URguide

Mengenal Inner Child yang Terluka, Penyebab dan Cara Mengatasi

Nivita Saldyni, Jumat, 28 Mei 2021 19.48 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Mengenal Inner Child yang Terluka, Penyebab dan Cara Mengatasi
Image: Ilustrasi. (Freepik/goodphoto)

Jakarta – Mungkin Urbanreaders sudah tak asing dengan istilah inner child. Namun bagaimana dengan inner child yang terluka, apakah kamu pernah mendengarnya atau punya pengalaman dengan hal tersebut?

Menurut Herdyan Loberto, psikolog sekaligus CO-Founder Sehat Mental Indonesia, inner child bukanlah masalah. Hal ini akan menjadi masalah ketika seseorang mengalami inner child yang terluka.

“Sebenernya inner childnya sendiri istilahnya netral karena itu bagian dari diri kita, kita kan gak bisa lepas, gak ujug-ujug sebesar ini, umur 20 tahun atau 18 tahun, jadi pengalaman masa kecil, pola asuh, pokoknya si inner child itu adalah sisi anak-anak kita yang ada pada kepribadian kita sekarang. Jadi inner child itu netral, bukan berarti kalo sekarang orang ngomong inner child itu kan cenderung pasti anggapnya problem ya,” kata Loberto dalam URlife 'Melepas Bayang Inner Child' bersama Urbanasia, Kumar (28/5/2021).

“Sebetulnya, kita kan punya sisi kanak-kanak dalam diri kita yang dulu kita jalani dari kecil, makanya kita walau sudah dewasa, seneng main game, seneng main sepeda, bentuknya aja yang beda. Kalau kecil main sama anak-anak kecil sepedaan, sekarang gowes ikut community,” lanjutnya.

Loberto menjelaskan, mereka yang memiliki ‘luka’ atau trauma di masa kecilnya atau inner child bisa berdampak pada diri kita saat dewasa. Bahkan parahnya hal itu bisa kita alami seumur hidup jika masalah tersebut belum juga diselesaikan.

“Waktu kecil kan ada pola asuh, lalu kita juga dari kecil kalau pola asuh kita sehat, bagus, kita kan punya kemampuan copying mechanism, artinya kita bisa punya cara untuk mengatasi tantangan-tantangan, kesulitan-kesulitan, problem-problem di masa kecil. Nah kalau kita bisa mengatasi hal itu secara baik, secara sempurna, positif, bayangin nanti dewasanya jadi selesai itu. Tidak ada problem yang kebawa sampai dewasa,” jelasnya.

Namun, imbuh Loberto, kalau dari kecil kita tak diajarkan cara untuk mengungkapkan keinginan kita dengan baik maka dampaknya saat dewasa kita akan kehilangan kemampuan yang memadai.

“Misalkan nanti bentuknya gedenya ngambekan. Atau misal umur balasan suka ngambek kalau ada kepingin apa yang nggak dipenuhi, terus mutung. Atau misal waktu kecil sering diperlakukan, maaf, dikasarin sama orang tua. Misal kepingin apa dilarang tapi tidak diberi penjelasan dan tidak diberi ruang untuk bernegosiasi menyampaikan argumen kita. Kalau sampai dewasa gak berhasil menemukan cara untuk memenuhi kebutuhannya, berarti sampai dewasa skill tersebut dia gak punya. Biasanya itu orang gak sadari bahwa itu akibat inner child yang bermasalah,” lanjutnya panjang lebar.

Mengapa Seseorang Bisa Mengalami Masalah pada Inner Child?

Saat ditanya benarkah masalah tersebut paling banyak terjadi saat anak berusia 0 – 6 tahun, Loberto tak menjawabnya dengan gamblang. Namun ia memastikan bahwa anak dengan usia tersebut memang ‘rawan’ untuk mengalami trauma yang membekas.

“Bayangin umur segitu itu kan masih kecil, kemampuan berpikirnya juga masih sederhana, jadi istilah gampangnya belum bisa melawan. Kalau sudah agak dewasa kan diperlakukan buruk, ada perlawanan. Jadi  kenapa umur-umur segitu rawan banget karena dia masih gak bisa melawan, jadi kalau diperlakukan buruk kemungkinan besar parah banget dampaknya,” jelas Loberto.

Bahkan Loberto mencontohkan, salah satu anak dari saudaranya yang sudah berusia 23 tahun pernah berkonsultasi padanya.

“Aku tuh ada kemarin, masih keponakan. ‘Om aku mau nanya nih, almarhum ayahku itu waktu kecil bilang sama aku, kamu tuh jad anak gak cerdas banget sih’. Bayangin, dia sekarang udah umur 23, itu ngebekas. Waktu itu dia masih SD. Percaya banget waktu orang tuanya bilang ‘kamu tuh jadi anak gak cerdas banget sih’. Itu sampai umur 23 tahun masih nempel, padahal memori kana da meluruhnya ya harusnya, tapi itu dia gak lupa,” cerita Loberto.

“Jadi yang pentingkan dia menyadari, bertanya, gak disimpen aja, terus dia juga punya logika berpikirnya ada. Jadi begitu aku jelaskan dia merasa masuk akal, udah selesai,” tegasnya.

Nah hal inilah yang menurut Loberto bisa menjadi catatan bersama, khususnya bagi para orang tua. Terutama untuk para ibu di rumah, Loberto berpesan agar kurangi berkomentar negatif dan perbanyak komentar positif untuk anak-anak kalian.

“Kan anak kecil itu kan lingkungannya masih terbatas dan orang terdekatnya itu adalah orang tuanya, biasanya paling deket lagi itu ibunya. Jadi khususnya ibu itu kurangi berkomentar negatif, banyakin yang postifnya,” pesan Loberto.

Faktor Apa Saja yang Bisa Membuat Seseorang Bisa Memiliki Inner Child yang Terluka?

Loberto menjelaskan ada banyak faktor yang bisa membuat seseorang memiliki inner child yang terluka. Namun semua itu biasanya disebabkan oleh hal-hal negative yang membuat perasaan kita di masa kecil terluka.

“Semua hal yang bisa menimbulkan negatif, perasaan terluka kepada dia. Misal yang dia itu masih kecil dan gak bisa memahaminya dengan netral, misalkan perceraian, child abuse, atau yang parah misalkan perundungan seksual. Jadi semua hal-hal buruk yang terjadi di masa kecil, yang secara normatif kita tahu tidak baik, itu bisa berakibat buruk sampai dewasa kalau dia tidak berusaha menyelesaikannya,” jelas Loberto.

“Jadi kalau kita punya luka masa kecil, kita harus berani menghadapi dan mengakuinya karena mengakui itu berarti jalan untuk kesembuhan, untuk perbaikan. Tapi kalau kita menyangkal, maka nanti kita tidak bisa diselesaikan, jadi unfinished business sampai dewasa,” tegasnya.

Bagaimana Cara Kita Tahu Bahwa Ada Masalah Pada Inner Child Kita?

Seperti yang djelaskan di awal, tidak semua orang sadar bahwa ia memiliki masalah pada inner child-nya. Namun sebenarnya hal ini bisa kita ketahui bukan dari diri sendiri saja, tapi juga orang di sekitar kita loh.

“Respons orang terdekat tuh bisa menunjukkan (kita memiliki inner child yang terluka) sebetulnya. Misal kita suka dibilang ‘kamu pemarah’ terus kita suka kaget, jadi waktu kita merespons itu ada orang melabel kita padahal kita gak merasa begitu. Bisa jadi kita gak paham sepenuhnya perbuatan tersebut. Jadi, baik diri sendiri maupun orang lain itu bisa memberi petunjuk kalau kita punya problem dengan inner child kita,” kata Loberto.

Jadi misalkan lebih khususnya, kata Loberto, kalau ada peristiwa-peristiwa yang membuat kita teringat dengan masa kecil kita. Misalnya saat kita beradu argument namun tiba-tiba kita ngambek, terlalu sakit hati, atau terlalu peka, menurutnya itu bisa jad saat kecil kita sangat sensitif.

“Bisa karena kita dilabelnya negatif oleh orang terdekat, orang tua, paman, atau teman. Dan kita percaya dengan label tersebut,” imbuhnya.

Cara Mengatasi Inner Child yang Terluka

Loberto mengatakan, trauma masa kecil yang tak ditangani sejak kecil akan membekas seumur hidup. Untuk itu hal tersebut harus ditangani secepat mungkin, namun caranya harus tepat ya guys.

“Yang bener itu bukan dilupakan, diakui dulu baru diselesaikan. Kalau bisa, nggak papa masih punya beberapa inner child yang terluka karena pengalaman atau trauma masa lalu, satu demi satu aja diselesaikan,” kata Loberto.

Loberto pun menyarankan kamu yang mengalami hal ini bisa memanfaatkan untuk berkonsultasi ke orang-orang yang kompeten. Apalagi saat ini isu kesehatan mental sudah menjadi hal yang mainstream sehingga makin banyak tempat untuk berkonsultasi. Mulai dari peer counselor, psikolog, maupun praktisi-praktisi di bidang kesehatan mental.

“Harus ditangani. Tapi tanyanya kalau ke orang tua yang berkompeten boleh, Cuma kalau nggak, tanyanya langsung pada yang profesional,” tegasnya.

Nah setelah masalah itu diselesaikan, barulah orang-orang terdekat di sekitarnya bisa memberikan motivasi. Sehingga kalimat-kalimat positif yang kita berikan tidak hanya sekedar memberikan efek yang semu.

“Bagusnya diselesaikan dulu, baru dimotivasi,” imbuh Loberto.

Untuk itu, Loberto menyarankan untuk menyembuhkan inner child yang terluka, langkah pertama yang harus dilakukan adalah harus ada pengakuan dan penerimaan dari diri sendiri. Kemudian dari situ perkuat dari sisi spiritual dengan berkonsultasi ke pemuka agama, dan penting juga nih dukungan sosial dari orang-orang di sekitar.

“Satu, sebaiknya memang dari dirinya sendiri harus ada kesadaran. Lalu mau berusaha untuk memperbaiki diri karena keluar dari hal-hal yang membuat anxiety itu pasti gak nyaman. Dia akan kembali ke cangkangnya yang bikin dia nyaman. Tapi itu kan gak dewasa. Jadi boleh lah sedikit demi sedikit keluar dari rasa nyaman tapi yang masih tolerable,” sarannya.

“Jadi itu ditangani aja. Satu demi satu secara perlahan sampai establish, sampai ada improvement, sampai luka-lukanya itu bisa diobati. Tapi memang itu langkah pertamanya orang tersebut harus menerima, mengakui (hal-hal buruk yang dialami di masa lalu). Jadi hal buruk di masa lalunya itu istilahnya disembuhkan juga, disadari bahwa itu salah. Jadi berawal dari diri sendiri, kemauan diri sendiri, kesadaran dari dirinya untuk berubah,” imbuh Loberto menjelaskan. 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait