URnews

Mengulik Perbedaan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja

Shelly Lisdya, Selasa, 6 Oktober 2020 15.17 | Waktu baca 7 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Mengulik Perbedaan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja
Image: Ilustrasi Rancangan Undang-undang. (Pixabay)

Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja telah disahkan oleh pemerintah dan DPR RI. UU Cipta Kerja sendiri memang ditujukan untuk menarik investasi dan memperkuat perekonomian nasional.

Namun, UU Ketenagakerjaan no 13/2003 berbeda dengan UU Cipta Kerja.

Lantas apa saja perbedaan aturan yang ada di UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja? 

Topik Waktu Istirahat dan Cuti

1. Istirahat Mingguan 

UU Ketenagakerjaan memiliki Pasal 79 ayat 2 huruf b UU No.13/2003 yang menyebutkan; Istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu atau dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu.

Sedangkan dalam UU Cipta Kerja, aturan lima hari kerja itu dihapus, sehingga berbunyi: Istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.

2. Cuti Haid

Pasal 81 UU Ketenagakerjaan mengatur pekerja atau buruh perempuan bisa memperoleh libur pada saat haid hari pertama dan kedua pada saat haid. Dan berbunyi;

(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Sedangkan UU Cipta Kerja tidak mencantumkan hak cuti haid bagi perempuan. UU Cipta Kerja tidak menuliskan hak cuti haid di hari pertama dan kedua masa menstruasi yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, sehingga untuk peraturan ini masih mengacu pada UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.

3. Cuti Hamil dan Melahirkan 

Pasal 82 UU Ketenagakerjaan mengatur mekanisme cuti hamil dan melahirkan bagi pekerja perempuan. Di dalamnya juga termasuk cuti untuk istirahat bagi pekerja atau buruh perempuan yang mengalami keguguran.

Sedangkan UU Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan dalam pasal tersebut, sehingga tetap berlaku sesuai aturan dalam UUK.

4. Hak untuk Menyusui

Pasal 83 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerja atau buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

Sedangkan UU Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan dalam pasal tersebut.

5. Cuti Menjalankan Ibadah Keagamaan

Pasal 80 UU Ketenagakerjaan menyatakan; Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja atau buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya. 

Sedangkan UU Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan dalam pasal tersebut

Topik Upah

1. Upah Minimum Kabupaten/kota (UMK)

Berdasarkan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan, setiap wilayah diberikan hak untuk menetapkan kebijakan Upah minimum mereka sendiri baik di tingkat provinsi dan tingkat Kabupaten/Kotamadya.

Sedangkam dalam UU Cipta Kerja, pasal tersebut diganti menjadi Pasal 88 C. Dalam pasal pengganti tersebut upah sektoral dihapuskan sedangkan penetapan upah minimum provinsi diatur dan ditetapkan gubernur berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan dengan syarat tertentu.

2. Bonus

Dalam UU Ketenagakerjaan tidak diatur.

Sedangkan UU Cipta Kerja memberikan bonus, atau penghargaan lainnya bagi pekerja sesuai dengan masa kerjanya. Bonus tertinggi senilai lima kali upah bagi pekerja yang telah bekerja selama 12 tahun atau lebih.

Topik Pesangon

Jika sebelumnya pada UU Ketenagakerjaan 13/2003 besaran pesangon yang didapat oleh pekerja atau buruh adalah sebesar 32 bulan dari nilai upah, maka di UU Cipta Kerja hanya menjadi 25 bulan dari nilai upah.

Kemudian, 19 bulan dari 25 bulan tersebut akan dibayarkan oleh pengusaha dan 6 bulan dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan melalui jaminan kehilangan pekerjaan (JKP).

Pasal 156 ayat 1 dalam UU Cipta Kerja menyebutkan bahwa jika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), maka pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja serta uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja.

Sedangkan UU Cipta Kerja, dalam ayat (2) dijelaskan jumlah pesangon paling banyak yang akan diterima oleh pekerja sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, yakni sebagai berikut.

Sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berikut rincian besaran uang pesangon dalam UU Cipta Kerja:

1. Masa kerja kurang dari 1 tahun, mendapatkan 1 bulan upah

2. Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, mendapatkan 2 bulan upah

3. Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, mendapatkan 3 bulan upah

4. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, mendapatkan 4 bulan upah

5. Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, mendapatkan 5 bulan upah

6. Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, mendapatkan 6 bulan upah

7. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, mendaparkan 7 bulan upah

8. Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, mendapatkan 8 bulan upah

9. Masa kerja 8 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, mendapatkan 9 bulan upah.

Topik Jaminan Sosial

Pasal 167 ayat (5) UU Ketenagakerjaan menyatakan: Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja atau buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun, maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja atau buruh uang pesangon sebesar dua kali ketentuan 

Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Sedangkan UU Cipta Kerja menghapus sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja atau buruh dalam program jaminan pensiun. 

Dengan menghapus pasal 184 UU Ketenagakerjaan 
yang menyatakan "Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun. Dan denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak 
Rp 500 juta.

Topik PHK

1. Alasan perusahaan boleh memutuskan PHK;

Melihat pada UU Ketenagakerjaan, ada sembilan alasan perusahaan boleh melakukan PHK  seperti, perusahaan bangkrut, perusahaan tutup karena merugi, perubahan status perusahaan, pekerja atau buruh melanggar perjanjian kerja, pekerja atau buruh melakukan kesalahan berat, pekerja atau buruh memasuki usia pensiun, pekerja atau buruh mengundurkan diri, pekerja atau buruh meninggal dunia dan pekerja atau buruh mangkir.

Sedangkan UU Cipta Kerja menambah lima poin lagi alasan perusahaan boleh melakukan PHK yang diatur dalam pasal 154 A.

Di antaranya meliputi; perusahaan melakukan efisiensi, perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan. Kemudian perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang, perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja atau buruh serta pekerja atau buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.

2. Jam Kerja

Dalam UU Ketenagakerjaan, waktu kerja lembur paling banyak hanya tiga jam per hari dan 14 jam per minggu.

Sedangkan UU Cipta Kerja berencana memperpanjang waktu kerja lembur menjadi maksimal empat jam per hari dan 18 jam per minggu.

3. Tenaga Kerja Asing (TKA)

Pasal 42 ayat 1 UU Ketenagakerjaan menyatakan; setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 43 ayat 1 pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh menteri atau pejabat 
yang ditunjuk.

Pasal 44 ayat 1; Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.

Sedangkan dalam UU Cipta Kerja, izin tertulis TKA diganti dengan pengesahan rencana penggunaan TKA.

Pasal 43 mengenai rencana penggunaan TKA dari pemberi kerja sebagai syarat mendapat izin kerja dimana dalam UU Cipta kerja, informasi terkait periode penugasan ekspatriat, penunjukan tenaga kerja menjadi warga negara Indonesia sebagai mitra kerja ekspatriat dalam rencana penugasan ekspatriat dihapuskan.

Pasal 44 mengenai kewajiban menaati ketentuan 
mengenai jabatan dan kompetensi TKA dihapus.

4. Tenaga Kerja Kontrak (PKWT)

Poin yang sempat dipermasalahkan oleh pekerja atau buruh yakni penghapusan Pasal 59 yang membahas batas waktu pemberlakuan perjanjian itu.

Jika aturan itu dihapus, dikhawatirkan status pekerja kontrak dapat diperpanjang tanpa batas. Penghapusan pasal ini dikritik keras karena pekerja berpotensi besar dikontrak seumur hidup alias minim mendapat jaminan sebagai karyawan tetap. 

Namun, akhirnya Pasal 59 tidak jadi dihapus dalam UU Cipta Kerja. Dalam Pasal 59 disebutkan:

Ayat (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yakni:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
c. pekerjaan yang bersifat musiman;
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.

Ayat (2) berbunyi: Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Ayat (3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Jangka waktu PKWT maksimal dua tahun dan perpanjangan satu tahun tidak ada lagi.

Hanya saja, dalam UU Cipta Kerja tidak ada batasan waktu maksimal perjanjian kerja kontrak bisa dilakukan. Dengan demikian, masih muncul kekhawatiran kontrak dapat terus diperpanjang alias tanpa batas.

Dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, disebutkan PKWT terhadap pekerja dilakukan maksimal dua tahun dan boleh diperpanjang lagi dalam waktu satu tahun. Artinya ada kepastian kapan kontrak berakhir atau bisa diangkat menjadi karyawan tetap.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait