URguide

'Bug' dan Fenomena Work From Home 1.0

Firman Kurniawan S, Jumat, 17 April 2020 17.44 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
'Bug' dan Fenomena Work From Home 1.0
Image: Freepik

Jakarta - Walaupun krisis akibat Covid-19 bergerak merangkak, yang memberi waktu bagi pelaku, mengadaptasi ketaknyamanan secara bertahap, namun bukan berarti itu mulus dilalui tanpa masalah. Di Indonesia, satu minggu setelah pengumuman resmi pemerintah tentang adanya 2 penderita positif Covid-19, Presiden Jokowi kembali membuat pengumuman, agar masyarakat bekerja, belajar dan beribadah di rumah. Himbauannya menyangkut 3 hal, namun Work From Home (WFH) jadi jargon paling popular mengiringi pandemi. 

Sepintas, pelaksanaan WFH, yang tahap awal ini saya sebut sebagai WFH 1.0, lebih nampak sebagai glorifikasi gaya hidup baru ketimbang gerakan prihatin menghadang penjalaran virus. Banyak pihak merayakannya lewat posting di aneka platform media sosial, dengan tanda pagar #workfromhome, #dirumahaja, dan itu dapat dimaknai sebagai representasi: menjadi yang paling awal mengadopsi gerakan, atau setidaknya jadi orang yang tak ketinggalan, dari orang lain. Implikasinya, di minggu-minggu awal work from home, jadi trending topics global yang paling mengemuka. 

Tentang gaya hidup, banyak akademisi yang telah membahasnya. Salah satunya, Martin Luenendonk, 2019 lewat tulisannya What is Lifestyle Marketing?. Menurutnya, gaya hidup adalah mode perilaku yang didasarkan pada serangkaian minat, kegiatan, gagasan, sikap, pendapat, dan karakteristik lain. Ini akhirnya membedakan kelompok orang atau budaya tertentu, dari kelompok dan budaya yang lain.

Gaya hidup ini mendefinisikan karakteristik seseorang. Dalam arti bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri, atau apa yang dicita-citakannya. Akibatnya, pilihan itu memberi makna dan tujuan bagi kehidupan seseorang. Adanya perbedaan orang per orang memandang dirinya, menimbulkan variasi  tipe gaya hidup.

Untuk gaya hidup yang ingin selalu jadi pelopor atau jadi bagian dari orang kebanyakan, Catherine Searle, 2020 mengelompokkannya sebagai The Corporate. The Corporate adalah orang yang dicirikan selalu berusaha memperoleh kepuasan, dengan jadi bagian dari sekelompok orang yang punya kesamaan pikiran, punya kesamaan tujuan  maupun minat. Kelompok itu berada di lingkungan keluarga, tempat kerja, maupun komunitas. Kekhasan utama gaya hidup ini, selalu merasa perlu jadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.

Manifestasinya, ketika WFH 1.0 jadi gerakan yang marak menjangkiti keluarga, tempat kerja maupun komunitas, seseorang pantang untuk ketinggalan. Posting di media sosial dengan tanda pagar #workfromhome maupun #dirumahaja, jadi kewajiban. Kelemahannya, ketika WFH 1.0 dijalani sebatas gaya hidup, riak-riak persoalan yang tak terduga muncul.

Variasinya mulai dari meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga wacana tekanan mental yang dirasakan orang tua, saat ‘terpaksa’ berperan jadi guru, seiring aktivitas belajar anak yang dipindahkan ke rumah.  

Dalam hal KDRT, media-media besar dunia seperti Al Jazeera, New York Times maupun yang dinyatakan sendiri oleh Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres lewat Twitter-nya, menegaskan perihal ini. Tercatat adanya lonjakan laporan KDRT melalui telepon, sebesar dua kali lipat di berbagai negara. Senada dengan itu, Marianne Hester, Sosiolog dari Bristol University yang pernyataannya dikutip Amanda Taub dalam tulisannya A New Covid-19 Crisis: Domestic Abuse Rises Worldwide, bertanggal 6 April 2020 menegaskan KDRT di tengah pandemi, merupakan hal yang telah diprediksi.

Ada banyak alasan untuk percaya bahwa karantina mandiri yang dilakukan demi mencegah penyebaran virus, memiliki efek munculnya KDRT. Setiap kali keluarga menghabiskan lebih banyak waktu bersama, seperti liburan Natal dan musim panas, peningkatan KDRT terindikasi jelas. Kini, ketika pandemi COVID-19 dimana keluarga-keluarga terkunci di seluruh dunia, bersamaan itu pula panggilan permintaan bantuan akibat KDRT, meningkat. Ini terjadi di tengah pemerintah yang sedang terkonsentrasi mengatasi krisis.

Di Indonesia indikasi KDRT di masa COVID-19, juga menggejala. Pemilik akun Twitter @roythaniago, menceritakan tentang inisiatif temannya yang menggunakan Facebook, untuk memberi pertolongan bagi orang yang dikenalnya, saat mengalami kekerasan di tengah karantina mandiri. Permintaan pertolongan disampaikan dengan menggunakan kode “resep brownies”, yang artinya, peminta pertolongan ingin dicek keadaannya secara berkala. Dan manakala kodenya jadi “resep brownies kacang”, berarti peminta pertolongan ingin dipanggilkan polisi atau organisasi pendamping korban. Peminta pertolongan mengalami kekerasan.

Tujuan penggunaan kode agar komunikasi tersamar, sebab mungkin pasangan peminta pertolongan yang melakukan kekerasan ikut membaca pesan yang dikirim. Berbagai kajian psikologi, sosiologi, komunikasi maupun telaah ilmu sosial lain, mengkonfirmasi: intensitas relasi yang melebihi kebiasaan, sering berakhir dengan kejenuhan. Dan walaupun tak selalu kejenuhan berubah jadi KDRT, namun itu konsekuensi yang sering tak dapat dihindari. Jadi tugas berbagai pihak untuk menimimalisasinya.

Hal lain yang juga mengemuka jadi gejala tak terduga WFH 1.0, adalah munculnya rasa frustrasi para orang tua dengan anak usia sekolah. Peran guru digantikan orang tua, terutama para Ibu. Masalah yang muncul beragam, mulai kemampuan membuat anak-anak memahami pelajaran sekolah, mengawasi jadwal pengumpulan tugas, kemampuan memanfaatkan teknologi penghubung antara rumah dengan sekolah, hingga menyediakan perangkat memadai untuk berlangsungnya pembelajaran. Spektrum persoalannya luas, dari suprastruktur hingga infrastruktur.

Namun jika ini diurai, persoalan berpangkal bahwa sistem pembelajaran jarak jauh dalam WFH 1.0, belum dipahami sebagai proses transformasi informasi, dan bukan ritual sekolah yang dipindahkan ke rumah. Tak jarang para Ibu harus menghadapi kerepotan baru, ketika harus memvideokan putra-putrinya bersenam di depan rumah, sebagai aktivitas awal yang biasa dilakukan di sekolah. Manakala ritual sekolah dituntut utuh terselenggara, hanya tempatnya yang pindah ke rumah, maka para Ibu jadi “korbannya”. 

Sesungguhnya, lewat pandemi COVID-19 tersedia keadaan yang hanya dapat dijalani  sebagai kenormalan baru, dengan memanfaatkan perangkat digital. Kesempatan langka ini adalah lompatan situasi yang bermanfaat untuk menguji kesiapan masyarakat masuk ke era internet of things. Dilema dari keadaan ini, sayangnya, melahirkan korban terutama kaum perempuan.

Sehingga, dalam terminologi pengembangan teknologi digital, ini adalah bug, keadaan cacat yang harus disingkirkan. Dan semoga itu jadi sempurna pada WFH 2.0.  Bukan malah memunculkan korban baru.

 

**) Penulis merupakan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, serta pendiri LITEROS.org

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait