URstyle

Vaksin Sinovac Efikasinya 65,3%, Sejauh Mana Melindungi Orang?

Kintan Lestari, Selasa, 12 Januari 2021 18.33 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Vaksin Sinovac Efikasinya 65,3%, Sejauh Mana Melindungi Orang?
Image: Ilustrasi vaksin COVID-19. (Pixabay/fernandozhiminaicela)

Jakarta - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Senin (11/1/2021) kemarin, akhirnya memberikan izin penggunaan darurat (EUA) kepada vaksin COVID-19 keluaran Sinovac.  

Vaksin Sinovac dinyatakan punya efikasi atau tingkat kemanjuran sebesar 65,3%. Efikasi tersebut, lebih tinggi dibanding standar WHO yakni minimal 50%.

Artinya vaksin Sinovac pun sudah teruji aman digunakan dan punya efek samping yang ringan pada subjek.

Meski demikian, efikasi vaksin Sinovac memang hasilnya lebih rendah dibanding vaksin Pzifer dan Moderna yang mencapai 95% dan 94,5%. Dari situ timbul pertanyaan, dari mana angka 65,3% itu muncul. 

Prof DR Zullies Ikawati, Apt, Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, menyatakan angka 65,3% muncul dari perbandingan antara kelompok yang divaksin dengan kelompok tidak vaksinasi. 

Begini skema jelasnya. Dalam uji klinik di Bandung, relawan vaksin dibagi dua kelompok, yaitu kelompok yang divaksin dan yang kelompok yang tidak divaksin atau mendapat vaksin kosong (placebo). 

Penelitian tersebut melibatkan 1600 subjek. Jadi 800 subjek divaksin, dan 800 subjek lainnya placebo. 

Dari kelompok yang divaksin ada 26 orang (3,25%) yang terinfeksi. Kemudian dari placebo ada 75 orang (9,4%) yang terinfeksi. Dari data tersebut maka efikasi dari vaksin = (0.094 – 0.0325)/0.094 x 100% = 65,3%. 

Hasil efikasinya pun tergantung dipengaruhi karakteristik subjek ujinya. Bila subjek ujinya adalah kelompok risiko tinggi, maka kemungkinan kelompok placebo akan lebih banyak yang terpapar, dan itu meningkatkan efikasi vaksinnya.

Contohnya seperti ini. Kelompok yang divaksin tadi ada 26 orang yang terinfeksi. Lalu kelompok placebo bertambah jumlah subjeknya yang terinfeksi menjadi 120. Dari perhitungan seperti di atas, maka efikasi vaksinnya meningkat menjadi 78,3%. 

Kenapa efikasi Sinovac di Indonesia dan Brasil berbeda angkanya. Itu karena di Brasil subjek ujinya berisiko tinggi yakni tenaga kesehatan. Sementara Indonesia menggunakan populasi umum. Maka dari itu efikasi di Brasil lebih tinggi angkanya.

Dan hal itu berlaku sebaliknya. Bila subjek uji berisiko rendah, jadi orangnya mematuhi protokol kesehatan, maka hasil efikasi angkanya akan lebih rendah.

Misalnya pada kelompok vaksin ada 26 yg terinfeksi COVID (3,25%), sedangkan di kelompok placebo hanya 40 orang (5%) yang terinfeksi. Maka efikasi vaksinnya turun jadi hanya 35%, yaitu dari hitungan (5 - 3,25)/5 x 100% = 35%. 

Maka dari itu, Prof Zullies menekankan kalau angka efikasi bukanlah sesuatu yang mutlak karena dipengaruhi berbagai faktor, seperti jumlah subjek ujinya dan lama pengamatannya.

Meski efikasinya kelihatan lebih kecil dibanding Pzifer dan Moderna, namun vaksin Sinovac tetap dapat membantu menurunkan jumlah kasus COVID-19 di Indonesia.

Katakanlah dari 100 juta penduduk Indonesia, jika tidak ada vaksinasi maka 8,6 juta penduduk bisa terinfeksi. 

Dengan vaksinasi bisa turun 65% persentase kasusnya sehingga sekitar 3 juta penduduk saja yang terinfeksi. Perhitungannya yaitu (0.086 – 0.03)/0.086 x 100% = 65%. Jadi ada 5,6 juta kejadian infeksi yang dapat dicegah. 

"Mencegah 5 jutaan kejadian infeksi tentu sudah sangat bermakna dalam penyediaan fasilitas perawatan kesehatan. Belum lagi secara tidak langsung bisa mencegah penularan lebih jauh bagi orang-orang yang tidak mendapatkan vaksin, yaitu jika dapat mencapai kekebalan komunal atau herd immunity," terang Prof Zullies dalam keterangannya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait