URedu

Mengikis Dominasi Patriarki dengan Pendidikan

Anneila Firza Kadriyanti, Selasa, 9 Agustus 2022 08.47 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Mengikis Dominasi Patriarki dengan Pendidikan
Image: Ilustrasi. (Pixabay)

PADA suatu waktu, secara kebetulan saya mengunjungi laman Instagram Angelina Jolie. Menyandang status figur publik, Jolie lebih dikenal sebagai aktris film yang telah membintangi dan memproduksi puluhan film Hollywood. Kiprah Jolie tak sebatas hanya pada kegiatan perfilman. Dia pun merupakan aktivis dan Duta Besar Perserikatan Bangsa Bangsa yang bergerak untuk advokasi dan kesejahteraan para pengungsi di seluruh dunia.

Dari sekian banyak postingan di akun tersebut, satu yang menarik saya adalah mengenai surat yang diterima Jolie dari anak-anak perempuan di Afghanistan yang dilarang bersekolah oleh rezim pemerintahan di negara tersebut.

Postingan tersebut membuat saya mendidih. Sebab di era di mana gerakan perempuan untuk memperoleh keadilan gender sedang mengalami euforia yang besar, pemerintahan di suatu negara malah merepresi hak-hak perempuan (termasuk untuk memperoleh pendidikan) dengan memperlakukan perempuan sebagai warga yang tidak boleh memilih untuk menentukan hidupnya. Parahnya, represi dilakukan dengan menggunakan dalil ajaran agama.

Apa yang terjadi pada anak-anak perempuan di Afghanistan sebenarnya bukan kisah baru. Sudah sejak lama sistem masyarakat patriarkis di berbagai belahan dunia tidak menyandingkan perempuan dan pendidikan secara bersama.

Di masa keemasan para filsuf Yunani, hanya laki-laki yang diizinkan untuk mengikuti ‘kuliah’ ketika para filsuf sedang membahas isu politik dan kebijakan publik. Bahkan secara sadis Aristoteles dalam Politics mengungkapkan kedudukan perempuan dalam hal apapun jauh lebih inferior dibandingkan laki-laki, dan perempuan tidak memiliki kemampuan inteligensi yang sebaik laki-laki karena faktor biologis perempuan tidak mendukung kecerdasan.

Di Indonesia pada masa penjajahan Belanda, para perempuan priyayi Jawa harus dipingit di dalam rumah sampai menjelang hari pernikahan mereka. Bahkan seorang perempuan yang bersekolah pada masa itu dianggap sebagai suatu kejahatan besar terhadap adat karena membiarkan anak perempuan berada di luar rumah (Surat RA Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 1899).

Gagasan dan upaya yang diperjuangkan oleh RA Kartini lewat korespondensinya dengan para sahabat di negeri Belanda, menjadi cikal bakal pergerakan perempuan untuk memperoleh pendidikan. Kartini meyakini, hanya lewat pendidikan perempuan dapat memiliki kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Lewat pendidikan pula, perempuan dapat menyejahterakan keluarga dan berpartisipasi aktif memberdayakan masyarakat.

Pentingnya Pendidikan Bagi Perempuan

Merujuk pada data dari Badan Pusat Statistik sejak periode 2015, tingkat kelulusan pendidikan wajib sembilan tahun dari jenjang sekolah dasar hingga menengah atas, selalu menghasilkan lulusan perempuan yang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Bahkan warga negara berusia 15 tahun ke atas yang memiliki ijazah perguruan tinggi pun didominasi oleh perempuan dengan persentase 10,06 persen, sementara laki-laki hanya sebesar 9,28 persen (Badan Pusat Statistik, 2021). Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi turut mengklaim bahwa angka ini jauh melampaui rata-rata tingkat pendidikan perempuan di Asia dan global.

Sebagaimana pemikiran yang diyakini oleh Kartini, pendidikan bagi perempuan adalah salah satu cara efektif untuk mengurangi kemiskinan struktural. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin rendah tingkat pernikahan anak perempuan di usia dini sehingga tidak terjadi kehamilan usia muda yang menyebabkan perempuan tidak siap mengasuh anak serta tidak memiliki dasar pengetahuan untuk menyejahterakan keluarganya. Perempuan dengan pengetahuan akan memiliki keterampilan yang mumpuni untuk dapat memasuki dunia pekerjaan yang akhirnya memberdayakannya secara ekonomi (Child Marriage Factsheet, 2016). Dengan demikian, siklus kemiskinan antar-generasi dapat berkurang.

Ketika perempuan berpendidikan, dia akan mengetahui apa yang menjadi hak-hak dasar manusia. Perempuan dengan pengetahuan akan memahami cara pandang dan kerja dunia sehingga hak hidup mereka dapat dipenuhi dan tidak dilanggar. Dengan pengetahuan yang mereka miliki pula, perempuan dapat terlibat penuh dalam segala aktivitas publik sehingga mampu mengurangi angka kemiskinan struktural lewat pemberdayaan masyarakat.

Tingginya tingkatan pendidikan perempuan pun akan bermanfaat lebih besar dalam membentuk keluarga yang lebih baik, sebab pengetahuan perempuan tersebut memberikan akses informasi yang besar bagi perempuan dalam menjaga kesehatan anggota keluarga, dan juga mengurangi kerentanan keluarga terhadap bencana (Schultz, 2002; Patt et al., 2001). Terlebih lagi dalam persoalan pendidikan anak.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait