URnews

Wacana PPKM Darurat Diperpanjang 6 Minggu, Apa Kata Masyarakat?

Urbanasia, Rabu, 14 Juli 2021 17.55 | Waktu baca 2 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Wacana PPKM Darurat Diperpanjang 6 Minggu, Apa Kata Masyarakat?
Image: ilustrasi PPKM (Pinterest/Mohamad Sholeh)

Jakarta - Pemerintah berencana memperpanjang pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat hingga 4 sampai 6 minggu. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyebut kebijakan itu diambil guna menekan laju kasus COVID-19 yang kian meningkat setiap harinya.

Wacana ini kemudian menuai pro dan kontra. Lantas, bagaimana tanggapan masyarakat terhadap perpanjangan PPKM Darurat ini? Berikut wawancara Urbanasia pada masyarakat dari berbagai profesi. Mulai dari supir ojek online, hingga pengamat kebijakan publik.


“PPKM membuat usaha grosir menjadi terhambat. Mengingat kebutuhan dalam mencari barang dengan harga murah yang ada di Kota Bandung, tokonya dengan ketat ditutup atau tidak melayani pembelian. Sehingga kebutuhan yang dicari oleh langganan saya tidak terpenuhi. Kemudian, PPKM juga menghambat usaha eceran sebab tidak banyak pelanggan yang berkunjung ke toko. Sebagian besar memang beralasan karena sedang isolasi mandiri. Saya pun paham, dampak ini ditimbulkan akibat pandemi yang tak berkesudahan,” - Pedagang Grosir Elektrik, Achmad Solihat.

“Merugikan, karena penghasilan jadi menurun. Sekarang per hari gak dapat Rp.100.000 juga, biasanya bisa sampai Rp.150.000. Pesanan gojek juga biasanya sampai 20 orderan, sekarang 15 orderan juga susah. Maka, PPKM kalau diperpanjang akan semakin merugikan,” - Driver Gojek, Handi Hermawan.

“Beri kelonggaran waktu jualan, jangan dipukul rata. Misalnya, tukang bubur dan tukang nasi goreng pasti beda kan waktu jualannya, tukang bubur ayam (jualan) pagi, nasi goreng biasanya baru buka malam. Jadi pemerintah juga perlu melihat keberagaman bisnis UMKM yang ada di Indonesia. Kalau baru buka malam, tapi sudah disuruh tutup jam 8 malam, ya mau ngapain lagi?" - Pengusaha UMKM, CEO Gorengin, Wildanshah.

 

“Di satu sisi yang penting juga bagaimana masyarakat ini tidak bermobilitas harus ada konsekuensi yang ditanggung pemerintah. Selama ini konsekuensi pemerintah cuma bansos, jadi belum sampai ke kebutuhan sehari-hari sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Kalau misalnya melakukan pengetatan-pengetatan/lockdown/karantina wilayah harusnya pemerintah memberikan kompensasi kepada masyarakat. Masalahnya pemerintah menghindari konsekuensi dari UU tersebut. Kalau masyarakatnya nggak diberikan kompensasi ya mereka masih bermobilitas, mereka masih keluar mencari nafkah. Tidak efektif karena urusan perut," - Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait