URtrending

Hikmah Wabah COVID-19 dan Kenormalan Baru

Deny Giovanno, Jumat, 19 Juni 2020 10.45 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Hikmah Wabah COVID-19 dan Kenormalan Baru
Image: Ilustrasi kebijakan new normal. (Girindra Syahputra/Urbanasia)

Jakarta - Slavoj Zizek dalam Pandemic! COVID-19 Shakes the World pernah mengatakan seperti berikut ini:

“What we should accept and reconcile ourselves to, is that there is a sub-layer of life, the undead, stupidly repetitive, pre-sexual life of viruses, which has always been there and which will always be with us as a dark shadow, posing a threat to our very survival, exploding when we least expect it.”

Jika ada pelajaran yang dapat kita ambil dari perkataan Zizek di atas, maka itu adalah tentang bagaimana kita menerima wabah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban kita dan pentingnya untuk belajar hidup berdampingan dengannya. Wabah, tak ada bedanya dengan perang, sesuatu yang buruk, namun sangat dibutuhkan oleh umat manusia guna melakukan lompatan kemajuan dalam peradabannya.

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa berbagai kemajuan teknologi yang kita nikmati hari ini seringkali didahului oleh adanya kebutuhan umat manusia untuk mempertahankan diri atau kepentingan militer.

Sebut saja telepon genggam yang mungkin menjadi gawai yang kalian gunakan untuk membaca artikel ini, meskipun sejarah populer menyatakan telepon genggam pertama kali diluncurkan pada tahun 1973 oleh Dr. Martin Cooper dari Motorola, namun gawai tersebut bukanlah gawai yang mengawali perkembangan telepon genggam.

Telepon genggam bermula dari gawai SCR-194 dan 195, radio dengan gelombang AM portabel pertama yang diproduksi oleh U.S. Army Signal Corps Engineering Laboratories pada tahun 1938.

Bila kita melihat siapa yang memproduksinya, tentu menjadi jelas bahwa gawai tersebut mulanya dipergunakan untuk keperluan komunikasi di medan perang. Ya, untuk perang. Hal yang buruk, bukan?

Wabah dan perang, keduanya merupakan hal buruk, namun tak jarang hal-hal yang luar biasa manfaatnya bagi peradaban umat manusia terlahir dari upaya untuk menyiasati kedua hal tersebut. 

Wabah yang kita alami hari ini, setidaknya telah memaksa kita semua untuk kembali mengkaji ulang segala prioritas dalam tiap aspek kehidupan kita, baik pada aspek publik maupun privat, dan juga secara perlahan namun pasti mengembalikan kepercayaan publik terhadap sains, dimana kepercayaan ini sebelumnya sempat dikoyak oleh segelintir oknum di masyarakat kita yang menunggangi era post-truth guna menyebarkan disinformasi secara sistematis untuk memuluskan kepentingan tertentu.

Wacana new normal atau kenormalan baru yang saat ini sedang mengemuka tentunya lebih dari sekadar relaksasi kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saja, ia meliputi perubahan yang cukup mendasar dalam tata cara kita berkehidupan sehari-hari, mulai dari bagaimana kita melaksanakan rapat di kantor hingga bagaimana proses pengembangan sumberdaya manusia (SDM) dilakukan. 

Apa yang saya sebutkan terakhir seringkali kurang menjadi perhatian masyarakat di tengah pandemi ini, setidaknya ia akan selalu kalah pamor bila dibandingkan dengan permasalahan ekonomi, padahal permasalahan SDM ini sangat mungkin sekali menjadi bom waktu di masa depan apabila kita tidak menyiasatinya secara baik hari ini.

Pemerintah harus berhasil memanfaatkan momentum wabah ini untuk merancang ulang strategi pengembangan SDM di Indonesia sebagaimana para penemu teknologi di masa lampau yang sempat diceritakan tadi. 

Wabah telah berhasil membuat kita melihat permasalahan riil yang menimpa sektor pendidikan dan kesehatan kita, mungkin tanpa keberadaan wabah ini butuh waktu yang cukup panjang bagi kita untuk menyadarinya. 

Maka, langkah selanjutnya adalah untuk memformulasi strategi jangka panjang yang diperlukan untuk menuntaskan berbagai permasalahan tersebut, jangan sampai kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang merugi karena tidak mengambil pelajaran yang mahal dari wabah.

 

**) Penulis merupakan Direktur Politik & Kebijakan Publik Merial Institute

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait