URguide

#UntilTomorrow Challenge dan Penanganan COVID-19 Berbasis Masyarakat Jejaring

Firman Kurniawan S, Kamis, 2 April 2020 10.01 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
#UntilTomorrow Challenge dan Penanganan COVID-19 Berbasis Masyarakat Jejaring
Image: istimewa

Jakarta - Para pemilik akun Instagram di minggu terakhir bulan Maret ini, pasti tak luput perhatiannya dari tantangan yang sedang trending : #untiltomorrow. Bahkan tak mengherankan, jika mereka turut andil, jadi bagian meramaikan tantangan ini. Rhona Shennan dalam tulisannya yang dimuat di Edinburgh News, 31 Maret 2020,  memaparkan, tantangan until tomorrow hendak mengajak para pemilik akun memperlihatkan foto konyol mereka, dan diberi tanda pagar #untiltomorrow.

Foto harus tetap ada pada laman mereka, setidaknya selama satu hari sebelum dapat dihapus. Fenomena tantangan yang cepat merebak dalam waktu kurang dari 1 minggu ini, diikuti lebih 3 jutaan posting, menarik perhatian para ahli komunikasi dan informasi digital. Mereka menduga, meroketnya trending tantangan ini turut dipengaruhi suasana penularan Covid-19, yang beritanya mencekam dan menakutkan.

Masyarakat media sosial butuh informasi yang lebih segar dan mengendorkan ketegangan mental. Masyarakat membutuhkan informasi pengalih, agar jiwanya tetap sehat. Selain itu, tak tertutup adanya keterlibatan pengelola Instagram yang berkepentingan meramaikan kembali feed Instagram, akibat kecenderungan pemilik akun yang lebih memilih posting pengalamannya di instastory.

1585796060-Screen-Shot-2020-04-02-at-09.48.37.png

Namun terlepas dari itu semua, until tomorrow dapat dibaca sebagai 2 hal. Pertama, jika dikaitkan dengan penularan Covid-19, itulah gambaran nyata virus menyebar, menular dan menginfeksi banyak manusia. Dalam waktu singkat, menjangkau masyarakat demikian banyak dan cepat. Viral sendiri kata-katanya diambil dari deskripsi penyebaran ala virus. Ini tergambar jelas lewat viralnya tantangan. Yang kedua, tantangan itu bisa demikian luas dan cepat menyebar, hanya bisa terjadi di dalam masyarakat jejaring. 

Masyarakat jejaring atau network society, banyak dikemukakan para ilmuwan sosial, di antaranya Manuel Castells. Ia mengemukakan pikirannya lewat trilogi bukunya The Rise of Network Society, 1996-1998. Inti pemikirannya tentang network society adalah terjadinya perubahan bentuk masyarakat akibat masifnya penggunaan perangkat elektronik mikro : smart phone, tab, laptop dll. Masyarakat terhubung satu sama lain membentuk jejaring, dengan informasi sebagai bahan bakunya. 

Dalam kasus until tomorrow, informasi yang kuat di tengah konteks kejenuhan mengkonsumsi Covid-19, menyebabkan terbentuknya jejaring pengalihan, memenuhi tantangan. Ini lebih mudah dibayangkan dengan analogi obat nyamuk bakar yang mungkin tak semua kelompok muda pernah melihatnya adanya pembakaran dengan arah dari dalam ke luar, yang makin lama makin besar lingkarannya. Melebarnya lingkaran menggambarkan makin banyaknya orang yang diterpa informasi sama dan terpengaruh. Tentu saja, dengan informasi yang sama itu, timbul implikasi pembentukan persepsi yang serupa ala until tomorrow : posting foto konyol.      

Bagaimana mengaitkan masyarakat jejaring dengan pencegahan Covid-19 ? Pertama, Covid-19 dilihat sebagai persoalan kesehatan. Nampaknya banyak masyarakat paham ancaman penyakit ini. Mereka takut dan merasa perlu menghindarinya. Masyarakat berupaya mencegah penularan lewat berbagai cara : work from home, school from home sampai beribadah di rumah. Realitasnya, makin banyak yang turut memerangi Covid-19. Komunitas juga bergerak. Mereka mengumpulkan donasi untuk membeli APD bagi tenaga kesehatan, sumbangan makanan buat pekerja harian yang terdampak, hingga melakukan disinfektanisasi mandiri. Pampangan aktivitasnya makin banyak di media sosial. Yang kedua, Covid-19 dilihat dari praktik hidup normal. Kesadaran terhadap ancaman berhadapan dengan kebiasaan lazim manusiawi. Masyarakat lazim berelasi tanpa jarak fisik, melakukan pertemuan dengan kehadiran, bekerja, belajar dan beribadah di luar rumah. 

Dua pandangan yang saling berhadapan ini jadi pangkal naik turunnya kepatuhan pada himbauan psysical distancing, #workfromhome #dirumahaja. Masyarakat akhirnya bergerak menurut persepsi yang ada di benaknya. Ini tentu merugikan proses pencegahan penularan. Terlebih jika dihadapkan dengan : kapan ini semua berakhir ? Kepatuhan menagih hasil nyata.  Gejalanya sudah ada, masyarakat yang patuh mulai bosan.

Angka penurunan penularan yang ditunggu tak kunjung tiba.  Malah masa tanggap darurat diperpanjang. Menghadapi diametralnya posisi ini, komunikasi harus jelas, tegas dan segera dipatuhi, Tujuannya agar masyarakat segara masuk H1 karantina diri di rumahnya masing masing. Dan jelas pula kapan berakhir seraya melihat hasilnya. Proses karantina mandiri dilakukan sambil pemerintah menjalankan manajemen penanganan kesehatan yang jelas pula.

Dalam hal kekuatan pemerintah terbatas menghadapi ancaman penularan yang luas dan cepat, dapat dikembangkan pola komunikasi yang berbasis masyarakat jejaring. Ini sangat mengandalkan kelompok usia muda. Mereka adalah 35%an dari sekitar 165 Juta pengguna internet di Indonesia. Kemenkominfo memetakan komunitas-komunitas yang "didengar", punya follower banyak, kreatif memproduksi konten. Kelompok muda ini menginisiasi pesan-pesan tunggal yang harus segera dipatuhi. Sebagaimana analogi di atas, ibarat obat nyamuk yang terbakar dari dalam ke luar, pesan yang kuat ala until tomorrow bekerja secepat penyebaran virus itu sendiri. 

Upaya itu seraya diikuti posting secara masif, telah dipatuhinya pesan oleh berbagai kelompok. Dan sesuai teori social proof yang dikemukakan oleh Richard Shutton, persepsi masyarakat dapat terbentuk berdasar bukti sosial kepatuhan masyarakat mayoritas.  Jadi jika hari ini psysical distancing atau #dirumahaja yang dianggap kebenaran untuk mencegah penularan Covid-19, maka gaungkanlah secepat secepatnya sehingga menjadi norma baru yang dipatuhi. Lewat masyarakat jejaring yang aktif di media sosial, upaya itu tak mustahil.(*)

**) Penulis merupakan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, serta pendiri LITEROS.org

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait