biar ngurang-ngurangin stres saya', tapi itu dilakukan hampir sepanjang waktu," Ega memaparkan. “Nah, orang tua yang abai, jarang melakukan physical touch ke anak misalnya membelai, memeluk, memangku, atau melakukan aktivitas fisik bersama. Jadi ibaratnya kayak elu-elu, gue-gue gitu ya," kata Ega lagi.

1640018169-Ian-Nolan-Getty-Images.jpgSumber: Anak yang selalu hidup dengan tekanan, akan menderita stres berkepanjangan yang menganggu kesehatan mental dan otak (ilustrasi: Ian Nolan/Getty Images)

Efek Buruk Jangka Panjang 

Dalam teori matematika, perkalian bilangan negatif dengan negatif hasilnya adalah bilangan positif. Namun bilangan negatif ditambah negatif hasilnya adalah negatif dengan jumlah yang lebih besar. Teori pertambahan bilangan negatif ini berlaku juga dalam hubungan orang tua dan anak, loh. Latar belakang dan pengalaman pahit orangtua yang kemudian membuat mereka menerapkan pola asuh bermasalah, tentu menghasilkan efek buruk jangka panjang untuk hubungan keluarga.

Ibarat main Mobile Legend, ini bisa dibilang double kill. Baik orang tua dan anak sama-sama merasakan imbasnya. Saat kita menerima perlakuan buruk dari orang lain, maka wajar kita hanya ingin jauh-jauh dari orang itu. Jadi, masuk akal juga anak yang tumbuh dengan pola asuh negatif lantas menjaga jarak dengan orang tuanya. Akibatnya baru dirasakan orang tua saat umur bertambah dan mereka nggak lagi kuat secara fisik dan finansial.

"Ketika orang tua sudah mulai renta dan tak berdaya secara fisik dan finansial mungkin, kalau kita memberlakukan relasi tidak sehat sama anak, maka kita akan semakin jauh dari anak. Sehingga ketika kita tua, sudah mulai berkurang keberdayaan secara fisik dan mentalnya, kita jadi kerap merasa kesepian karena anak kita tidak ingin dekat dengan kita," ungkap Ega. 

Sama halnya dengan pola asuh di mana orang tua terlalu memanjakan anak. Orang tua akan selalu jadi sandaran saat anak menghadapi masalah. Akibatnya, orangtua jadi nggak bisa menikmati masa tua dengan tenang. Masa tua yang seharusnya dihabiskan dengan berkumpul bersama anak, mengenang masa-masa indah, dan terbebas dari tanggung jawab berlebihan, justru malah bikin orangtua jadi kewalahan.

"Jadi bisa 2 kutub gitu. Bisa menjadi sangat kesepian karena anak abai, atau sangat kerepotan karena anak tetep bersandar kepada diri kita sebagai orangtua," tambahnya.

Lalu bagaimana pola asuh negatif mempengaruhi tumbuh-kembang anak? Walau tak terlihat dengan jelas, sudah pasti si anak akan membawa masalah psikologis. Anak yang selalu hidup dengan tekanan, akan menderita stres berkepanjangan yang menganggu kesehatan mental dan otak. Besar kemungkinan anak akan menjadi pribadi yang nggak percaya diri, selalu cemas berlebihan, dan punya trust issues dengan lingkungan sekitarnya.

“Pastinya anak tumbuh dengan stres. Stres akhirnya memunculkan masalah psikologis atau fisiologis. Ketika dewasa jadinya punya masalah psikologis, seperti anxiety tinggi, insecure pada diri, tidak percaya pada lingkungannya, masalah relasi dengan teman atau lawan jenis. Atau sekarang yang lagi banyak tuh self-harm atau depresi, bisa saja itu terjadi," Ega menuturkan.

Kemampuan Memaafkan

Jadi orang tua memang bukan tugas main-main. Butuh komitmen seumur hidup dalam menjalankan tanggung jawab terhadap anak. Bukan hanya mencukupi kebutuhan materi, orang tua juga wajib memenuhi hak anak lainnya seperti waktu, kasih sayang, perhatian, dan dukungan. Namun orang tua juga manusia yang nggak sempurna. Orang tua punya kekurangan dan kelemahan. Sebelum bicara jauh tentang hubungan yang tidak sehat antara orangtua dan anak, Ega menyampaikan pendapat bahwa sebenarnya nggak ada yang namanya orangtua toxic. Menurut Ega, yang ada yaitu orangtua yang menerapkan pola asuh toxic. Bukan toxic parents, tapi toxic parenting.

Untuk itu, Ega menyarankan para anak agar memahami latar belakang orang tua dan apa alasan mereka memberlakukan pola asuh negatif. Anak perlu memandang orang tua dari kacamata yang lebih luas. Seandainya komunikasi yang diusahakan nggak membuahkan hasil yang diharapkan, Ega mengingatkan para anak untuk membuat batasan pribadi. Tanamkan dalam diri bahwa apa yang diucapkan dan dilakukan orangtua kepada kita, bukanlah sebenar-benarnya diri kita.

"Memberikan batasan juga kapan kita mungkin agak menjaga jarak, kapan kita mendekat ke orang tua, dan do what we can do aja," saran Ega. "Fokus pada hal-hal yang memang bisa kita improve pada diri kita, bukan tentang mengubah orang tua. Yang paling penting yang bisa kita lakukan adalah maafkan mereka karena mereka adalah manusia. Kita perlu kemampuan memaafkan, kalo tidak kita akan menimbun benci dan dendam yang akhirnya tidak bermanfaat untuk diri kita sendiri," pungkas Ega.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait