
Mengulik ‘Panasnya’ Aksi Live Bugil di Aplikasi Streaming
Waktu menunjukkan pukul dua dini hari lebih. Deretan cewek-cewek cantik yang menjadi ‘host’ live show pun mulai bermunculan. Diiringi hentakan musik khas klab malam, si host pun bergoyang erotis sambil menyapa para fansnya. Penonton yang menyukai aksi seksinya, berlomba-lomba memberikan 'saweran' berupa koin atau emoticon yang bisa diuangkan. Makin banyak sawerannya, makin ‘hot’ pula sang host yang dengan genit menyebut mereka dengan panggilan 'abang' atau 'sayang', sambil bilang 'I love you'.
Begitulah sekelumit pengalaman Urbanasia saat mengakses salah satu aplikasi live streaming. Belakangan ini, bermacam apps live streaming masuk radar kepo para netizen semenjak selebgram RR dicokok yang berwajib, menyusul aksi live bugilnya. Perempuan single parent berusia 32 tahun itu ketahuan melakukan masturbasi lewat aplikasi media sosial secara live streaming.
Demi Cuan
Aksi pornografi di media sosial sebenarnya bukan bahasan baru di jagat maya. Mulai dari rekaman video seorang vokalis band papan atas di tahun 2010, video 19 detik artis cantik berinisial GA, sampai kasus selebgram RR yang terungkap bulan September lalu.
Motif ekonomilah yang biasanya jadi alasan. RR mengaku, dalam sebulan, dia bisa meraup Rp 25-50 juta yang digunakan untuk menafkahi dirinya beserta satu anaknya. Nggak jauh beda dengan RR, seorang bidan berinisial AWM di Sumatra Selatan juga nekat tampil tanpa busana demi cuan. Tahun 2018 lalu, Polres Metro Tangerang Selatan meringkus tiga tersangka yang menyiarkan adegan porno secara langsung, dengan mematok tarif Rp 200 ribu pada penontonnya.
Sumber: RR (berbaju tahanan oranye di belakang), saat jumpa pers di Polresta Denpasar, tak lama setelah dirinya ditangkap (Foto: Polresta Denpasar)
Buntut dari kejadian itu, Kominfo lantas memblokir aplikasi yang digunakan para pelaku. Contohnya Mango Live yang digunakan RR dan Boom Live yang digunakan AWM. Selain itu, pengawasan yang lebih ketat juga diterapkan. Jika host mulai menunjukkan perilaku yang menjurus ke arah seksual, maka siaran langsungnya otomatis akan dihentikan paksa dengan tulisan "Official detection: risky content in this live broadcast room".
Urbanasia menemukan hal itu saat beberapa host berakting seolah sedang menikmati hubungan intim. Tak butuh waktu lama, tayangan mereka terhenti dengan peringatan tersebut. Tapi, selang beberapa menit kemudian, host tersebut bisa kembali melakukan siaran.
Berdasarkan pemantauan Urbanasia, tayangan live streaming berbau seksual juga bisa membuat akun host di-banned atau diblokir permanen. Artinya, dia nggak bisa lagi bikin konten di aplikasi itu. Semua followers, level atau tingkatan pengguna, dan penghasilannya pun bakal hilang. Beberapa host terang-terangan mengungkapkan kekhawatirannya di-banned saat penonton mulai memintanya melakukan 'hal-hal aneh'.
Dihentikannya aksi live streaming juga Urbanasia temui ketika ada host yang mempromosikan layanan video call sex (VCS). Dengan bahu terbuka seolah tidak mengenakan busana, perempuan ini 'mengundang' penonton dengan desahannya untuk menghubungi sebuah nomor telepon yang tertera di layar. Dengan kata lain, si pembuat konten live streaming ini sekalian numpang ngiklan 'bisnis' VCS-nya.
Berbeda dengan live streaming yang bisa dinikmati beramai-ramai dengan penonton lain, layanan VCS yang promosinya menjamur di media sosial bersifat lebih intim. Khusus antara si penyedia jasa dengan konsumennya, karena dilakukan lewat aplikasi pesan. Jika penghasilan host live streaming didapat dari saweran sukarela penonton, konsumen VCS harus membayar sesuai tarif yang dipasang si penyedia jasa sebelum mendapatkan layanan. Dari perbedaan itu, jelas live streaming punya lebih banyak fans. Karena menurut sumber Urbanasia, ternyata banyak loh, layanan VCS tipu-tipu. Konsumen sudah mengirimkan bayaran, namun nggak kunjung mendapat VCS yang ditunggunya.
Makin Marak Sejak Pandemi
Mau lewat media apapun, rupanya bisnis 'esek-esek' nggak pernah ada matinya, guys. Terlebih lagi, sejak pandemi berlangsung di mana banyak bisnis ditutup karena pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat. Contohnya saja RR yang kehilangan pekerjaan sebagai pemandu karaoke, lalu pindah haluan mencari nafkah lewat live bugil 4 kali seminggu lewat aplikasi streaming.
AKP Waskitha dari unit Tindak Pidana Siber Polda Metro Jaya juga mengamini bahwa aksi live streaming pornografi ini memang baru marak setahun belakangan. Dari kasus yang ditanganinya, Waskitha mengakui rata-rata motif ekonomi jadi latar belakang para pelaku. Dari tayangan langsung pornografi itu, menurut AKP Waskitha, si pembuat konten bisa meraup Rp 20 juta hingga ratusan juta dalam sebulan.
"Dulu tuh nggak ada live streaming yang kayak sekarang ini. Baru marak sekitar tahun 2020-2021. Modus mereka kan cari uang," ujar AKP Waskitha saat ditemui di kantornya, Gedung Direktorat Reserse Kriminal Umum, Polda Metro Jaya.
Sumber: Pelaku live bugil di aplikasi streaming seperti RR bisa mengumpulkan puluhan juta dalam sebulan (Foto: Polresta Denpasar)
"Kita pernah nanganin satu aplikasi, dia memang melakukan streaming pornografi. Nah, itu ada agennya sendiri, talent-nya itu penghasilannya sampai 20 juta sebulan. Saya pernah dapet info dari orang yang kita tangkap, talent itu ada yang bisa digaji sampai 200 juta perbulan," ungkap perwira polisi sarjana komunikasi ini.
Karena iming-iming uang puluhan hingga ratusan juta, kegiatan pornografi di aplikasi live streaming lantas berkembang jadi bisnis yang sangat terkoordinir. Pelaku yang ditangkapnya pun ada yang warga negara asing. Hal ini membuktikan bahwa pelanggaran hukum di dunia maya rentan menjadi jenis kejahatan lintas negara. Untuk meringkus jaringan pornografi semacam ini, Waskitha mengatakan perlunya kerja sama dengan kepolisian negara lain.
Perlu Aturan Tegas
Sementara itu, dosen Pascasarjana Universitas Indonesia yang juga pengamat komunikasi digital, Firman Kurniawan Sujono, juga ikut memaparkan alasan live streaming pornografi seperti kasus RR termasuk sebagai pelanggaran. Menurut Firman, melakukan aksi pornografi demi mencari keuntungan atau upaya dagang di ruang publik tidak bisa dibenarkan. Di negara liberal yang melindungi industri pornografi sekali pun, tetap ada aturan yang membatasi, seperti minimal umur penonton, label peringatan tayangan khusus dewasa, serta ketentuan bahwa pemain harus bebas dari ancaman eksploitasi.
Sedangkan Indonesia yang jelas-jelas menganggap pornografi sebagai pelanggaran, belum ada aturan-aturan seperti di Jepang dan Amerika Serikat. Apalagi, yang melindungi pemain dari unsur tekanan dan paksaan.
"Kita kan akhirnya tidak membedakan apakah yang kita tonton hasil eksploitasi atau sukarela, sehingga perlu ada kecurigaan etis," ujar Firman.
"Jangan-jangan yang saya tonton ini hasil eksploitasi sehingga tidak layak untuk ditonton. Paling tidak itu yang bisa digunakan sebagai dasar hukum. Nggak semua yang tersedia itu layak dikonsumsi, ada alasan etis jangan-jangan itu adalah produk hasil eksploitasi," lanjutnya.
Seandainya dilakukan secara sukarela pun, ada masalah batasan umur penonton yang menurut Firman nggak boleh dilanggar. Dan, live streaming pornografi tidak bisa menjamin itu.
"Ketika kita melakukan upaya perdagangan, mencari keuntungan, itu kan barangnya harus legal. Mencari keuntungan dari industri pornografi ini dilakukan di area publik, jelas tidak bisa dibenarkan," Firman menegaskan.
"Kalo pelaku berdalih bahwa 'ini adalah akun saya', dia kan jelas tahu persis akunnya diakses banyak orang. Makanya dia bisa 'berdagang'. Padahal dia kan tidak bisa menyeleksi siapa yang menonton, siapa yang menjamin penontonnya hanya dewasa semua. Kalaupun misalnya kita negara liberal, itu ada penyaringan, ada filter yang ketat. Apalagi kita punya UU ITE, UU Pornografi dan Pornoaksi, yang sudah jelas melarang itu," tukas Firman.
