URnews

Warga Tionghoa Curhat Tak Bisa Miliki Tanah di Jogja, Gimana Sih Aturannya?

Nivita Saldyni, Kamis, 28 April 2022 15.28 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Warga Tionghoa Curhat Tak Bisa Miliki Tanah di Jogja, Gimana Sih Aturannya?
Image: Ilustrasi - Kampung pecinan ketandan di DIY. (Dok. BPCB DIY via Kemendikbud RI)

Yogyakarta - Salah satu netizen di Facebook curhat sulitnya mendapat sertifikat tanah bagi warga keturunan Tionghoa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Rabu (27/4/2022). Hal ini pun membuat kontroversi kepemilikan tanah keturunan Tionghoa di DIY yang sudah ada sejak lama kembali mencuat.

Curhatan itu disampaikan oleh pemilik akun Facebook Risa Karmida. Ia mengatakan hingga saat ini belum berhasil memiliki Hak Milik atas rumah yang dibelinya sejak bertahun-tahun lalu.

"Terima kasih Jogja, tempat di mana saya tidak dilahirkan dan tidak dibesarkan, namun sekarang saya diijinkan tinggal dan mencari rejeki," ungkapnya, seperti dilihat Urbanasia pada Kamis (28/4/2022).

"Pagi ini air mata saya menetes mendapat kabar dari notaris terakhir dari sekian banyak yg saya temui, yang mengonfirmasi rumah yang saya beli dari hasil perjuangan keringat & air mata bertahun-tahun tidak dapat saya miliki secara Hak Milik. Statusnya harus turun menjadi Hak Guna Bangunan karena saya keturunan Cina," sambungnya.

Bahkan setelah berjuang sejauh ini, Risa akhirnya 'menerima' dengan berbagai kekecewaan.

"Jika ada hari saya mengutuk kelahiran saya sebagai keturunan Cina, itu adalah hari ini. Andai bisa memilih, saya ingin terlahir sebagai pribumi dengan segala hak mutlak sebagai warga negara. Namun sudahlah, kami ini hanyalah kaum numpang. Sudah diijinkan tinggal sudah untung. Seperti nasihat seorang kawan,'terima saja, memang tidak adil, tapi terima saja'. Baik, saya terima. Terima kasih," tutupnya.

Mengapa Etnis Tionghoa Tak Bisa Miliki Tanah di DIY?

Masalah tanah memang sensitif bagi penduduk keturunan etnis Tionghoa di DIY. Apalagi sejak Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Non-pribumi di DIY diterbitkan.

Sejumlah mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) lewat 'Politics of Race: Diskriminasi Rasial Etnis Tionghoa dalam Kebijakan Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta' dalam jurnal PolGov Vol. 2 No. 2 (2020) menuliskan, selain hak kepemilikan tanah, ada rentetan tindakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di DIY. Diantaranya sulit mendapatkan pengakuan sebagai warga negara Indonesia hingga penetapan status yang didasarkan pada ciri-ciri rasial. Mirisnya diskriminasi itu masih berlangsung.

Penulis dalam jurnal juga mengutip penelitian Bayu Dardias Kurniadi berjudul 'Defending the Sultan’s Land: Yogyakarta, Control over Land and Aristocratic Power in Post-Autocratic Indonesia' (2019) yang menyebut hal itu telah terjadi sebelum Indonesia merdeka.

Salah satu buktinya adalah keberadaan fakta kebijakan historis seperti pelarangan alih kepemilikan tanah dari penduduk pribumi ke non-pribumi oleh pihak Kolonial Belanda (Vervreemdingsverbod) di tahun 1875. Ada juga Rijksblad yang dikeluarkan oleh Kesultanan di tahun 1918 yang melarang segala bentuk penjualan, leasing, dan peminjaman kepemilikan tanah kepada kelompok non-pribumi. Kemudian konflik berlanjut ke era proklamasi.

Kurniadi menyebut faktor utama yang menyebabkan diskriminasi itu antara lain l adanya stigma yang menyebut etnis Tionghoa adalah kelompok yang memihak Belanda, bahkan setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Mereka juga disebut ingin meninggalkan wilayah DIY karena memandang Sultan sebagai pro-Republik Indonesia.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait