URnews

Harga Rokok Bakal Naik, Ini Tanggapan Para Perokok Aktif

Nivita Saldyni, Jumat, 11 Desember 2020 18.33 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Harga Rokok Bakal Naik, Ini Tanggapan Para Perokok Aktif
Image: Ilustrasi rokok. (Pixabay)

Yogyakarta - Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani telah menyatakan bahwa pemerintah akan menaikkan tarif cukai rokok pada 2021 sebesar 12,5 persen. Akibatnya jelas, harga rokok akan naik, guys.

Kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) 2021 itu disampaikan Sri Mulyani dalam keterangan pers Kementerian Keuangan, Kamis (10/12/2020) lalu.

"Kenaikan cukai hasil tembakau ini akan menyebabkan rokok lebih mahal atau affordability index-nya naik dari 12,2 persen menjadi antara 13,7 hingga 14 persen. Sehingga makin tidak dapat terbeli," kata Sri Mulyani, Kamis (10/12/2020).

Lalu bagaimana respon para perokok aktif menanggapi kebijakan baru ini? Untuk tahu jawabannya, Urbanasia mencoba berbincang dengan salah satu perokok aktif di Yogyakarta yang bernama Avi.

Kepada Urbanasia, perempuan berusia 24 tahun ini mengaku sedih mendengar kebijakan tersebut. Apalagi baginya rokok sudah menjadi kebutuhan sehari-hari.

"Aku udah denger (kenaikan harga rokok), bahkan dari beberapa bulan yang lalu. Jelas aku sedih, secara rokok udah jadi bagian konsumsi yang setara sama makan buat aku. Dengan harga yang sekarang aja, ini aja udah harus hemat banget, jadi satu bungkus untuk dua hari, harus bener-bener cukup supaya bisa makan tiap hari," kata Avi kepada Urbanasia, Jumat (11/12/2020).

Bahkan, kalau disuruh memilih antara makan atau rokok, perempuan yang menghabiskan uang sekitar Rp 50.000 untuk tiga bungkus rokok setiap minggunya ini mengaku lebih memilih rokok.

"Kalau lebih dari stok (seminggu) itu, harus milih antara makan atau rokok, biasanya lebih pilih ke rokok. Karena buat mikir pas kerja dan kalo disandingin sama kopi tuh udah kenyang aja hehe," jelasnya.

Ia pun mengaku pesimis bahwa rencana pemerintah untuk membatasi pembeli rokok dengan hadirnya kebijakan ini berhasil. Apalagi saat ini menurutnya rokok telah menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia.

"Menurutku kalau argumen pemerintah menaikkan harga rokok untuk alasan kesehatan itu nggak cukup. Karena ada dimensi lain yang akhirnya cenderung kena dampak negatif dari kenaikan harga rokok, misalnya gimana nasib petani tembakau? Terus, apakah ini memang benar membatasi pembeli rokok? Soalnya rokok udah jadi kebutuhan masyarakat Indonesia, laki-laki maupun perempuan, mau tua atau muda. Merokok sendiri udah jadi budaya di masyarakat Indonesia," jelasnya panjang lebar.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Andre (23), pekerja swasta di Yogyakarta. Meski sedikit berat menerima kenyataan harga rokok akan naik, namun ia mengaku akan tetap membelinya.

"Memang mahal sih, tapi kadang ketika butuh ya mau gimana ya kita harus mempertimbangkan banyak hal juga. Karena rokok itu menurutku adalah bagian dari hidup," katanya saat dihubungi Urbanasia.

Bahkan meski harga rokok akan naik di tahun depan, ia tak keberatan untuk menyisihkan sebagian penghasilannya untuk mengonsumsi rokok. 

"Ada satu hal yang harus dikeluarkan untuk biaya hidup itu dan rokok salah satunya. Tapi itu tidak besar, mungkin sepersekian persen dari biaya kebutuhan. Tapi tetap ada dan tetap akan dianggarkan. Namun, penggunaannya mungkin lebih hemat atau bisa pakai alternatif rokok-rokok yang lebih murah lainnya," jelas laki-laki yang menghabiskan uang Rp 50.000 seminggu untuk dua bungkus rokok itu.

Ketika ditanya soal langkah pemerintah untuk menekan jumlah perokok di Indonesia lewat kebijakan ini, Andre mengaku tak yakin cara ini berhasil 100 persen. Apalagi kalau seseorang sudah kecanduan rokok, kata Andre, pasti akan selalu berusaha untuk memenuhinya.

"Menurutku solusi seperti ini mungkin ya bisa menekan dengan membatasi jumlah perokok yang mampu membeli rokok itu sendiri. Tapi apakah ini ampuh 100 persen untuk mengurangi jumlah perokok? Tidak juga karena memang ketika seseorang kecanduan rokok atau perokok aktif, mereka akan mengusahakan apapun untuk membeli rokok," jelasnya.

Lalu bagaimana dengan rencana pemerintah untuk mengurangi jumlah perokok anak usia 10 -18 tahun dan juga perempuan? Begini tanggapan Andre.

"Sangat disayangkan kalau tujuannya untuk menekan jumlah perokok, namun produksi tembaku lainnya tetap jalan dengan harga yang murah. Menurutku pemerintah harus bisa mengontrol, tidak hanya rokok yang legal namun juga rokok yang dijual bebas tanpa dikenakan pajak, itu juga penting. Menurutku pemerintah harus punya solusi lain untuk menekan jumlah perokok anak dan perempuan, semisal cara ini dilakukan," jelasnya.

Namun terlepas dari itu semua, Avi dan Andre mengaku akan tetap membeli rokok, bahkan jika pemerintah menaikkan tarif CHT di 2021.

Keduanya juga rela memilih cara yang lebih ribet, dengan membeli rokok lintingan untuk mendapat harga yang murah.

"Sejauh ini solusi yang saya gunakan dengan menggunakan rokok lintingan yang bisa dibeli di toko tembakau. Dan itu bisa dibeli dengan harga murah dan lebih hemat, meskipun lebih ribet," kata Andre.

"Aku akan tetap beli (rokok), tapi dengan segala cara harus sehemat mungkin. Dan ada opsi lain sih sebenernya selain harus hemat rokok, yaitu dengan cara melinting tembakau. Apalagi sekarang udah banyak banget toko tembakau yang buka, tembakaunya pun juga punya kualitas sendiri. Jadi cuma bedanya sama rokok, kita harus linting sendiri. Dengan cara itu tetap beli rokok, misal seminggu sekali dan hemat banget. Sisanya konsumsi tembakau," ungkap Avi.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait