URtainment

Kisahkan Perjuangan Petani, "Kirangan" Jadi Best Agricultural Short Film 2020

Nunung Nasikhah, Kamis, 26 Maret 2020 21.00 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Kisahkan Perjuangan Petani, "Kirangan" Jadi Best Agricultural Short Film 2020
Image: Film Kirangan. (Tim Coco Film)

Malang – Sebuah film berjudul "Kirangan", produksi mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) sukses menyabet penghargaan sebagai “Best Agricultural Short Film” pada ajang Agriculture Engineering Week (AEW) 2020 di Jogja National Museum pada pertengahan Maret ini.

AEW sendiri merupakan ajang dua tahunan yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Mahasiswa Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada.

Tahun 2020 ini, AEW digelar dengan mengangkat tema "Javanica" di Balik Tanah yang Makmur. Gelaran ini juga menggelar beberapa perlombaan salah satunya national short movie competition yang diikuti 339 peserta dari 48 SMA/SMK Sederajat dan 22 Perguruan Tinggi.

Dari 339 peserta tersebut akhirnya terpilih tujuh film terbaik salah satunya adalah “Kirangan”.

Lugas Rumpakaadi, produser film pendek ini bercerita bahwa film besutannya diilhami oleh fenomena buruh tani yang ada di Desa Kucur, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang.

Sebagai sebuah area penghasil jeruk di Malang, nasib para petani di desa tersebut jauh berbeda dengan kampung penghasil jeruk lainnya yakni Desa Selorejo.

“Memang banyak buruh tani asal Desa Kucur yang justru melakoni pekerjaan kasar di Desa Selorejo. Hal tersebut ternyata diakibatkan oleh belum optimalnya lahan pertanian di Desa Kucur itu sendiri,” kata Lugas.

Fenomena tersebut menarik Lugas dan timnya untuk mengangkatnya menjadi sebuah film. Nama “Kirangan” sendiri diambil dari sebuah kata dalam bahasa Jawa yang bermakna “ketidaktahuan”.

Sesuai maknanya, “Kirangan” berkisah mengenai perjuangan seorang pemuda bernama Yahya yang mencoba mengangkat derajat hidup keluarganya.

Sepeninggal sang ayah, Yahya sebagai tulang punggung berusaha untuk meningkatkan taraf hidup  keluarganya dengan bekerja sebagai buruh tani di desa lain dalam kurun waktu yang cukup lama.

Pada akhir film tersebut, Yahya menyesali keputusannya. Hal tersebut lantaran setelah beberapa lama ia bekerja, Yahya pulang ke rumah dan mendapati rumahnya tak lagi berpenghuni.

Kepala Desa dan Kepala RT mendatangi rumahnya untuk memberikan kabar bahwa sang ibu telah tiada. Sang ibu telah berwasiat untuk tidak memberikan kabar kepada Yahya sebab tak ingin kabar kepergiannya justru menjadi beban bagi Yahya.

Menurut Lugas, film “Kirangan” ini memiliki editing yang sangat matang, gambar paling stabil, paling rapi, ditambah dengan metode editing color grading sehingga sebagian besar warna dalam film menjadi rata.

"Dengan keunikan film yang menggunakan bahasa Jawa Timuran, “Kirangan” akhirnya bisa meraih best agricultural short film," kata Lugas.

1585225478-kirangan-(3).jpeg

Salah satu adegan di film Kirangan. (Tim Coco Film)
 

Sang sutradara, Fadel Irfan menyebut bahwa proses syuting film “Kirangan” membutuhkan ketelatenan dalam latihan karena mayoritas dilakukan outdoor dan melibatkan banyak warga sebagai pemeran film.

"Meskipun tidak memiliki pengalaman berakting para tokoh diusahakan harus natural. Jadi untuk mahasiswa FP yang tertarik dengan bidang konten kreator seperti saya harus mendalami untuk memahami fenomena yang ada di wilayah tersebut secara nyata dan tidak dibuat-buat,” tutur Fadel.

Lugas, Fadel dan timnya bernaung di bawah nama “Coco Film” yang merupakan anak usaha dari The Cocopost, sebuah startup media milik Lugas dan Fadel Irfan.

Lugas berperan sebagai produser, sementara Fadel berperan sebagai Sutradara, Screenwriter, dan actor. Keduanya juga dibantu oleh Puput Fatmala sebagai Desainer Grafis, Dhewangga Arie Syaputra sebagai Aktor dan Soundman, Farrad Zidane sebagai Director of Photography dan Yahya Haryanto sebagai Aktor utama serta Achmad Khalid sebagai Aktor dan Kameramen.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait