URtrending

Komisi VIII DPR Anggap RUU PKS Sulit Dibahas, Komnas Perempuan: Di mana Sulitnya?

Nivita Saldyni, Rabu, 1 Juli 2020 18.28 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Komisi VIII DPR Anggap RUU PKS Sulit Dibahas, Komnas Perempuan: Di mana Sulitnya?
Image: Ilustrasi hukum/Pixabay

Jakarta – Usul pencabutan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) oleh Komisi VIII DPR dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 menimbulkan tanda tanya besar di benak masyarakat.

Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani pun ikut mempertanyakan keputusan yang diambil oleh Komisi VIII DPR, Urbanreaders.

“Sebenarnya kalau kita ditanyakan sulit, itu kita perlu bertanya lagi kepada DPR nih. Kesulitannya sebenarnya di mana? Ini kan bukan masalah kesulitan, tapi bagaimana political will dari DPR yang mempunyai kewenangan membuat regulasi payung hukum sebagai perlindungan,” kata Tiasri saat dihubungi Urbanasia, Rabu (1/7/2020).

Menurutnya, RUU PKS sangat penting dibahas dan segera disahkan karena semakin hari kasus-kasus kekerasan seksual semakin meningkat. Bukan hanya tentang perempuan, namun juga soal perlindungan bagi setiap warga negara Indonesia.

“Kekerasan seksual semakin hari mengalami peningkatan dengan berbagai bentuknya. Bukan hanya kepentingan perempuan saja, tapi bagaimana perlindungan bagi setiap warga negara bebas dari perilaku kejahatan seksual yang akan mengancam siapapun. Itu kan poin pentingnya,” imbuhnya.

Nah menurutnya, DPR sebagai salah satu lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk pembahasan dan pengesahan RUU PKS ini tak menjalankan kewenangannya dengan sebaik-baiknya.

“Coba kita bandingkan dengan pengesahan RUU Korupsi, dengan UU Minerba. Sangat cepat kok mereka (DPR) membahas dan mengesahkannya. Itu yang jadi tanda tanya besar masyarakat ketika menanyakan ‘kok alasannya RUU PKS ini sangat sulit dibahas di DPR?" imbuhnya.

Seperti yang kita ketahui, Komnas Perempuan telah mendorong DPR untuk memasukkan RUU PKS dalam Prolegnas sejak tahun 2015.

Selanjutnya, DPR menunjuk Komisi VIII pada awal 2018 untuk membahas dan mengesahkan bakal payung hukum untuk menangani kasus kekerasan seksual di Indonesia itu. Namun hingga saat ini RUU PKS belum juga disahkan. Hal ini pun membuat Triasri kembali mempertanyakan proses tersebut.

“Kita tahu dari awal ini (RUU PKS) dibahas di Komisi VIII, ada yang pro dan kontra. Nah yang menolak ini kan membaca RUU dari awal itu memberitakan dengan berita-berita hoaks. Ini tidak dilihat secara utuh, sebenernya apa sih substansi yang memang ada dalam RUU ini, untuk apa dan mengapa RUU ini sangat penting dibahas dan disahkan. Ini menjadi sebuah proses bagaimana masyarakat sipil mempertanyakan lagi, ada nggak sih keterwakilan yang benar-benar mewakili suara rakyat? Political will DPR itu di mana?” beber Triasri.

Apalagi menurutnya selama ini telah banyak gerakan-gerakan masyarakat sipil yang turut mengkampanyekan pentingnya RUU PKS ini. Bahkan dorongan masyarakat sipil kepada DPR untuk segera membahas dan mengesahkan RUU ini sangat sering dilakukan, namun lagi-lagi harus terganjal di Komisi VIII DPR RI. Padahal hingga saat ini, kasus-kasus kekerasan seksual di Indonesia kian hari kian meningkat.

Untuk itu, ia pun berharap RUU PKS bisa segera dibahas dan disahkan agar setiap warga negara Indonesia bisa mendapatkan rasa aman, mendapatkan ruang yang aman dan nyaman untuk melakukan aktivitas dalam menjalani kehidupannya.

“Komnas Perempuan sebagai lembaga negara yang memiliki mandat untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, salah satunya adalah penghapusan kekerasan seksual, kami mendorong kepada DPR untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” tutupnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait