URguide

Bipolar Disorder pada Wanita dan Pria Cenderung Berbeda, Benarkah?

Riliv, Kamis, 3 September 2020 14.08 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Bipolar Disorder pada Wanita dan Pria Cenderung Berbeda, Benarkah?
Image: Ilustrasi. (unsplash)

Jakarta - Gangguan mental berupa bipolar disorder bisa menyerang siapa saja, tak terkecuali pria ataupun wanita. Meski begitu, sejumlah penelitian menunjukkan adanya perbedaan hal terkait gangguan bipolar yang menyerang pria dan wanita. Kira-kira apa sajakah yang membedakannya?

Bipolar disorder pada wanita cenderung berisiko memicu bunuh diri

Sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2014 mengulas risiko percobaan bunuh diri pada orang yang memiliki gangguan bipolar. Para peneliti menemukan perbedaan antara pria dan wanita.

Sebuah tinjauan dari bukti Trusted Source, yang diterbitkan dalam Indian Journal of Psychiatry pada 2015, mengatakan bahwa wanita dengan gangguan bipolar lebih sering mencoba bunuh diri bahkan sebanyak 2 hingga 3 kali melakukan percobaan, daripada pria dengan kondisi yang sama.

Meski kasus bunuh diri dapat terjadi pada siapa saja, namun dalam kenyataannya, wanita dengan gangguan bipolar menjadi pihak yang paling sering berupaya untuk bunuh diri.

Kondisi ini didukung pula dengan kecenderungan perempuan yang seringkali memikirkan tentang kematian.

Wanita dengan bipolar disorder dipicu hormon

Bagi wanita yang mengidap gangguan ini, hormon bisa jadi memiliki peran besar dalam memicu bipolar. Belum lagi, jika ditambah dengan siklus menstruasi pada wanita yang semakin memperburuk kondisi mental mereka.

Kadar hormon yang meningkat saat wanita mengalami masa menstruasi, dapat sedikit mengubah efek dari lithium, yakni jenis obat untuk gangguan perawatan bipolar. Sehingga, tak jarang hal ini dapat mengurangi pengaruh obat tersebut.

Selain itu, perubahan hormon di tubuh wanita yang terjadi saat menstruasi setiap bulannya, memungkinkan menyebabkan depresi. Bahkan tak hanya saat menstruasi, wanita yang tengah mengalami masa menopause pun akan merasakan hal serupa.

Direktur kesehatan mental wanita di Rumah Sakit Wanita dan Brigham, Dr. Laura Miller, mengatakan dalam sebuah artikel di Psychiatric Times bahwa menopause bisa jadi turut memberi dampak.

Perubahan hormon saat masa menopause yang terjadi pada wanita berusia antara 45-55 tahun lebih cenderung mengalami gejala depresi.

Risiko tinggi juga terjadi pada ibu hamil

1599116670-bipolar-disorder-2.jpgPhoto by Arteida MjESHTRI on Unsplash 

Selain karena pengaruh hormon, proses persalinan juga bisa memicu gangguan bipolar pada calon ibu atau ibu muda. Ini dikenal dengan sebutan postpartum.

Sebuah studi, yang dimuat dalam jurnal JAMA menemukan bahwa persalinan sangat rentan meningkatkan risiko gejala depresi yang parah.

Hal ini bisa dipicu oleh beberapa penyebab yang meliputi perubahan hormon, gangguan tidur, dan perubahan lain yang terjadi setelah melahirkan.

Sementara pada pria, studi yang sama mencatat bahwa menjadi ayah baru tidak membawa risiko yang sama, yakni berupa gangguan mental yang parah.

Sehingga oleh karenanya, bagi setiap wanita dengan gangguan bipolar, hendaknya berkonsultasi dengan dokter mereka tentang dampak kehamilan, serta efek dari obat apapun yang mereka konsumsi. Agar kondisi bayi tetap sehat, dan ibu pun tetap terjaga kondisi fisik dan mentalnya.

Perawatan rutin bipolar disorder pria dan wanita cenderung berbeda

Sebenarnya, perawatan bipolar pada umumnya berlaku berbeda untuk setiap individu. Idealnya, perawatan yang diberlakukan merupakan hasil perkiraan berdasarkan riwayat, gejala, pemicu, lingkungan rumah, dan kebiasaan sehari-hari orang tersebut.

Meski begitu, tetap saja ada kecenderungan pola bipolar yang cenderung berbeda pada pria dan wanita, sehingga hal ini dapat memberi informasi khusus tentang pengawasan klinis mereka.

Sebagai contoh, karena pola gangguan pada pria cenderung merujuk pada sikap mania yang lebih parah, dokter mungkin lebih menekankan perawatannya pada gejala mania tersebut daripada gejala depresinya.

Sementara pada wanita, kemungkinan besar mengalami gejala depresi yang lebih tinggi dan rentan, sehingga sejumlah psikiater dan terapis akan memilih perawatan yang fokus terhadap gejala tersebut.

Mereka juga menerapkan pola pengobatan untuk menghadapi perubahan hormon yang dapat mempengaruhi kondisi wanita dengan gangguan bipolar, bahkan lebih intens daripada pria.

Gejala bipolar pada wanita lebih sulit didiagnosis

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, gejala bipolar pada pria cenderung merujuk pada mania, yaitu perasaan menggebu-gebu, lebih semangat dan bergairah, serta berbicara cepat. Sehingga, tak sulit bagi dokter untuk mendiagnosis hal ini sebagai tanda bipolar.

Sementara wanita cenderung mengalami gejala depresi di awal kemunculan gangguan bipolarnya. Sehingga, tak jarang sebagian dokter menganggap bahwa gejala tersebut merujuk pada gangguan depresi secara umum, dan tidak diprediksi sebagai bipolar.

Oleh karenanya, sangat penting bagi setiap orang untuk menyadari kondisi mental yang sedang dialaminya. Sebab, jika tidak segera mendapat penanganan, tahapan siklus bipolar akan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Sehingga, penanganannya pun tidak akan semakin mudah.

Dear, jika kamu merasa mulai merasakan gejalanya saat ini, sebaiknya jangan terburu membuat kesimpulan sendiri.

Konsultasikan pada tenaga profesional seperti psikolog agar kamu mendapat solusi yang lebih tepat. Jika ragu dan tidak punya cukup waktu, Riliv bisa kamu jadikan langkah awal untuk memulainya. Semakin dini kamu memulai, semakin mudah untuk menanganinya.

Artikel ini ditulis oleh Diva Mosaik dan merupakan kerja sama Urbanasia dengan Riliv, aplikasi kesehatan mental yang terdiri dari meditasi online dan konseling psikologi online, dan telah membantu lebih dari 150.000 pengguna agar lebih sehat mental.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait