URnews

Imortalitas, Utopia Artificial Intelligence?

Firman Kurniawan S, Rabu, 12 Juli 2023 21.35 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Imortalitas, Utopia Artificial Intelligence?
Image: Freepik

Jakarta - Hukum alam mengajarkan pada manusia: sakit adalah bagian hidup. Posisinya berdampingan dengan sehat. Namun saat sakit menimbulkan keadaan tak nyaman, terhambatnya aneka aktivitas, bahkan sering diakhiri kematian, manusia menolak sakit. Berbagai upaya dilakukan untuk menolak sakit, menyembuhkannya ketika tak bisa terhindar dari sakit, bahkan mengakali kematian.

Upaya manusia menolak sakit, jadi catatan panjang sejarah peradaban. Aktivitasnya telah berlangung ribuan tahun. Globalwelnessinstitute.org, 2020, dalam “History of Wellness”, menyajikan catatan kronologis manusia dalam menjaga keadaan sehatnya. Catatan itu disajikan dalam diagram “The Evolution of Wellness” yang dimulai sejak tahun 3000-1500 sebelum masehi (SM), hingga disusunnya laporan tentang pencapaian kesehatan dunia, tahun 2018.

Tercatat, dalam periode waktu tahun 3000-1500 SM, upaya utama manusia tetap sehat, dilakukan melalui Ayurveda. Ayurveda adalah serangkaian ajaran tentang kesehatan yang dikembangkan penganut Hindu di India. Praktiknya yang masih berlanjut hingga kini, dipertahankan melalui penceritaan generasi ke generasi. Rangkaian upayanya berpusat pada pemastian keselarasan tubuh, pikiran dan jiwa. Menurut ajaran ini lebih lanjut, untuk tetap sehat, tiap orang punya keadaan yang berbeda dari orang lainnya. Masing-masing orang punya susunan kebutuhan yang khas. Ini jika yang diukur nutrisi, gerak tubuh, interaksi sosial, hingga derajat kebersihan diri. Untuk sehat, keseimbangan susunan kebutuhan itulah kuncinya. Seluruhnya dapat dipraktikkan melalui yoga maupun meditasi, yang dijalankan berkala oleh tiap orang.

Pada periode yang kurang lebih paralel dengan yang berlangsung di India, tahun 3.000 – 2.000 SM para menganut ajaran Taoisme dan Buddhisme di Cina, mengembangkan Traditional Chinese Medicine (TCM). Inti menjaga kesehatan, melalui penerapan perspektif holistik yang berpusat pada keharmonisan kehidupan. Seluruhnya untuk sehat dan sejahtera. Praktik TCM yang hingga kini dapat disaksikan, akupunktur, konsumsi produk herbal, qi gong dan tai chi. Warisan-warisan menjaga kesehatan kuno ini, bahkan menarik perhatian para peneliti di negara-negara Barat.

Pada periode perkembangan berikutnya, gagasan tentang kesehatan ditandai pencapaian pemikiran, hingga ke tingkat filosofis. Dalam rentang tahun 500-50 SM, sehat dapat dicapai dengan cara mencegah keadaan sakit, alih-alih mengobatinya. Manusia bisa tetap sehat, melaui pengaturan pola makan, memperhatikan keadaan lingkungan, hingga pengaturan jumlah populasi manusia yang hidup di sekitarnya. Seluruhnya bertujuan mencegah masuknya kuman maupun faktor penyebab sakit, yang berasal dari luar tubuh. Dengan mengatur secara proporsional keadaan eksternal ini, sakit dapat dicegah.

Momentum yang dapat disebut sebagai periode sangat penting dari sejarah pencapaian kesehatan global, berlangsung di abad ke-20. Periode ini oleh Global Wellness Institute disebut sebagai “Wellness Spreads and Get Serious”, kesehatan yang menyebar dan beralih jadi serius. Momentum pentingnya ditandai oleh terbitnya Laporan Flexner, oleh Carnegie Foundation, di tahun 1910. Laporan ini memuat kritik terhadap sistem pendidikan kedokteran Amerika Utara, yang karena kurangnya standar dan ketelitian ilmiah, mempertanyakan keabsahan seluruh bentuk pengobatan selain biomedis. Ini mengakibatkan sebagian besar sistem pengobatan alternatif homeopati, naturopati ditolak dari pendidikan kedokteran arus utama. Pendidikan dikembangkan dengan berorientasi pada penyakit maupun basis bukti yang mendasari pengobatan modern. Di dalam periode ini, tapatnya pada tahun 1950, penggunaan kata kesehatan secara modern dimulai. Modernisasi itu ditandai oleh dikembangkannya model kesehatan komprehensif, berikut alat penilaiannya yang baru.

Yuval Noah Harari, 2018, dalam bukunya, “21 Lessons for 21st Century”, mengambarkan keadaan manusia hari ini, saat mengalami gangguan kesehatan, tak perlu khawatir dengan geografi keberadaanya. Orang sakit ini akan mendapat pemulihan kesehatan standar, yang dikembangkan berdasar ilmu kedokteran modern. Keadaan itu sangat berbeda jika dibanding abad sebelumnya. Jika Si Sakit ada di Mesir mungkin akan dipulihkan oleh para dukun yang berdoa mendatangkan pertolongan para dewa. Jika ada di pedalaman Afrika, akan dipulihkan lewat konsumsi daun-daun tumbuhan. Dan jika ada di Eropa, akan ditangani para dokter dengan dengan pengetahuannya yang dikembangkan sejak zaman Hippocrates, di Yunani.

Ilmu kedokteran yang dikembangkan negara-negara barat, dan berhasil merebut posisi sebutan sebagai kedokteran modern, terus menyebar. Keterkaitannya dengan abad ke-21 jelas jejaknya. Kini seluruh kedokteran modern, sebagaimana ungkapan Harari jadi realitas pencapaian kesehatan global. Perkembangannya ditandai dengan keterlibatan teknologi informasi, yang menunjang pengambilan keputusan secara cepat dan akurat.

Lewat laman website-nya, foreseemed.com, 2023 pada artikelnya yang berjudul “Importance of Data Collection in Healthcare” menyebutkan, dalam industri kesehatan peran data sangat mendasar. Lewat sistem informasi terbaru, para dokter maupun tenaga kesehatan dapat mengumpulkan data maupun keadaan pasien secara real time. Adanya basis data yang terbaru dan akurat, dapat membuat perbedaan yang nyata antara hidup dan mati, orang yang hendak dipulihkan kesehatannya. Dokter membutuhkan akses data semacam itu untuk pemulihan pasiennya.

Guna memenuhi keperluan itu, dikembangkan teknologi berbasis artificial intelligence (AI). Kecerdasannya, terus mengalami evolusi. Catatan evolusi ini, dikemukakan Benjamin Musrie, 2021, dalam artikelnya “The Evolution of Artificial Intelligence in Healthcare”. Peneliti di bidang kesehatan ini mengemukakan, pengembangan AI di bidang kesehatan dimulai untuk memenuhi kebutuhan pengumpulan data. Pengumpulan data, mulanya dilakukan lewat diagnosa, yang mengandalkan kepekaaan panca indera dokter. Saat AI dikembangkan, diagnosa membantu professional memperoleh data lebih awal dan lebih akurat dari berbagai gejala penyakit. Termasuk yang dapat diperoleh lewat bantuan AI, ekspresi gen yang kemudian dianalisis menggunakan machine learning. Berdasar basis data yang telah tersimpan, kelainan apa pun yang ditunjukkan dapat dikenali dengan cepat. Teknologi AI, bersama robotika, hingga kesehatan digital, dikembangkan oleh adanya kebutuhan terhadap data, yang jumlahnya terus meningkat. 

Perkembangan pemanfaatan AI sebagai perangkat pengumpul data, juga diterapkan pada uji biomedis. Ini termasuk elektroensefalografi (EEG), elektromiografi (EMG), maupun elektrokardiografi (EKG). Data yang dihasilkan EEG misalnya, dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya serangan epilepsi. Lewat prediksi, terjadinya serangan dapat dicegah. Ini berpengaruh pada minimalnya kerusakan yang dialami pasien.

Saat AI untuk keperluan pengumpulan berhasil dikembangkan, persoalan berikutnya menyangkut pemrosesan data. Peneliti ini menyebut, tak mungkin manusia mampu memproses data kesehatan dalam jumlah besar, tanpa bantuan perangkat berteknologi. Menggunakan perangkat berbasis AI, pemrosesan berbagai jenis data dengan kecepatan maupun efisiensi yang tak dijangkau manusia, dapat dilakukan. Musrie yang mengutip Nam, 2018, menguraikan: hari ini AI juga digunakan dalam pemeriksaan radiografi dan histologi. Lewat deep learning automatic detection (DLAD), peneliti di RS Universitas Nasional Seoul dan Fakultas Kedokterannya, mengembangkan sistem deteksi otomatis yang dapat mengklasifikasi hasil radiografi maupun mengenali pertumbuhan sel abnormal, secara akurat. Dalam uji perbandingan hasil deteksi AI vs dokter, diperoleh skor akurasi deteksi AI: 17, sedangkan dokter: 18. Hanya terpaut 1 deteksi.

Sedangkan peneliti di Google AI Healthcare dengan menggunakan Lymph Node Assistant (LNA), mampu mengidentifikasi sel kanker kelenjar getah bening. Teknologi ini segera mengenali petunjuk sampel uji yang mencurigakan, yang tak dapat dikenali mata manusia. LNA diuji pada dua set data berbeda: kanker atau non-kanker, dengan akurasi 99%. Pencapaian ini dapat digunakan bersama dengan diagnose dokter, untuk proses yang lebih efisien.

Seluruh uraian di atas mengilustrasikan harapan makin besar yang dapat dicapai AI, di bidang kesehatan. Batas kemampuan dokter memulihkan keadaan sehat, maupun mencegah terjadinya sakit, dinaikkan. Ketakmungkinan penanganan kesehatan akibat keterbatasan data kian tak relevan. Demikian pula ketika kecepatan jadi kunci pemulihan, keterlambatan akibat keterlambatan pengenalan gejala, ditiadakan. Seluruhnya memperbesar harapan hidup manusia.

Hari ini, kian beragam perangkat berbasis AI yang dilibatkan untuk menjaga kesehatan. Melalui sensor pengumpul data yang kian jadi bagian dari tubuh, sistem deteksi kesehatan terus menerus diterapkan. Data yang terkirim direspon machine learning AI, ketaknormalan segera dikenali. Demikian pula dalam hal terjadinya malfungsi organ, dapat segera ditangani. Penggantian organ dengan memanfaatkan pencetak 3 dimensi organ, dapat dilakukan. Lewat bioteknologi dapat dihambat pelapukan dan penuaan sel. Hidup tanpa sakit bahkan batas kematian, nampaknya tak mustahil. Manusia mencapai imortalitas lewat pemanfaatan AI.

Paradoksnya: AI mampu  mengenali keadaan kesehatan yang tak normal, seraya terus mengirimkannya sebagai peringatan. Akibat mekanisme ini, manusia dapat terus terpelihara kesehatannya bahkan tercegah dari kematian. Tapi apa enaknya hidup imortal, dengan terus menerus menerima peringatan, keadaan kesehatan yang bermasalah?

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait