URnews

Efikasi Sinovac di Indonesia Lebih Rendah dari Turki dan Brazil, Ini Kata Pakar UGM

Nivita Saldyni, Rabu, 13 Januari 2021 09.59 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Efikasi Sinovac di Indonesia Lebih Rendah dari Turki dan Brazil, Ini Kata Pakar UGM
Image: Ilustrasi vaksinasi COVID-19. (Sekretariat Kabinet RI)

Yogyakarta - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengumumkan hasil uji klinik vaksin Sinovac, sekaligus memberikan izin penggunaan darurat kepada PT Bio Farma, Selasa (12/1/2021) lalu. Hasilnya, efikasi vaksin Sinovac di Indonesia lebih rendah dibanding Turki dan Brazil, yaitu sebesar 65,3 persen.

Menanggapi hal itu, Prof. Dr. apt. Zullies Ikawati, Ketua Program Studi S3 Ilmu Farmasi, Fakultas Farmasi UGM pun memberikan penjelasan terkait apa yang mungkin jadi pertanyaan banyak masyarakat Indonesia. Yap, salah satunya tentang tingkat efikasi yang jauh lebih rendah dibanding uji klink yang dilakukan di Turki dan Brazil.

“Mungkin ini menimbulkan pertanyaan juga, kenapa ya kok efikasinya lebih rendah daripada yang di Turki atau Brazil? Kok lebih rendah dari vaksin Pfizer dan Moderna yang katanya bisa mencapai 90 persen?” kata Zullies, dikutip dari rilis Humas UGM, Rabu (13/1/2021).

Nah, Urbanreaders juga penasaran kan mengapa hal itu bisa terjadi? Ternyata begini loh penjelasannya.

“Efikasi ini akan dipengaruhi dari karakteristik subjek ujinya. Jika subjek ujinya adalah kelompok risiko tinggi maka kemungkinan kelompok placebo (kelompok yang tidak divaksinasi) akan lebih banyak yang terpapar sehingga perhitungan efikasinya menjadi meningkat," jelasnya.

Maksudnya, vaksin dengan efikasi atau kemanjuran 65,3 persen dalam uji klinik itu menunjukkan adanya penurunan 65,3 persen kasus penyakit pada kelompok yang divaksinasi jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak divaksinasi (atau placebo) yang didapatkan dalam suatu uji klinik yang kondisinya terkontrol.

Misalnya, uji klinik vaksin Sinovac di Bandung yang melibatkan 1.600 orang itu dilakukan pada 800 subjek yang menerima vaksin dan 800 subjek yang mendapatkan placebo (vaksin kosong). Kemudian, jika dari kelompok yang divaksin ditemukan 26 orang yang terinfeksi (3.25 persen), sedangkan dari kelompok placebo ada 75 orang yang kena COVID-19 (9.4 persen), Maka efikasi dari vaksin adalah = (0.094 – 0.0325)/0.094 x 100 persen= 65.3 persen.

Lalu bagaimana jika ada kelompok placebo bertambah menjadi 120 yang terinfeksi? Zullies mengatakan jumlahnya tentu akan meningkat. Tepatnya akan menjadi 78,3 persen guys. Sehingga bisa dikatakan, yang menentukan kemanjuran vaksin tersebut adalah perbandingan antara kelompok yang divaksin dengan kelompok yang tidak divaksin.

Selain itu, kata Zullies, uji klinik vaksin Sinovac di Brazil menggunakan kelompok berisiko tinggi yaitu tenaga kesehatan. Berbeda dengan Indonesia yang menggunakan populasi masyarakat umum yang risikonya lebih kecil. Inilah yang membuat tingkat kemanjurannya berbeda pula.

“Jika subjek ujinya berisiko rendah dan banyak tinggal di rumah, apalagi taat dengan prokes, sangat boleh jadi pada kelompok placebo-pun tidak banyak yang terinfeksi. Hal ini menyebabkan perbandingan kejadian infeksi antara kelompok plasebo dengan kelompok vaksin menjadi lebih rendah yang pada gilirannya menghasilkan angka efikasi vaksin yang lebih rendah. Selain itu, mungkin juga ada faktor-faktor lainnya yang berpengaruh terhadap hasil uji kliniknya," jelasnya.

Lalu, apakah tingkat kemanjuran vaksin sebesar 65,3 persen itu berdampak signifikan? Menurut Zullies, penurunan kejadian infeksi sebesar sekitar 65 persen secara populasi tentu akan sangat bermakna dan memiliki dampak yang panjang.

Sebab, jika tanpa vaksin maka dari 100 juta penduduk Indonesia akan ada 8,6 juta yang bisa terinfeksi. Berbeda jika vaksinasi ini dilakukan, di mana kemungkinan jumlah yang terinfeksi akan menurun sebanyak 65 persen atau menjadi 3 juta penduduk yang terinfeksi.

"Hitungannya (0.086 – 0.03)/0.086 x 100 persen= 65 persen sehingga ada 5,6 juta kejadian infeksi yang dapat dicegah," jelasnya.

Nah, mencegah lebih dari 5 juta kejadian infeksi ini menurutnya sangat bermakna dalam penyediaan fasilitas perawatan kesehatan. Belum lagi, secara tidak langsung vaksinasi juga bisa mencegah penularan lebih jauh bagi orang-orang yang tidak mendapatkan vaksin, yaitu jika dapat mencapai kekebalan komunal atau herd immunity.

“Jadi sebagai peneliti, saya masih menaruh harapan kepada vaksinasi, semoga bisa mengurangi angka kejadian infeksi COVID-19 di Indonesia. Apalagi jika didukung dengan pemenuhan protokol kesehatan yang baik semoga dapat menuju pada pengakhiran pandemi COVID-19 di Indonesia," harapnya.

Mungkin sebagian dari kalian menganggap efikasi vaksin Sinovac sebesar 65,3 persen cukup mengecewakan. Namun menurut Zullies, ini merupakan hal yang bagus apalagi jika mengingat batasan minimal FDA, WHO dan EMA untuk persetujuan suatu vaksin adalah 50 persen. Sehingga secara epidemiologi menurunkan kejadian infeksi sebesar 65 persen itu sudah sangat berarti dan menyelamatkan hidup banyak orang.

“Apalagi disampaikan saat diumumkan, vaksin memiliki imunogenisitas yang tinggi mencapai 99-an persen pada 3 bulan pertama. Artinya ini dapat memicu antibody pada subjek yang mendapat vaksin. Tentu kita masih harus menunggu efektivitas vaksin setelah dipakai di masyarakat. Dan perlu diingat bahwa karena ini baru EUA yang berasal dari interim report, pengamatan terhadap efikasi dan safety masih tetap dilakukan sampai 6 bulan ke depan untuk mendapatkan full approval," tutup Zullies. 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait