URtrending

'Normal Baru', Apa Sih yang Baru?

Firman Kurniawan S, Kamis, 28 Mei 2020 15.33 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
'Normal Baru', Apa Sih yang Baru?
Image: Ilustrasi New Normal. (Pixabay)

Jakarta - Nampaknya, belum ada satu formula pun yang digunakan di suatu negara, berhasil mutlak menangkal penyebaran COVID-19, ketika diterapkan di negara lain. Vietnam, yang dipuji sebagai negara yang berhasil menangani penularan dengan nol kematian, ketat melakukan pengendalian.

Metode yang diterapkannya, sejak Februari pendatang yang tiba di bandara Vietnam, dideteksi suhu tubuhnya dan mengisi formulir deklarasi diri. Formulir ini berisi riwayat perjalanan, kontak personal yang dilakukan, serta kondisi kesehatan mereka.  

Yang terdeteksi dengan suhu tubuh lebih dari 380C, dibawa ke fasilitas medis terdekat untuk pengujian yang sahih. Orang Vietnam yang kembali dari luar negeri, dikarantina selama 14 hari dan diuji untuk COVID-19. Kebijakan ini juga berlaku pada orang asing yang datang ke Vietnam. Mereka yang telah melakukan kontak dengan orang yang terinfeksi, dipublikasikan dan diisolasi.

Dalam keadaan tertentu, pemerintah memberlakukan karantina wilayah. Terkait penegakan aturan, mereka yang terbukti berbohong dalam deklarasi diri, dapat dituntut secara pidana (The Conversation, April 2020). 

Tindakan yang sama ketatnya, juga dilakukan New Zealand. Berdasar laporan Sophie Cousins, yang dimuat dalam The Lancet, Mei 2020, ketika negara ini menemukan 1500 kasus COVID-19 dengan 20 kematian, segera diberlakukan strategi eliminasi.

Aplikasi strategi ini berupa karantina wilayah yang ketat dan diumumkan langsung oleh Perdana Menteri Jacinda Arden. Sebulan setelah kasus pertamanya, New Zealand mengumumkan keberhasilannya menekan penularan hingga 102 kasus dan nol kematian. Pengambilan keputusan yang cepat ini, memenangkan pujian internasional, termasuk dari WHO.

Sedangkan Jepang, meskipun dekat dengan Cina, tak mengalami penularan Covid-19 separah Cina, Eropa dan Amerika Utara. Berdasar laporan DW.com, Maret 2020, Jepang memiliki 10 kluster wabah dengan 1.200an kasus penularan dan 43 kematian. Hanya beberapa infeksi baru yang dilaporkan terjadi, di saat mestinya ada ledakan penularan.

Negara Jepang yang sangat padat penduduknya dan banyak yang berusia lanjut, tak terlalu ketat melakukan pengendalian. Meskipun punya kapasitas untuk membuat tes diagnostik per hari yang besar, Jepang hanya menguji 20 kali lebih sedikit dari Korea Selatan.

"Hanya pasien bergejala parah yang diuji" kata Masahiro Kami, ahli virus di Medical Governance Research Institute.

Itu artinya jumlah kasus yang tak dilaporkan sangat tinggi.

Namun ketika penularan meletus, di sebuah sekolah dasar misalnya, pihak berwenang menutup semua sekolah di prefektur dan menyatakan keadaan darurat. Setelah tiga minggu, penyebaran virus terkendali. Luasnya penggunaan masker, diduga memperlambat penyebaran COVID-19. Ini juga ditunjukkan oleh penurunan tajam jumlah pasien flu dalam tujuh minggu sejak pecahnya pandemi.

Penelitian oleh lima dokter Barat, termasuk Fabian Svara dari kelompok penelitian Caesar di Bonn dan Matthias Samwald dari Universitas Kedokteran di Wina, menemukan bahwa masker mengurangi penyebaran tetesan atau aerosol, yang mengandung partikel virus oleh pemakainya.

Hal yang juga penting dicatat adalah pengalaman Belanda. Di negara yang menerapkan inteligent lockdown ini, semula dikecam akibat tingginya angka kematian, seolah pemerintah membiarkan warganya menghadapi kematian demi memperoleh herd immunity. Namun terhitung pertengahan Mei 2020 jumlah kematian yang dilaporkan di Belanda turun. Jumlah infeksi baru pun turun, jadi 161 kasus. Terendah sejak 14 Maret (Ductchnews.NL, Mei 2020). 

Karantina wilayah cerdas, digambarkan penduduknya dalam sebuah wawancara podcast Digital Dilemma, Mei 2020, sebagai penanganan oleh pemerintah yang menganggap warga negaranya telah dewasa dalam bertindak. Namun “pembiaran” itu disertai instruksi jelas untuk jaga jarak minimal 1,5 meter, tak perlu keluar rumah kecuali ada keperluan mendesak. Dalam hal perlu dijalankannya aktivitas, pemerintah memberi izin. Lewat pengendalian ini, terjaga kondisi sosial, ekonomi maupun kesehatan psikologis warganya.

Memang tak dapat dibangun kesimpulan kokoh dari uraian bersumber berbagai media di atas. Selain gaya bahasa dan sudut pandang penulisannya berbeda, informasi disajikan tanpa kaidah metodologis tertentu. Namun setidaknya diperoleh suatu pola samar, yang dapat dipelajari: tak ada satu negara pun yang membiarkan masyarakatnya mengalami kekosongan informasi. 

Kekosongan informasi ini turut disumbang oleh informasi tak bermakna, hasil olah kata istilah. Ini membingungkan masyarakat. Hendak damai atau melawan virus misalnya, yang harus masuk dalam persepsi masyarakat, virus ini ada, penularannya masif, sehingga tak dapat diabaikan. Demikian juga new normal sebagai kebijakan yang hendak diterapkan.

Kebijakan demi menjaga kondisi ekonomi, sosial dan psikologi masyarakat ini, perlu dijelaskan tindakan penerapannya. Masyarakat dan aparat penegak hukum di tingkat teknis butuh panduan jelas, apa yang harus dilakukan. Juga sanksi yang diberikan jika terjadi pelanggaran.

Perdebatan canggih antar elit, harus diakhiri, sebab tak berguna bagi masyarakat. Hanya memicu pengabaian penularan. Jika kekosongan berlarut-larut, tak heran muncul persepsi, pemerintah tak serius melindungi rakyatnya. Yang ada hanya produksi jargon. Keadaan tak membaik, justru upaya pemulihan kian sulit dan mahal.

Pesan yang kuat terkait normal baru, Covid-19 berdampingan dengan kehidupan normal masyarakat. Sebagaimana beberapa penyakit lain maupun tindakan kriminal yang tak semuanya bisa dibuat jadi nol, harus tetap diwaspadai. Berdampingan bukan berarti damai.

Kenormalan sosial, ekonomi dan kesehatan psikologis dipulihkan, namun virus tak kenal normal baru. Artinya, tak ada pelonggaran kewaspadaan. Lewat media digital, petunjuk ringkas, jelas dan konsisten makna normal baru, dapat digaungkan kencang.

 

 

**) Penulis merupakan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, serta pendiri LITEROS.org

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait