URnews

Ketika Data Pasang Surut yang Tak Kunjung Terpasang

Hans Setiadi, Jumat, 9 Juni 2023 15.53 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Ketika Data Pasang Surut yang Tak Kunjung Terpasang
Image: Dok. BIG

Jakarta - Bagi sebagian kalangan, sensor yang disebut Seismometer mungkin tak terdengar asing. Perangkat yang ditemukan oleh John Milne, seorang Professor Geologi dari Imperial College of Engineering, Tokyo, di tahun 1880 ini, terkait dengan gempa bumi. Seismometer memiliki sensor yang digunakan untuk mendeteksi terjadinya gempa bumi. Karenanya saat digunakan, istilah seismograf maupun seismogram merujuk pada jenis bencana ini. Bedanya, seismograf adalah alat yang digunakan untuk mencatat gempa bumi. Sedangkan seismometer berupa sensor pendeteksi peristiwa, yang merupakan bagian dari seismograf.

Di Indonesia seismometer digunakan BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), dalam menjalankan fungsinya mengamati kegempaan. Selain menggunakan accelerograf, alat yang digunakan untuk mencatat guncangan tanah yang kuat berdasar ukuran perubahan kecepatan pergerakan muka tanah, BMKG juga menggunakan intensitymeter. Alat ini berfungsi untuk mengetahui intensitas gempa bumi di suatu wilayah. Jika dijumlahkan, tak kurang dari 56 intensitymeter yang digunakan BMKG pada jaringan pengamatan gempa bumi kuatnya, di Indonesia. Dan berdasar laman http://stageof.tangerang.bmkg.go.id/, ketiga peralatan yang disebutkan di atas, merupakan bagian aneka perangkat untuk melakukan pengamatan gempa bumi yang kuat, yang dioperasikan BMKG di Indonesia.

Perangkat lain penunjang tugas BMKG di Bidang Kegempaaan, adalah dioperasikannya stasiun pasang surut (pasut). Stasiun Pasut secara fungsional tidak ada bedanya dari seismometer. Keduanya sama-sama punya fungsi, sebagai perangkat pengamatan. Terdapat berbagai jenis stasiun pasut. Di antaranya yang bersifat continous dan real time. Pada jenis ini, terdapat sistem peralatan yang mampu merekam fenomena pergerakan naik turunnya muka air laut terus menerus. Sedangkan hasil pengamatannya, dilaporkan online dari pusat data yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Ciri utamanya: terus menerus dan di waktu seketika.

Dalam operasionalnya, setiap sensor Pasut akan merekam data tinggi muka air, setiap 5 detik secara digital. Ini untuk memenuhi keperluan streaming. Sedangkan perekaman yang dilakukan tiap 60 detik, digunakan untuk keperluan referensi vertical. Seluruhnya direkam ke dalam data logger. Merujuk pada https://alatuji.co.id, data logger atau perekam data, adalah seperangkat eletronik yang mampu mencatat data  dari waktu ke waktu. Mekanisme pencatatan ini terintegrasi dengan sensor maupun perangkat yang lain.

Terdapat peran antar institusi pada proses pengoperasioan Stasiun Pasut. Data hasil perekaman streaming dan vertical dari data logger di atas dikirim ke server di BIG (Badan Informasi Geospasial). Ini dimediasi melalui perangkat GPRS (General Packet Radio Services). Data pasang surut yang terkirim selanjutnya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Manfaat umum data Pasut terbagi menjadi 2, pertama untuk memenuhi keperluan praktis. Dan kedua, untuk memenuhi kebutuhan ilmiah.

Pada pemenuhan keperluan praktis, peroleh manfaat mulai dari dukungan terhadap penentuan garis pantai pada peta dasar Rupa Bumi Indonesai (RBI), mendefinisikan data vertikal yang bersifat lokal selain geoid, membantu kegiatan rekayasa di pelabuhan, mengidentifikasi struktur pantai dan mitigasi banjir rob, memberi dukungan terhadap kebutuhan informasi dan navigasi transportasi perairan, memberi dukungan terhadap kegiatan operasi militer di laut, dan dapat membantu perencanaan maupun pengelolaan wilayah pesisir.

1686300674-WhatsApp-Image-2023-06-09-at-15.43.46.jpegSumber: Dok. BIG

Sedangkan bagi kepentingan ilmiah, akan diperoleh manfaat: berupa koreksi pada berbagai pengukuran geodesi, dukungan pada proses kalibrasi dan validasi data satelit altimetry, dukungan untuk melakukan prediksi terhadap kenaikan muka air laut maupun perubahan cuaca global, digunakan sebagai data deteksi dinamika atmosfer laut-darat seperti El Nino maupun La Nina, berguna dalam membantu proses delimitasi batas maritim, serta bermanfaat mendukung program nasional kebencanaan (InaTEWS).

Sampai dengan tahun 2023, BIG telah membangun dan mengelola 237 Stasiun Pasut. Ini meningkat  sebanyak 40 stasiun, dibanding tahun sebelumnya. Lokasi  stasiun itu tersebar di berbagai wilayah Indonesia. PJKGD (Pusat Jaring Kontrol Geodesi dan Dinamika) sebagai unit pengelola stasiun Pasut melalui Kelompok Kerja JKVP (Jaring Kontrol Vertikal dan Pasang Surut) berencana menambah 27 stasiun baru, di tahun berikutnya.

Angka yang disebutkan di atas, terbilang sangat tak sebanding, mengingat posisi Indonesia sebagai negara rawan gempa. Ini jika seluruhnya dibandingkan dengan yang dibangun Jepang, sebagai negara yang juga sering tertimpa bencana gempa bumi. Wilayah Jepang yang tak tidak sampai ¼ luas wilayah Indonesia, telah mengoperasikan 1.400 Stasiun Pasut, hingga tahun 2019 lalu. Sangat memadai, jika dibandingkan dengan jumlah yang telah dioperasikan di Indonesia.

Sebaran Lokasi Pasang SurutSumber: Dok. BIG

Urgensi Stasiun Pasut, selain sebagai pencatat kegempaan, sangat penting dalam peringatan membangun sistem peringatan Tsunami secara dini, Tsunami Early Warning System. Melalui data logger dapat teridentifikasi adanya abnormalitas muka air laut. Perubahan muka air laut yang terjadi secara tiba-tiba, merupakan indikasi penting, bakal terjadinya tsunami.

Walaupun perannya sama penting dengan Seismometer, Stasiun Pasut tak terlalu dikenal oleh masyarakat luas. Hanya oleh kalangan tertentu saja, pengoperasian Stasiun Pasut diketahui dan digunakan sebagai rujukan penelitian, maupun penunjang pengambilan keputusan dalam pekerjaan.

Berdasar data KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), wilayah Indonesia yang memiliki  sekitar 17.500 pulau. Garis pantainya yang mencapai panjang 81.000 km. Dan sekitar 62% luas wilayahnya, berupa laut maupun perairan. Sedangkan luas wilayah daratannya sebesar 1,91 juta km2, serta luas wilayah perairan mencapai 6,32 juta km2. Ini artinya, luas laut yang hampir tiga kali lipat dari luas daratannya, seharusnya menjadikan laut dan perairan sebagai pusat aktiivtas.

Juga sumber perhatian, terhadap permasalahan yang mengintai. Terbayangkah jika dari luasnya laut maupun perairan itu terjadi bencana dahsyat, sebagaimana yang terjadi di Fukushima, Jepang, Maret 2011?

Keberadaan Stasiun Pasut saat ini masih belum memadai dan belum bisa memberikan informasi potensi bencana yang datang dari wilayah perairan di Indonesia. Juga potensi bencana yang terjadi dari wilayah lautan lepas. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan Model Pasut yang dihitung dari data satelit Altimetry maupun data pengukuran di Stasiun Pasut. Salah satu informasi penting yang terkait dengan perairan terutama laut adalah data pasang surut air laut (Pasut) itu. Untuk informasi terkait stasiun pasang surut dan terkait Jaring Kontrol Geodesi dan Dinamika dapat dilihat pada laman https://srgi.big.go.id/. Mari kunjungi.

*) Penulis adalah Pranata Humas Badan Informasi Geospasial

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait