Kurangi Pemanasan Global, Dosen Ini Ubah Gas Metana Jadi Bahan Bakar Minyak

Surabaya - Seorang dosen Departemen Kimia Fakultas Sains Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Hamzah Fansuri SSi MSi PhD baru-baru ini menghasilkan sebuah inovasi baru.
Dalam penelitiannya yang berjudul ‘Material untuk Energi dan Lingkungan: Membran Berbasis Oksida Perovskit dan Geopolimer’, Hamzah berhasil menemukan cara mengubah metana menjadi bahan bakar minyak berupa metanol. Gas metana sendiri merupakan komponen utama dari sumber energi fosil yaitu gas alam.
Wakil Dekan Fakultas Sains ITS tersebut menyampaikan, gas metana yang mudah terbakar di udara ini akan menghasilkan gas karbondioksida (CO2), guys.
Nah, gas metana dan karbon dioksida ini mampu memberikan efek rumah kaca dan berujung pada pemanasan global atau global warming.
Baca juga: Dampak Pemanasan Global, Muncul Lima Pulau Baru di Kutub Utara
"Untuk itu, konversi metana menjadi bahan bakar minyak dilakukan sebagai tindakan solutif dari permasalahan tersebut," terang lelaki berkacamata ini.
Kata hamzah, efek rumah kaca yang ditimbulkan dari gas metana dampaknya 21 kali lebih kuat daripada karbon dioksida. Sehingga, dalam hal ini, gas metana tersebut lebih baik dibakar secara langsung untuk menjadi karbon dioksida daripada dilepaskan secara langsung ke udara.
Hamzah mengubah metana menjadi bahan bakar minyak ini dengan menggunakan membran katalis berbasis Oksida Perovskit.
“Membran katalis ini akan menangkap karbon dioksida dan mengubahnya menjadi senyawa organik,” jelasnya.
Pengubahan metana menjadi metanol secara tidak langsung dapat dilakukan dengan mengubah metana terlebih dahulu menjadi Syngas, yakni campuran CO dan H2.
Baca juga: Mahasiswa Malang Bikin Aplikasi untuk Deteksi Skizofrenia dengan Matematika Fraktal
"Lalu, Syngas ini diubah menjadi metanol dengan katalis tertentu," tutur alumnus Curtin University of Technology ini.
Tak hanya itu, Hamzah juga menyinggung masalah batu bara yang berpotensi menghasilkan pencemaran tinggi dengan menghasilkan limbah berupa fly ash atau abu layang.
Untuk itu, pendiri Konsorsium Riset Geopolimer Indonesia (KORIGI) tersebut mengonversi abu layang menjadi geopolimer.
Pengubahan abu layang menjadi geopolimer menghasilkan produk bernilai tambah relative rendah, namun mampu menyerap abu layang dalam jumlah yang sangat besar. Dari geopolimer ini dapat dihasilkan produk untuk kebutuhan bahan bangunan.
"Produk terapan dari geopolimer ini salah satunya adalah paving yang dalam pembuatannya bekerja sama dengan dosen dari Departemen Teknik Sipil," ujar bapak dua anak tersebut.
Penggunaan abu layang sebagai bahan baku paving ini digunakan sebagai pengganti semen yang dalam produksinya banyak melepaskan karbon dioksida yang berdampak pada pemanasan global.