URtech

Data di Balik Kinerja Artificial Intelligence

Firman Kurniawan S, Selasa, 16 Mei 2023 14.05 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Data di Balik Kinerja Artificial Intelligence
Image: Ilustrasi - Seorang wanita sedang membaca data melalui interactive screen. (Freepik)

ARTIFICIAL INTELLIGENCE (AI), bukan temuan ajaib. Bukan juga temuan baru. Bahwa teknologi ini punya kemampuan menyelesaikan banyak persoalan, bahkan persoalan rasional dan emosional yang sulit dijangkau manusia, bukan berarti cara kerjanya tak dapat dijelaskan. Yang pasti, kehadiran teknologi yang tak sepenuhnya baru ini, menciptakan kekhawatiran global. 

Kekhawatiran terhadap AI, terutama terbawa oleh kemampuannya yang terus meningkat. Tak heran, kehadirannya kian menyusupi relung kehidupan manusia. Yang jika ini diurut dengan seksama, bakal menggusur manusia yang sedang asyik dalam perannya. Manusia tak lagi relevan. 

Manakala irelevansi meluas, gejolak sosial adalah keniscayaan. Manusia bakal frustrasi, dengan hilangnya peran. Terlebih ketika peran baru penggantinya tak segera hadir. 

Keadaan inilah yang kemudian mengundang berbagai lembaga penyusun strategi persaingan, forum ekonomi, pemerhati perkembangan teknologi, organisasi maupun pakar yang tertarik pada pengembangan sumberdaya manusia, menerbitkan kajian terkait relasi manusia dengan AI. 

Salah satu di antara lembaga itu adalah, World Economic Forum. Lewat laporannya, yang berjudul ‘Future of Jobs Report 2020’, menyebutkan: adanya 85 juta jenis pekerjaan yang bakal digantikan oleh AI. Sebagai gantinya, terdapat 97 juta jenis pekerjaan baru di 26 negara, pada tahun 2025. 

Namun seluruhnya masih menyisakan pertanyaan: apakah setiap pekerjaan pengganti yang ada, dengan serta merta dapat menggantikan pekerjaan yang hilang? Manusia yang kehilangan pekerjaan lamanya, dapat langsung mengisi posisi-posisi pekerjaan baru?  

Lewat berbagai bentuk keprihatinan, ungkapan-ungkapan moralitas yang bernuansa membela eksistensi manusia, bahkan lewat regulasi yang bersifat memaksa, dominasi AI tak bakal terbendung. Memerangi kehadirannya, sama artinya dengan melakukan peperangan yang tak pernah dimenangkan. Kemampuan AI terus meningkat berlipat, sementara kemampuan manusia dibatasi kapasitas biologisnya. 

Dalam realitas yang lebih luas justru terbukti, pengembangan AI berguna untuk mempertahankan eksistensi manusia. Sebut saja mobil tanpa pengemudi. Ini dapat meminimalkan jumlah kecelakaan, yang membunuh jutaan manusia per tahunnya. Demikian juga dokter AI. Kehadirannya dapat memberi layanan kesehatan yang menjangkau berbagai pelosok wilayah. Seluruhnya meningkatkan pencapaian kesehatan, juga peluang hidup manusia. 

Di sisi lain, dalam hal akutansi penggunaan jangka panjangnya, penggantian manusia oleh AI mengurangi beban biaya operasional, namun dengan hasil yang jauh lebih produktif. Lagi pula, AI tak membebani penggunanya dengan tuntutan pengembangan karir, maupun kenaikan upah minum. Tak heran, sikap kebanyakan orang lebih membela pengembangannya, alih-alih menghentikannya. 

Untuk dapat memahami AI dengan lebih cepat dan mudah, dapat dipintas layaknya melihat manusia yang ada di muka bumi. Manusia hadir dengan kemampuan, karakter, minat yang berbeda-beda. Ada manusia super cerdas, sebaliknya ada manusia yang perlu pengembangan kecerdasan terus menerus. Ada manusia yang introvert ada pula yang ekstrovert. Dan ada manusia yang punya kemampuan terspesialisasi yang mendalam, namun ada pula yang punya minat luas dengan pemahaman di permukaan saja. Demikian pula halnya dengan AI. 

Terdapat berbagai jenis AI yang saat ini popular beredar. Daftar berbagai jenisnya, kerap beredar sebagai unggahan di Instagram. Juga dibahas di media sosial lain. Sebut saja AI untuk menulis: ada Chatsonic, ChatABC, JasperAI, Quillbot. AI yang dimanfaatkan untuk penelitian: PaperPal, Perplexity, Youchat, Elicit. Kedua jenis yang dicontohkan pertama ini, bekerja di wilayah rasional. 

Terdapat pula AI untuk menghasilkan pekerjaan di bidang musik: BoomyAI, Soundraw,Beatoven, Soundful. Sedangkan AI yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan unggahan: Writesonic, Tome, Copysmith, TextBlaze. Keduanya berkategori sebagai pekerjaan-pekerjaan yang mengandalkan emosional. 

Dalam realitas kinerjanya AI sangat ditentukan oleh keadaan datanya. Juga pelatihan dalam membangun algoritmanya. Namun soal data ini, disebut banyak kalangan sebagai hal yang paling mendasar. Willem Sunblad, 2018, dalam artikelnya yang dimuat dalam Forbes.com, berjudul: ‘Data Is the Foundation for Artificial Intelligence and Machine Learning’, mengungkapkan soal tersebut. 

Menurutnya, mamahami AI tak ubahnya memahami, science-fiction, fiksi ilmu pengetahuan, harus dimulai dengan memahami data. Proses membangun kecerdasan AI, pada dasarnya adalah kebutuhan untuk mengumpulkan data yang tepat, dalam format dan sistem yang tepat, juga jumlah yang tepat.  

Aplikasi AI, maupun segala rupa machine learning (ML), dapat mencapai kinerja terbaiknya jika keadaan datanya terpenuh. Ini artinya, makin baik data makin baik pula AI dan ML yang dikembangkan. Demikian sebaliknya.

Kualitas data yang sering disebut sebagai veracity data, menentukan kinerja perangkat yang dihasilkan. Tak cukup itu saja, kuantitasnya, data volume-nya juga harus memenuhi  syarat minimum. Karenanya, setelah dilakukan pemilahan data, antara yang berkualitas dengan yang tidak, hal yang selanjutnya harus dilakukan adalah memastikan kecukupan datanya. 

Kecukupan data sangat mempengaruhi AI dalam menghasilkan algoritma. Algoritma inilah yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan, dari penggunaannya. Seluruhnya identik dengan keadaan manusia: pembelajaran yang baik saja, tak cukup. 

Untuk menjadi manusia yang mampu menyelesaikan kompleksitas permasalahan, diperlukan pengalaman. Adanya pengalaman menuntun manusia membangun pola dan model penyelesaian permasalahan yang dihadapinya. Itulah bentuk kecerdasan manusia. Sedangkan pada AI, seluruhnya dijalankan oleh algoritma yang dibangunnya.

Keadaan data lain yang juga mempengaruhi kinerja AI, dikemukakan oleh Lahcen Tamym, Lyes Benyoucef, Ahmed Nait Sidi Moh, Moulay Driss El Ouadghiri, 2023 dalam artikel jurnalnya yang berjudul, ‘Big Data Analytics-based Approach for Robust, Flexible and Sustainable Collaborative Networked Enterprises’. Keempat peneliti ini menggunakan notasi 5V untuk menggambarkan keadaan data yang merupakan karakteristik umum big data. 

Kelima V itu terdiri dari volume, yang menggambarkan jumlah data yang dikumpulkan dan diproses. Veracity, berarti kualitas data yang menyangkut kebenaran data, keabsahan, keamanan serta kepercayaannya. 

Variety, mengindikasikan jenis data yang dapat digunakan secara bersama-sama untuk mendapatkan informasi yang dikehendaki. Berikutnya velocity, yang merupakan ukuran kecepatan proses saat data dipindahkan dari satu sistem ke sistem lain. Sedangkan value, yang berarti nilai manfaat yang diperoleh dari pemprosesan data. 

Para ilmuwan lain ada yang menggunakan notasi 7V bahkan 10V untuk menunjukkan keadaan data ini. Namun seluruhnya mengacu pada syarat yang umumnya telah termuat pada 5V tersebut. Adapun keterkaitan antara big data dalam kedudukannya sebagai penyusun AI, dapat diuraikan secara singkat, sebagai bahan bakar yang menggerakkan AI. Dimana big data secara ringkas mengacu pada kumpulan data dalam jumlah sangat besar, intensif, beragam, kompleks, dan berkecepatan tinggi. Keadaan big data jadi penentu kinerja AI.

Penulis yang tak berlatar belakang teknologi informasi sistematis, tak hendak mengulas tuntas teknis pengembangan AI. Hal yang mendasari penulisan edisi ini, terdorong oleh adanya anggapan yang menempatkan AI sebagai perangkat yang ajaib. Kehadirannya mampu menyelesaikan berbagai persoalan, dalam keadaan nir-kesalahanan. Sehingga produk yang ditawarkannya sempurna belaka. Ini tentu tidak tepat. 

Mengacu pada 5V yang ditawarkan Tamym dan kawan-kawan, keadaan data pembentuk AI ada pada posisi yang berspektrum luas. Mulai kurang, memadai, cukup, hingga berlebihan, di unsur-unsur V-nya. Seluruhnya tergantung pada perusahaan yang mengembangkannya. Ini berimplikasi, ketika data, sebagaimana pendapat Willem Sunblad, merupakan persyaratan yang mendasar maka spektrum bervariasi 5V juga menentukan variasi AI yang dihasilkan. 

Ilustrasi relevan dengan uraian di atas, ada pada ChatGPT, AI yang sejak peluncurannya di akhir tahun 2022 hingga hari ini, membawa kehebohan. AI ini nyata mengandung keterbatasan. Dalam realitasnya, big data yang diinteraksikan berperiode akhir tahun 2021. Ini artinya, jika pengguna membutuhkan hasil dengan periode data setelah tahun 2021, tak bakal diperoleh. 

Veracity data pada ChatGPT versi hari ini, berhenti hingga tahun 2021. Pertanyaan-pertanyaan menyangkut kondisi cuaca maupuan kurs valuta asing terbaru hari ini tak bakal tersedia. Juga jenis-jenis pertanyaan yang membutuhkkan pembaharuan harian terkini, tak bakal ada jawabannya. 

Kinerja AI sangat tergantung pada data yang diinteraksikan padanya. Karenanya, untuk mampu menggunakan AI dengan benar, etis dan tak justru jadi korban yang disesatkan, memahami keadaan data dalam proses pembentukannya, perlu jadi aktivitas utama. Jika tidak, sama saja dengan percaya pada dukun sakti. 

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait