Dunia Masak-memasak: Kewajiban atau Skill?

SENIN (8/8/2022) lalu, Presiden RI ke-4 Megawati Soekarnoputri melontarkan pernyataan kontroversial tentang ketidakwajaran perempuan yang tidak bisa memasak. Menurut presiden perempuan pertama tersebut, setinggi apapun jabatan karier dan sesibuk apapun pekerjaan perempuan, ia harus tetap bisa memasak. Sebab perempuan yang bisa memasak di rumah berkontribusi untuk menciptakan keluarga sehat, terutama memenuhi gizi anak agar tidak mengalami stunting (gagal tumbuh kembang).
Pernyataan Megawati ini cukup membuat miris. Pasalnya, pandangan ini semakin menegaskan tentang peran tradisional perempuan yang tak boleh lepas dari urusan domestik/rumah tangga seperti memasak. Terlebih lagi, ini dilontarkan oleh seorang perempuan yang pernah menempati posisi tertinggi dalam suatu negara: presiden!
Kalau sudah begini, tak peduli bagaimana pun kiprah perempuan dan pencapaian macam apapun yang diraihnya, citra perempuan akan melulu selalu dilekatkan pada urusan rumah tangga. Padahal lewat beragam upaya peningkatan kesetaraan gender, narasi yang hendak dibangun adalah kerja sama antara perempuan dan laki-laki tanpa memandang suatu gender lebih dominan dibanding yang lainnya.
Urusan memasak di rumah tangga tidak pernah menjadi kewajiban seorang perempuan, melainkan soal siapa yang lebih terampil dalam mengolah rasa. Tidak ada yang boleh mengatakan bahwa tidak lengkap fungsinya sebagai perempuan apabila tidak pandai memasak. Tidak ada yang boleh mengatakan, tidaklah seorang perempuan menjadi istri dan ibu yang baik apabila tidak pandai memasak. Tidak ada yang boleh mengatakan, fitrah perempuan adalah membuat suami dan anak-anaknya bahagia dengan masakannya.
Asal Mula ‘Tugas’ Memasak dalam Dunia Perempuan
Sejak Zaman Berburu dan Mengumpulkan Makanan dimulai pada dua juta tahun yang lalu, ditemukannya api dan ketersediaan jumlah makanan menjadikan manusia hominid pada masa itu mulai menetap dan memiliki banyak anak. Dari situlah pembagian tugas berdasarkan gender dimulai.
Karena perempuan mengalami siklus kehamilan dan harus menyusui, aktivitasnya di luar sangat terbatas sebab harus menjaga dan merawat anak. Maka dari itu setiap kali laki-laki selesai berburu dan mengumpulkan bahan makanan, perempuan kemudian mengolahnya di rumah untuk dimasak dan bisa dimakan (HISTORY.com, Hunter-Gatherers, 2018).
Baca Juga: ‘Nebeng’ Popularitas di Citayam Fashion Week
Dengan berkembangnya sistem hierarki dan kompleksitas komunitas manusia, lambat laun peran gender dipandang berdasarkan kemampuan reproduksional. Karena keterbatasan gerak perempuan saat hamil dan harus lebih banyak menghabiskan waktu di rumah untuk pemulihan pasca-lahiran, maka ditetapkan ‘tugas’ perempuan meliputi hal-hal yang bersifat domestik seperti urusan kebersihan rumah dan memasak (Yuval Noah Harari, Sapiens: A Brief History of Humankind, 2015).
Sejak itu pula, memasak di rumah menjadi fungsi yang melekat pada diri perempuan, utamanya bila dia telah menjadi istri dan ibu. Menjadi kewajibannya untuk memastikan perut suami bahagia dengan masakan enak sang istri. Adalah tugas utamanya juga untuk memasak makanan bergizi bagi anak-anaknya agar tidak kekurangan nutrisi.
Hal ini semakin diperteguh dengan pernyataan-pernyataan yang terlihat sebagai pujian, namun sebenarnya sedang menegaskan peran tradisional perempuan istri dan ibu sebagai orang yang harus memasak di rumah. ‘Masakan buatan Ibu memang nggak ada yang bisa ngalahin’; ‘Beruntungnya punya istri yang cantik dan jago masak’; ‘Masakan istri yang enak, bikin suami betah di rumah’; dan beragam bentuk ‘pujian’ lainnya.
Ketika Laki-Laki Adalah Chef dan Perempuan Sekadar Tukang Masak
Masak-memasak menjadi pekerjaan yang dilekatkan pada perempuan. Namun ketika bentuk pekerjaan ini dikomodifikasi dan dimonetisasi menjadi sebuah industri, secara mengejutkan terjadi ketimpangan gender yang begitu besar dan sangat mengerdilkan peran perempuan.
Di industri kuliner Amerika Serikat, 81 persen pekerjaan sebagai chef dilakukan oleh laki-laki (Hartke, 2018). Sedangkan melansir dari Office of National Statistics (2018) di negara Inggris, hanya 17 persen perempuan yang menjadi chef di negara pimpinan Ratu Elizabeth tersebut.
Di Indonesia tidak ada data statistik yang secara gamblang menyebutkan persentase perempuan yang menjadi chef. Namun jika kita amati saat bertandang ke restoran-restoran kelas menengah, kebanyakan mereka yang memasak adalah laki-laki. Pun celebrity chef yang paling populer di tanah air juga kebanyakan laki-laki, seperti Chef Juna dan Chef Arnold.
Walaupun memasak diidentifikasi sebagai tugas perempuan, industri kuliner menjadikan perempuan sebagai warga kelas dua yang tidak mampu menarik investor, sehingga dengan demikian perempuan dalam industri kuliner tidak memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Laki-laki yang telah disematkan padanya sifat agresivitas, maskulin, dan kompetitif, terlihat lebih meyakinkan untuk menjadi pemimpin yang expert dan profesional di industri kuliner (chef). Sedangkan perempuan yang terlihat lembut dan penyayang diposisikan sebagai tukang masak/cook (Druckman, 2010).
Prasangka ini semakin dipertegas oleh visualisasi di media massa, utamanya televisi atau internet berbasis tayangan streaming. Perempuan yang memasak dipersepsikan sebagai seseorang yang lembut, menghadirkan cita rasa masakan rumahan yang membuat rindu. Sedangkan laki-laki yang memasak digambarkan sebagai sosok yang menyukai tantangan dan kreatif dalam berkreasi (Kyoung Min Min, Exploring Gender Differences in Media’s Potrayals of Chefs, 2019).
**) Penulis merupakan Pakar Komunikasi Politik, Gender, dan Digital Society dari UI.
**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, dan bukan pandangan Urbanasia